28. Penjelasan

55.9K 6.3K 316
                                    

Dirumah Syifa aku masih mengurung diri, dan masih terus-terusan menangis. Mungkin Syifa peka makanya ia mendiamiku dan membiarkanku berada dalam kamar tamu sendirian.

Sampai siang berganti dengan malam aku masih tetap berada di kamar.

"Mbak Naya," panggil Syifa dari luar.

Aku membuka pintu, Syifa menyambutku dengan senyuman hangat, ia membawa nampan berisi makanan dan segelas air. Segera ku ambil alih, takutnya ia kerepotan.

"Masuk!" kataku dan menaruhnya di meja dekat sofa.

Aku duduk di sofa begitu juga dengan Syifa yang duduk di sebelahku.

"Kamu seharusnya nggak usah repot-repot bawain makanan, nanti kalau aku laper aku bisa ambil sendiri kok."

"Lagi ada masalah ya sama Mas Gibran?" alih-alih menjawab ia malah kembali mengajukan pertanyaan.

"Gitu deh." tanganku mencomot satu ayam.

"Separah itu ya sampai kabur?"

"Aku nggak kabur, tadi dia ngeliat kok pas aku mau pergi."

"Pergi dari rumah? Masa Mas Gibran diem aja?" aku menggeleng.

"Aku ketemu dia di restaurant lagi berduaan sama Dila, yang buat aku kesel paginya aku ngajak dia sarapan dia nggak mau, aku ajak makan siang bareng dia juga nggak mau katanya sibuk, tapi siangnya aku malah ketemu sama dia lagi berduaan sama Dila! Dari awal kita emang lagi ada masalah salah paham gitu, tapi dianya selalu ngehindar nggak mau nyelesein masalah, dan yang buat aku sakit hati banget dia selalu ngasih aku harapan seolah dia juga punya rasa sama aku tapi tadi pas ditanya sama Dila dia punya rasa atau nggak, dia jawabnya ada, salah nggak kalau aku sakit hati banget? Kadang-kadang sifat humble-Nya dia itu yang buat aku merasa kalau dia juga ada rasa sama aku." nah kan, aku nangis lagi.

"Sebelumnya emang lagi ada masalah apa? Akar permasalahannya itu dari mana?" tanya Syifa lembut.

Aku menjelaskan dari awal saat pergi menjenguk Mas Alan, tidak ada satupun cerita yang aku buat-buat aku juga menceritakan soal malam itu. Syifa terkejut mengetahui bahwa aku sampai saat ini masih perawan, dia malah mendelik saat tahu bahwa aku pergi jalan bersama Rasya.

"Sebenarnya salah mbak juga, harusnya mbak nggak pergi jalan sama Rasya padahal Mas Gibran lagi marah sama mbak. Harus ngertiin juga dong posisinya waktu itu Mas Gibran cemburu dan ditambah mbak pergi sama laki-laki lain, mungkin Mas Gibran waktu itu ngeliat kalian pergi makanya dia sampai marah dan nekat maksain kehendaknya."

Syifa menghela nafas.

"Soal Dila sama Mas Gibran, aku yakin kayaknya cuma salah paham. Soalnya Mas Gibran tipe laki-laki yang pantang nyakitin perasaan pasangannya, dia juga keliatan setia, dan mungkin juga punya perasan sama mbak."

"Alaah sok tau kamu, orang Mas Gibran jelas-jelas bilang masih ada rasa sama Dila."

"Aku pernah ngeliat tatapan Mas Gibran sama mbak, dari ekspresi yang aku tangkap dia kelihatan punya rasa benih-benih cinta sama mbak."

"Emangnya kamu mbah Mijan," ketusku.

"Mbak lupa? Gini-gini aku pernah kuliah jurusan psikolog jadi bisalah baca sedikit-sedikit dari ekspresi." ia nyengir.

"Hemm, terserahlah." satu demi satu sendok berisi makanan itu masuk ke dalam mulutku.

"Tadi katanya nggak laper tapi makanannya udah mau habis aja."

"Siapa yang bilang aku nggak laper? Aku kan cuma bilang kalau laper nanti aku bisa ambil sendiri dan sekarang aku udah laper makanya makan." Syifa mencibir pelan.

Sepupuku Suamiku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang