Awkward

5.3K 415 6
                                        

Lilianne pov

Aku menghela napas meminum mint tea yang Keira berikan padaku sesaat aku sampai dirumahnya.

"So.. tell me everything..." matanya berbinar menatapku.

Aku memejamkan mata dan menghela napas berat. Pagi ini aku bangun dengan tubuh telanjang di samping Tino yang memeluk erat perutku. Aku bangun dan seketika panik melihat baju kami yang berserakan dimana-mana. Untunglah Tino tidak terbangun saat aku berjingkat keluar kamar setelah berpakaian asal dan kabur dari apartemennya.

Aku belum siap pulang kerumah karena belum mendapat alasan tepat jika Mama bertanya mengapa aku tidak pulang semalam dan akhirnya aku memutuskan kerumah Keira. Untung semalam Keira sudah bilang pada Mama bahwa aku kecapaian dan menginap dirumahnya saat Mama tidak bisa menghubungiku.

Aku menyesap pelan minumanku membuat Keira mendecak tidak sabar. "Ayo dong Lil. Cerita semalem lo kemana? Gw ga liat lo di acara ultah boss n lo ga pulang kan? Jarvis bilang Tino anter lo balik karena mendadak lo ga enak badan. Lo masih pake baju kemaren. Dan gw liat hickeys di leher lo.."

Aku reflek menutup leherku. "Hah?" Aku membuka camera di ponsel dan mengarahkan ke leher tapi tidak melihat apapun.

Keira terkekeh melihat aku termakan omongannya. "Abis sebel lo ga ngomong apa-apa dari tadi..."

Aku menggigit bibirku mempertimbangkan apakah aku harus berkata jujur atau tidak. Tapi bisakah aku menghindari? Aku menghela napas panjang dan akhirnya aku menceritakan semua yang terjadi semalam tanpa detail percintaannya.

Wajah Keira berubah warna seperti bunglon, awalnya pias lalu memerah dan dia memekik sambil memukul lenganku.

"Gila!! Gilaaaak!!" Dia melonjak seperti habis mendapat lotre. "Gilaaaa!!!" Dia mengambil ponsel dan menghubungi Pamela menyuruhnya datang sekarang juga dan aku tidak berupaya menghentikannya karena cepat atau lambat mereka akan tahu. Lagipula aku perlu masukan tentang apa yang selanjutnya akan aku lakukan pada Tino.

"Gw tidur bentar ya Kei. Kepala gw agak puyeng.."

"Buset berapa ronde lo? Emang kalo ama berondong perkasa ya Lil.."

Aku tidak menghiraukan cerocosan Keira dan merebahkan tubuhku ke ranjang. Aku memejamkan mataku menghalau potongan-potongan kejadian semalam.

Rasanya gila bila membayangkan aku bercinta dengan Tino, untungnya efek obat itu berhenti setelah percintaan kedua kami. Tapi aku tidak menolak saat Tino kembali menggodaku. Aku seperti terhipnotis dengan tatapan matanya dan tubuhnya yang, wow!!

Aku merasa di inginkan setelah sekian lama hidup sendiri.

Tapi dengan segera aku menepis bayangan pria itu. Aku memijat pelipisku membayangkan apa yang harus aku perbuat saat aku bertemu dengannya senin nanti di kantor.

Aku tidak bisa tidur sampai satu jam kemudian Pamela datang dan langsung menyerbuku dengan berbagai pertanyaan yang malah dijawab antusias oleh Keira.

"Oh... My..... God Lil...!!! Seriusan lo tidur sama dia? Tapi gara-gara penjahat brengsek itu yang cekokin lo kan? Tapi untung ada Tino kalo ga gw ga bisa bayangin apa yang terjadi sama lo. Tapi lo sadar kan waktu berbuat sama dia?"

"Iiih, apaan sih Pam tapi-tapi mulu dari tadi..." Keira mendelik dan menelatapku. "Terus gimana Lil?"

Aku menggeleng. "Gw ga tau. Mana senin kita ada meeting buat event bulan depan. Gw ga bisa minta Sari wakilin sedangkan semua staff PR terlibat kan Kei?"

Keira mengangguk. "Saran gw sih lo harus ngomong sama dia."

"Iih, tar disangka Lilianne nyosor kalo ngajak dia ketemu lagi." Pamela menyahut.

"Tapi soon or later mereka harus bicara. Daripada awkward pas ketemu emang enak?! Mending jelas supaya kejadian kemaren ga berdampak sama kerjaan ni dua manusia. Mereka bukan bocah kan, Pam!" Bantah Keira.

Benar juga apa katanya, aku harus bicara dengan Tino karena jangan sampai ada yang aneh atau terburuknya tersebar berita aku sudah tidur dengannya. Keira memberikan nomor ponsel pria itu. Dengan gugup aku meneleponnya dan mendengar suaranya pada dering pertama.

"Lil..."

Aku terkejut, dari mana dia tau itu aku? Aku berdehem. "H.. hai.."

"Hai.. kamu dimana? Aku bangun n kamu ga ada.."

Wajahku memerah. "Aku... ah.. kita harus bicara. Ada waktu siang ini?"

"Yeah. Kita brunch bareng mau? Aku belum makan dari bangun. Aku nunggu kamu hubungin aku."

Aku tertegun, ini orang percaya diri amat yak.. "Oke, jam 12 ya. Nanti tempatnya aku kabarin."

"Oke. See you soon babe..."

Aku menutup telepon. Dan memandang kosong wajah penasaran kedua sahabatku. "Dia manggil gw babe..."

"Whaaaaaaatttt????" Mereka berseru berbarengan.

Mereka berteriak tidak keruan dan dadaku berdegup kencang merasakan perasaan asing yang sudah lama tidak aku rasakan.

^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*

Tino melambaikan tangannya saat mataku berpendar mencari pria itu di dalam cafe. Aku mendadak gugup saat berjalan mendekatinya. Dia berdiri dan menarik kursi untukku.

"Thanks.."

Dia mengangguk dan kembali duduk di depanku. Menatapku dengan sorot mata mendamba yang pastinya membuat wajahku terasa panas. Aku mengerjap gugup sambil membasahi bibirku yang terasa kering dan pandangannya jatuh kesana. Ah, kenapa aku jadi canggung begini?

Dia terus tersenyum dan aku berkali menghindar dari tatapannya yang mengintimidasi.

"Mau makan apa Lil? Aku udah pesan tapi baru untukku doang.." dia menyodorkan buku menu dan aku membukanya dengan canggung.

Seolah memakai bahasa lain semua tulisan di menu itu tidak terlihat jelas karena aku tau dia masih intens menatapku.

Aku memesan zuppa soup dan coklat hangat saja, aku tidak terlalu lapar dan makanan manis bisa membantu menentramkan hatiku yang sedang jungkir balik tidak karuan.

"Kenapa pergi tadi pagi?" Dia menatap lurus padaku membuatku jengah.

"Mm, saya..."

"Jangan saya. Aku-kamu..." Sahutnya pelan. "Kita sedang tidak dikantor dan setelah semalam...." dia menggantung kalimatnya menunggu responku. Dari seringainya terlihat bahwa dia sangat puas dengan responku yang menunduk dengan wajah semerah kepiting rebus.

"No, semalam itu. Maaf... saya.. aku manfaatin kamu. Kalau bukan gara-gara minuman sialan itu mungkin..."

Tino meraih tanganku, membuatku deg-degan setengah mati.

"Kalau kamu berharap aku bakal lupain kejadian semalam..." dia menggeleng. "Semua yang kita lakuin atas dasar kesadaranku dan kamu jangan merasa bersalah."

Aku memandang tangannya yang mengelus pelan tanganku.

"Tapi Lil.. suami kamu..." dia terlihat sedikit cemas.

Aku berdehem lalu tersenyum kecil. Tatapan pria ini membuatku salah tingkah. "Aku single parent. Aku sudah lama berpisah sama Papanya Liv."

"Liv?" Kedua dahinya berkerut dan satu alisnya naik membuat dia terlihat lucu.

"Olivia. Itu anakku. Kapan-kapan aku akan kenalin." Wait... kenapa aku bilang begitu? Dan senyum lebar Tino terpampang jelas. Jadi apa hubungan kami sekarang? Tapi masa iya dia tiba-tiba tertarik padaku? Jangan-jangan dia cuma main-main.

"No.. aku udah lama ga pernah menjalin hubungan dengan siapapun. Dan tidak terpikir untuk mencoba. Fokusku bukan cari pendamping hidup. Yang penting Liv dan ibuku merasa bahagia. Tapi aku juga belum berpikir tentang apa yang akan terjadi dengan kita ke depannya, aku belum berpikir sejauh itu. Lagipula umur kita....mm.. aku..."

"Aku jatuh cinta sama kamu." Tino menatapku tanpa ragu dan aku tidak bisa memalingkan pandanganku sedikitpun.

*_*_*_*_*_*_*_*_*_*TBC*_*_*_*_*_*_*_*_*

✅ TOUCH ME NOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang