20. Minta maaf

60.6K 6.7K 332
                                    

Sebelum lanjut, aku mau tau dong kesan kalian selama membaca cerita ini gimana? Terus saran buat aku apa? Apakah ada sesuatu yang kalian mau omongin sama Mas Gibran dan Naya, kalau ada, apa yang mau kalian omongin?

Komenan yang paling berkesan, aku follback ya ❤










Happy reading ❤




























Malam harinya aku masih tetap mendiami Mas Gibran, saat ini aku tengah memasak untuk makan malam di dapur. Selesai memasak aku menyiapkan untuk makan malam. Semarah apapun aku, aku ingat akan tanggung jawabku sebagai seorang istri.

Mas Gibran datang kemudian membantuku tanpa aku suruh. Selesai menyiapkan makanannya, aku beranjak hendak meninggalkan dapur, namun tanganku dicekal oleh Mas Gibran.

"Kita makan bareng-bareng," kata Mas Gibran.

"Aku masih kenyang." aku melepaskan cekalan Mas Gibran dan berlalu masuk dalam kamar.

Aku menuju lemari, mengambil baju tidur dan menggantinya ke dalam kamar mandi. Selepas itu barulah aku keluar, aku terkejut ketika membuka pintu wajah Mas Gibran langsung menyambut mataku.

Aku berusaha untuk tidak terlalu perduli dengannya, aku berjalan melewatinya.

"Na, aku minta maaf," kata Mas Gibran yang masih mengikutiku dari belakang.

"Buat apa?" tanyaku yang masih acuh.

"Aku minta maaf kalau aku ada salah kata dan perbuatan sama kamu. Sungguh aku nggak ada niatan untuk menyakitimu, Na. Tolong maafkan aku." Mas Gibran menggenggam tanganku.

"Heemm," jawabku masih terdengar acuh.

"Kamu masih marah?"

"Menurut Mas Gibran gimana?" tanyaku sambil menatapnya tajam.

"Na, aku nggak ada maksud untuk membenarkan kelakuan bapak. Aku cuma mau mengingatkan kamu kalau apa yang kamu lakukan itu nggak baik."

"Kamu pernah denger nggak Na sebuah hadits yang artinya kayak gini, 'Jangan membenci kedua orang tuamu. Barang siapa orang yang mengabaikan kedua orang tua, maka dia kafir. (H. R. Muslim)."

"Nah lho, kamu mau masuk golongan orang-orang kafir? Nauzubillah kan."

"Ya enggaklah, Mas." aku semakin mendelik.

"Na, sejahat apapun orang tua, sefatal apapun perbuatannya di masa lalu, sudah kewajiban bagi seorang anak untuk tetap berbakti. Dari pada kamu marah dan dendam sama bapak, lebih baik kamu mendoakan agar dosa-dosanya bapak di ampuni."

"Buat apa ngedoain orang kayak dia," jawabku ketus.

"Pahala bagi anak yang mendoakan orang tua itu besar banget lho, Na."

"Aku tetap ngedoain Ibu kok, tapi enggak buat dia."

"Apa sih Na yang buat kamu semarah itu sama Bapak?" tanya Mas Gibran.

"Mas masih nanya? Bukannya udah aku jelasin ya, apa kurang jelas." aku menatap Mas Gibran dengan emosi yang menggebu-gebu.

"Dendam itu nggak baik, Na. Coba deh perlahan-lahan berusaha untuk memaafkan, aku yakin saat kamu sudah bisa memaafkan kamu akan merasa lega."

"Nggak segampang itu, Mas," jawabku ketus.

"Na, aku tau memaafkan kejadian itu susah sekali apalagi untuk memaafkan, aku yakin kamu nggak akan bisa ngelupainnya, tapi Na setelah kamu memaafkan aku yakin kamu akan merasa tenang dan lega. Sementara balasan akan perbuatan yang pernah dilakukan oleh Bapak biarlah Allah yang balas, yang terpenting kamu tetap menjalankan kewajiban kamu sebagai seorang anak."

Sepupuku Suamiku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang