11. Tak terduga

68.9K 7.7K 1.1K
                                    

Sesampainya di rumah sakit, aku dan Mas Alan berjalan buru-buru menuju ruangan tempat nenek di rawat.

Sampai di sana aku mendapati semua keluargaku yang tengah harap-harap cemas.

"Gimana keadaan nenek?" tanyaku pada Azriel.

Azriel menggeleng, "dokternya belum keluar."

Azriel melirik sampingku, mungkin ia bingung dengan kehadiran Mas Alan. Secara aku belum menceritakan pada semua orang tentang Mas Alan, hanya  keluarga intiku saja.

Aku melihat Mas Gibran yang tengah berdiri di depan ruang periksa nenek, hatiku kembali terluka melihat Dila yang tengah berbincang dengan bibi. Bibi terlihat sangat welcome dengan kehadiran Dila.

"Mas, kalau kamu mau balik ke kantor aku nggak apa-apa kok sendiri di sini," ucapku pada Mas Alan.

"Aku temenin kamu di sini."

"Tapi pekerjaan Mas gimana?" tanyaku pelan.

"Nggak apa-apa, ada sekertaris di sana." aku akhirnya mengangguk.

Keluarnya dokter membuat kami menoleh. Mewanti-wanti akan bagaimana kondisi nenek.

"Pasien mencari-cari seseorang yang bernama Gibran dan juga Naya.  Apakah Gibran yang di maksud adalah dokter Gibran sendiri?" tanya dokter laki-laki yang menangani nenek.

"Iya, dok saya yang di maksud."

"Saya mempersilahkan agar dokter masuk menemui pasien bersama seseorang yang bernama Naya."

Semua mata kini menuju padaku.

"Ayo, Na!" ucap Mas Gibran, aku mengangguk.

"Aku masuk dulu ya, Mas." Mas Alan mengangguk.

Jujur rasanya dag dig dug sekali, padahal aku hanya berjalan dibelakang Mas Gibran, aku masih malu karena telah mengungkapkan perasaanku pada Mas Gibran malam itu. Jujur aku juga takut, bagaimana kalau Mas Gibran mengungkit masalah itu?

Sampai di dalam, hatiku lebih patah lagi melihat keadaan nenek yang hanya bisa terbaring lemah.

"Ini Gibran, nek." Mas Gibran menggenganggam tangan nenek.

Aku hanya diam menyaksikan.

"N-Naya mana?" nenek berbisik, mungkin saking pelannya hanya angin yang bisa mendengar.

"Naya ada di sini," ucap Mas Gibran.

"Naya di sini, Nek," ucapku.

Nenek mengangguk, tanda percaya.

"Gibran."

"Iya nek?" jawab Mas Gibran.

"Nenek boleh minta sesuatu? Anggap aja sebagai permintaan terakhir nenek."

"Astagfirullah, nenek ngomong apa sih. Apapun permintaan nenek, bakalan Gibran turutin, nenek tinggal sebut aja," ucap Mas Gibran.

"Nenek mau kamu menikah dengan Naya."

Jedar!

Bagaikan petir di siang bolong.

"Kamu bilang akan turutin semua kemauan nenek kan. Nikah sama Naya, jaga dia baik-baik." suara nenek melemas.

Aku menatap Mas Gibran yang juga tengah menatapku dengan tatapan yang sulit di artikan.

"Nenek mau kamu menikah di hadapan nenek, biar nenek bisa pergi dengan tenang."

Aku berjalan mundur ke belekang. Entah ada apa tapi air mataku turun, sampai di luar semua orang menatapku bingung. Tak ku hiraukan semua pertanyaan yang keluar dari semua keluarga, yang ada aku berlari menjauh.

Sepupuku Suamiku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang