26. Amarah

54.8K 6.1K 377
                                        

Dalam perjalanan pulang pun Mas Gibran masih tetap diam, tapi mobil ia lajukan dengan kecepatan diatas rata-rata. Sepanjang perjalanan aku hanya bisa berdzikir dan beristigfar, berharap hari ini bukanlah hari terakhir kami hidup, tangan dan kakiku sedari tadi masih bergetar.

Mau ngomong pun percuma, karena saat aku menyuruh Mas Gibran menjalan mobil lebih pelan ia semakin menancapkan gas.

Aku mengucap hamdalah saat kami telah sampai rumah dengan selamat. Mas Gibran keluar lebih dulu, ia membuka pintu, aku mebgikutinya sampai ia masuk ke dalam kamar dan menutup pintu secara kasar di depan mataku. Terdengar suara pintu dikunci dari dalam, rupanya Mas Gibran tidak mau ikut masuk. Aku semakin takut kalau Mas Gibran terlanjur salah paham.

"Mas Gibran," panggilku sambil mengetuk pintu pelan-pelan.

Beberapa menit aku menunggu jawaban tapi tidak ada sahutan sama sekali dari dalam. Lagi, aku mengetuk pintu.

"Mas Gibran, maaf."

Tak ada jawaban sama sekali. Tapi, aku tak menyerah, aku semakin gencar mengetuk pintu, namun nihil sahutan sama sekali tak kudengar.

Setelah sekian lama, aku menyerah. Tidak, maksudnya aku mau istirahat, biarkan saja Mas Gibran menenangkan dirinya terlebih dahulu.

Selagi menunggu Mas Gibran membuka pintu, aku melangkahkan kaki ke dapur, memakan cemilan sambil menonton televisi diruang keluarga. Kenyataannya aku sama sekali tak bisa fokus dengan televisi di depanku, fikiranku malah melayang takut sesuatu yang tidak-tidak terjadi kalau kesalah pahaman ini tidak segera dihempaskan.

Tidak sadar, aku sudah lama sekali menonton televisi tapi tidak ada tanda-tanda bahwa Mas Gibran turun dan membuka pintu kamar. Aku belum shalat zuhur dan ini sudah jam dua lebih.

Aku melangkahkan kaki kembali naik ke atas, mengetuk pintu kamar tapi masih tidak ada jawaban juga.

"Mas Gibran, aku belum shalat. Mukenah ada di dalam kamar."

Masih sama tidak ada jawaban. Lima menitan aku berdiri, tapi masih sama juga tidak ada jawaban. Terus gimana dong? Mukenah ada di dalam kamar.

Apa sebaiknya aku minjem di rumah tetangga? Tapi nanti mereka bisa curiga kalau aku dan Mas Gibran sedang tidak baik, aku tidak mau jadi bahan gosip. Hanya satu orang yang kupercayai di sini. Ibu Khadijah. Masalah alasan nanti aku bisa mencari alasan lain.

Segera aku pergi dari rumah menuju rumah ibu Khadijah. Tepat sekali, aku bertemu beliau sedang duduk di teras rumahnya.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, Naya. Sini-sini!" ia menyambutku dengan senyuman hangatnya, ia menuntunku untuk duduk dikursi sebelahnya.

"Kebetulan Ibu baru selesai buat nastar, cobain ya!"

Aku cengengesan dan mengangguk.

"Bu, aku mau minjem sesuatu boleh?" kataku pelan.

Ibu Khadijah terlihat bingung, tapi ia juga tersenyum.

"Apa?"

"Emm, anu, aku mau minjem mukenah buat shalat," bisikku.

"Hah?"

"Aku lupa naruh kunci lemari dimana, jadi nggak bisa ngambil mukenah, mukenah yang sehari-hari kupakai lagi aku cuci dan belum kering." pinter Naya, untung kata-katanya sudah aku susun terlebih dahulu, jadi sekarang lancar jaya.

"Boleh. Sekalian aja shalat di sini, biar nanti selesai shalat bisa cobain nastar. buatan ibu."

"Eh, terimakasih ya bu." beliau membalasku sambil tersenyum manis.

Sepupuku Suamiku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang