4. Patah lagi

68.3K 8.1K 559
                                    

"Sial," rutukku.

Aku menendang motor matic yang berada di depanku. Bukan tanpa alasan aku sampai kesal begini. Ini sudah yang ke sekian kalinya aku mencoba untuk menyalakannya, namun tak kunjung nyala juga.

Aku baru pulang kuliah, dan baru sampai depan gerbang kampus motorku sudah mati. Entah apa penyebabnya, aku tak tau yang pasti aku tengah kesal sekarang. Udah lapar, mana matinya di tempat panas lagi, kesialan seperti tengah berpihak padaku.

Aku tak tau harus meminta tolong pada siapa. Kedua sahabatku telah pulang duluan.

Ku hembuskan nafas panjang, kemudian membaca bismillah dan mencoba menyalakan kembali. Aku memejamkan mata menahan emosi saat motor tersebut tak kunjung mau menyala.

"Mampus. Mati aja," teriakku seraya menendangnya.

Air mataku terasa tumpah. Ah, aku memang cengeng. Aku menangis ketika aku akan merasa sangat kesal, itu artinya kekesalanku sudah berada di level paling tinggi. Jika tidak menangis, berarti aku masih bisa menahannya.

Dengan sedikit kesal aku dorong motor itu hingga hendak terpental jatuh.

Sepersekian detik berikutnya aku menoleh ketika sebuah tangan menahan motor tersebut agar tak jatuh. Itu Mas Gibran, jarak kami sangatlah dekat, aku menongak menatapnya karena tubuhnya yang menjulang tinggi dan aku yang kependekan, hingga membuatnya juga menunduk menatapku.

Seperti biasa Mas Gibran memang selalu terlihat tampan, dengan mengenakan kemeja slim fit warna navy, ia terlihat sangat tampan, dan keren. Always. Dengan jarak yang sedekat ini, jantungku berpacu dengan cepat.

"Mas Gibran," lirihku.

Aku mendengar helaan nafas berat dari Mas Gibran. Ia dengan sabar membawa motorku ke bawah pohon untuk berteduh.

Aku masih mematung di tempatku. Karena kekesalanku belum hilang sepenuhnya, Mas Gibran kembali menatapku.

"Mau jadi ikan asin yang di jemur?" tanya Mas Gibran.

Dengan rasa malas yang menggebu-gebu, aku mendekatinya. Kenapa juga harus dia yang menolongku? Sungguh, aku takut berada di dekatnya. Takut kalau aku semakin jatuh pada pesona seorang Gibran Alfath Dirgantara. Tapi, bukankah ini pertanda baik? Aku dan Mas Gibran bisa semakin dekat.

Aku menggelengkan kepala, mengusir imajinasi liar yang menghinggap di kepalaku. Mana mungkin Mas Gibran menyukaiku, aku dan dia sangat jauh berbeda, bagaikan langit dan bumi.

Ia dengan segudang prestasi karena kepintarannya, ia juga penghafal. Mengingat fakta itu membuatku merasa hanya sebuh butiran debu kalau harus bersanding dengan Mas Gibran.

"Ada masalah apa sih, Na?" tanya Mas Gibran ketika aku sudah berdiri di depannya.

"Nggak." aku menatap arah lain, enggan menatap wajahnya yang tampan itu.

"Terus ada apa sampai-sampai mau buang motor?" tanyanya lembut.

Aku tak menjawab, masih menatap arah lain.

"Terus ini motornya kenapa? Oh, atau kamu lagi berantem sama pacar kamu terus kamu lampiasin ke motor, begitu?"

Aku berdecak kesal.

"Aku nggak punya pacar. Motornya mati nggak tau kenapa, " jawabku sedikit sewot.

"Jadi gara-gara motornya mati, kamu sampai nangis gitu?"

Aku merasa pipiku memanas, aku yakin sekarang sudah seperti tomat. Sedikit malu mengingat kejadian tadi.

"Nggak." aku menatap arah lain.

Sepupuku Suamiku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang