30. Berhenti egois

58.6K 6.4K 341
                                    

Author pov:)

Sampai dirumah Syifa, Gibran segera mengucap salam sambil mengetuk pintu, Ferlan yang membukanya.

"Waalaikumsalam. Eh, Mas Gibran ayo masuk!"

Gibran mengikuti langkah Ferlan, ini sudah sore jadi wajar saja suami iparnya itu berada di rumah karena memang sudah waktunya pulang kantor.

"Mau minum apa Mas?"

"Enggak usah, aku nggak haus."

"Cemilan mungkin?" Gibran lagi-lagi menggeleng.

"Aku mau ketemu sama Naya, dia ada di kamar kan?"

"Siapa Mas yang dateng?" tanya Syifa menghampiri mereka.

"Eh, Mas Gibran." Syifa tersenyum kikuk.

"Naya ada kan?" Syifa dan Ferlan terlihat saling pandang setelah Gibran mengajukan pertanyaan tersebut.

"A-ada di dalam."

"Aku boleh masuk ke sana?" Ferlan yang mengangguk, karena sudah mendapat izin dari tuan rumah akhirnya Gibran pamit untuk masuk, tapi sebelum itu langkahnya harus terhenti karena mendengar panggilan dari adik iparnya.

"Kenapa Syif?"

"Mas Gibran, jangan ceraikan mbak Naya ya, dia nyesal banget, sampai sakit karena nyesel pernah minta cerai." Gibran tersentak, tak dapat dipungkiri hatinya mendadak hangat karena Naya tak benar-benar serius dengan permintaannya untuk bercerai.

Gibran hanya membalas dengan senyuman dan kembali melangkah.

Gibran membuka pintu secara pelan-pelan, ia dapat melihat Naya yang tengah duduk di atas ranjang, kakinya terjun bebas ke lantai, matanya menatap kosong ke depan sepertinya istrinya itu sedang gegana. Gibran tersadar rupanya tidak hanya ia yang tersakiti tapi istrinya juga, Gibran yakin Naya jauh lebih sakit ketimbang dirinya apalagi Naya memendam perasaan sudah lama terhadapnya. Gibran tahu, menyimpan rasa terhadap seseorang itu sangat sakit, apalagi Naya mencintainya sudah sejak lama.

Tanpa terasa mata Gibran berkaca-kaca, Gibran merasa belum bisa menjadi suami yang baik untuk Naya. Gibran berjalan cepat dan langsung memeluk kaki Naya yang sedang terjun bebas, air mata Gibran turun.

"Eh." Naya jelas terkejut dengan kehadiran Gibran yang datang secara tiba-tiba.

"Maafin aku ya, Na, maaf." Mas Gibran terisak.

"Mas Gibran," panggil Naya lirih.

"Aku benar-benar minta maaf karena belum bisa jadi suami yang baik buat kamu, aku minta maaf kalau kamu selalu tersakiti sama sikap aku selama ini. Maaf ya Na, maaf."

Air mata Naya ikut jatuh.

"Mas Gibran berdiri." Naya membantu Gibran agar berhenti memeluk kakinya tapi bukannya berhenti Gibran malah semakin memeluknya erat.

"Maafin aku Na," lirih Mas Gibran.

"Bangun dulu Mas."

"Aku nggak mau bangun kalau kamu belum maafin aku."

Naya berenggut, suasana sedang serius Mas Gibran malah sempat-sempatnya nyebelin.

"Makanya bangun dulu. Mau bangun atau nggak aku maafin?"

Sukses. Ancaman Naya langsung membuat Gibran berdiri, Naya menuntun Gibran untuk duduk disebelahnya.

"Soal kemarin aku udah maafin Mas Gibran. Lagipula harusnya aku yang minta maaf karena belum bisa jadi istri yang baik buat Mas Gibran." Naya tersenyum tipis.

Gibran menggenggam sebelah tangan Naya.

"Na, aku nggak tau sejak kapan perasaan ini muncul, rasa takut kehilangan kamu itu ada, aku nyaman waktu berada di samping kamu, kamu tau? Jantungku selalu berdetak kencang saat dekat sama kamu, aku selalu merasa gagal jadi suami yang baik ketika liat kamu sedih, satu hal yang aku tau dari semua yang aku jelasin tadi kalau aku udah jatuh cinta sama kamu."

Deg!

Naya menahan nafas. Ungkapan ini, pernyataan cinta ini adalah satu-satunya yang ia ingin dengar keluar dari mulut Gibran. Air mata Naya jatuh dengan deras, penantiannya selama ini tidak berujung sia-sia, Gibran membalas cintanya.

Naya berhamburan memeluk Gibran, memebenamkan wajahnya dalam dada bidang suaminya. Gibran membalas pelukan istrinya.

"Maaf, aku baru tau kalau kamu udah punya perasaan sama aku sejak lama, aku fikir baru-baru ini," bisik Gibran.

Naya semakin terisak, Gibran juga ikut kembali meneteskan air matanya. Lega rasanya, Naya sudah mengetahui perasaan suaminya saat ini.

Gibran menguraikan pelukan Naya, ia kembali menangkup pipi istrinya.

"Na, ana uhibbuka fillah." setelah itu ia mengecup kening Naya dengan lama.

"Oh ya, aku mau jelasin waktu Mas Alan meluk aku itu biar nggak terjadi kesalah pahaman."

Gibran tak menjawab, ia mulai membiarkan Naya menjelaskan semuanya satu persatu.

"Aku sebenarnya nggak terlalu marah karena Alan meluk kamu, cuma saat dia bilang kalau kamu nggak bahagia sama pernikahan ini aku jadi tambah marah. Aku merasa nggak pantes sama kamu. Kamu berhak dapet yang lebih baik dari aku." Naya menangkup kedua pipi Mas Gibran dan menatap matanya dalam.

"Kamu bawa perasaan perkataan Mas Alan? Yang harus Mas Gibran tau, kalau aku ini cinta sama Mas Gibran, jadi Mas Gibran bisa bayanginkan gimana perasaan aku ketika menikah dengan orang yang aku cinta? Awalnya sakit karena nggak mau Mas Gibran terbebani dan menikah sama orang yang Mas Gibran nggak cinta, tapi kebanyakan aku bahagia banget bisa satu rumah sama orang yang aku cinta."

Gibran tersenyum tulus.

"Terimakasih ya, Na. Aku makin merasa beruntung sekali punya istri seperti kamu." Gibran membawa Naya dalam pelukannya, menghirup aroma tubuh perempuan yang ia rindukan beberapa hari ini.

Naya juga membalas pelukan Gibran. Nyaman sekali rasanya, pelukan Gibran seperti pengganti kasih sayang yang tak pernah diberikan oleh bapaknya dulu. Sangat nyaman.

"Soal waktu Mas Gibran sama Dila itu ... Gimana?"

Gibran mulai menjelaskan agar kesalah pahaman ini tidak menjadi panjang.

"Jadi cuma salah paham?"

"Iya." Gibran mencubit hidung Naya gemas.

"Kita ... Enggak jadi cerai kan?" tanya Naya dengan suara pelan.

"Enggak sayang."

"Kita pulang ke rumah ya? Aku kangen banget pengen tidur seranjang sama kamu, terus pelukan." Naya mencubit pinggan Gibran.

"Enggak mau seranjang sama Mas Gibran!"

"Ciee udah baikan." Syifa dan Ferlan masuk ke dalam kamar secara tiba-tiba.

"Ganggu deh," kata Naya mendelik.

"Cieee yang udah nggak galau lagi." Syifa terkekeh.

"Sayang, ayo pulang!" pipi Naya bersemu merah mendengar panggilan nama dari Gibran.

"Kamu mau pulang kan?" Naya mengangguk.

"Nggak mau nginep aja?" tanya Ferlan.

"Kita nggak bakal ganggu kok, nanti malam kita nyalain tv dengan suara gede, janji deh." tangan Syifa membentuk peace.

"Apasih!" ketus Naya, otak adiknya sepertinya sudah sangat rusak.

"Kita pulang aja, Mas."

"Oke."

Mereka kemudian berpamitan pada Ferlan dan Syifa untuk pulang.

"Aku kangen tidur sambil meluk kamu," bisik Gibran sambil memeluk ceruk leher Naya, tangannya dengan possesive memeluk pinggang Naya. Naya juga tidak menolak karena sebenarnya ia juga nyaman dan sangat merindukan posisi ini dan malam ini mereka tidur dengan posisi yang sangat manis.

















***

Aku lagi di rumah Mas Gibran, tapi kebetulan Mas Gibran nggak ada di rumah cuma ketemu Naya aja.

Ada yang mau kalian sampaikan sama mereka?

Sepupuku Suamiku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang