Lilianne pov
Aku merapihkan rambutku. Aku biarkan tergerai simpel. Malam ini Tino akan datang kerumah, makan malam dengan kami. Mama sangat bersemangat menyambutnya. Ibuku itu memasak masakan spesial untuk Tino.
Aku sudah mengatakan pada Mama tentang lamaran Tino. Dia ikut berbahagia untuk kami. Mama bilang bahwa sejak awal sudah merasakan kalau Tino suka padaku, dan dugaannya benar. Yang tidak mama duga adalah dengan berani pemuda itu melamarku.
Aku menyemprotkan parfum favoritku sesaat sebelum turun ke lantai bawah. Terdengan suara Liv dan Mama sedang berbincang.
"Menurut Oma apa Om Tino bakal suka sama puding buatanku?" Wajah gadis kecil itu sangat bersemangat menyiapkan toping coklat yang kami buat tadi malam.
"Pasti suka. Oma aja suka."
Liv memekik senang membuatku tersenyum. Sudah lama kami bertiga tidak pernah menerima tamu khusus dirumah. Biasanya hanya para sahabatku saja yang datang. Aku pun tidak bisa nenutupi rasa gugupku, ini pertama kali secara resmi aku akan mengenalkan Tino pada Mama. Walau terlihat jika wanita paruh baya itu sudah menyukainTino, tetap saja aku merasa canggung.
Aku melirik ke arah jam, seharusnya Tino sudah sampai. Tapi entah mengapa dia belum terlihat juga, padahal Tino termasuk orang yang tepat waktu. Aku mengambil ponselku dan tidak ada satu notifikasi apapun. Aku membantu Mama menyiapkan meja makan, hingga tidak terasa sudah setengah jam lewat dari waktu seharusnya dia datang. Aku merasa cemas, tidak ada kabar apapun.
Aku mencari nomornya dan menghubungi pria itu, suara dering terdengar dari arah pintu. Senyumku terbit dan aku berjalan sambil membuka pintu.
"Hai... Maaf aku telat. Aku ga tau harus beli apa buat Mama kamu." Dia mengangkat sebuket rangkaian bunga cantik, sambil memeluk dan mencium pelipisku.
Aku merasa lega. Aku membalas pelukannya lalu mengajaknya masuk. Mamaku sangat senang dengan hadiah yang Tino bawa, begitu juga dengan Liv, dia mendapatkan bantal berbentuk kupu-kupu berwarna rainbow.
Makan malam berlangsung baik, hanya saja Tino sedikit berbeda. Dia terlihat banyak melamun. Entah apa yang mengganggu pikiran pria itu, aku merasa kurang nyaman jika harus bertanya. Aku berusaha mengenyahkan pikirin tentang satu nama yang sedari kemarin membuatku penasaran. Tapi aku tidak tahu apakah pria itu akan terganggu jika aku bertanya. Biarkanlah..
"Terima kasih untuk malam ini Ed.." sahutku saat mengantarnya ke pintu depan rumah.
Tino mengangguk. "Aku jalan dulu ya.. besok aku harus pergi sama Jarvis mau cek lokasi."
Aku tersenyum sambil mengangguk. "Sampai ketemu senin.." sahutku. Dia mendekat dan mencium keningku.
"Love you Lil..." Tino menjauh dan aku hanya memperhatikannya. Entah mengapa aku merasa pikirannya tidak sejalan dengan tubuhnya saat mengatakan itu. Tapi aku menggeleng dan berharap semua baik-baik saja. Mungkin hanya pikiranku yang terlalu lelah.
*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*
Aku menatap kotak bekal untuk Tino sambil tersenyum lebar. Mama menyiapkan menu makan siang spesial untuk pria itu.
Belum ada yang tahu tentang hubungan kami di kantor, jadi aku harus berpura-pura keruang kerja Keira, baru bisa meletakkan bekal makanan di meja kerja Tino, jika situasi aman. Bukan aku tidak ingin orang tahu, tapi yah, masalahnya mereka juga belum tahu tentang Tino, aku tidak ingin ada spekulasi macam-macam.
Aku sampai di lantai pria itu bekerja, melirik dari kaca tapi tidak melihat sedikitpun batang hidung pria itu. Memang sih aku tidak bilang kalau akan membawakan bekal, tapi kemana dia?
"Hoi!"
Aku terlonjak kaget mendengar sapaan sahabatku. "Astaga Kei..!!" Aku melotot saat dia tertawa melihatku terkejut.
"Nyari Tino, Lil? Tadi dia udah turun duluan gw pikir dia nyamperin lo.." jelasnya.
Aku terdiam mencoba tidak terlihat bingung. Tumben Tino tidak mengabariku? Aku mengecek ponselku tapi tidak ada notifikasi apapun. Kemana dia? Aku berdehem dan mengatakan paka Keira bahwa aku akan mencari pria itu dibawah.
Perasaanku sedikit tidak enak. Sepanjang hari minggu kemarin, Tino bilang dia akan pergi dengan Jarvis. Dia biasa melakukan itu tapi tidak biasanya dia tidak mengabariku. Sesibuk apapun pria itu, dia pasti memberi kabar. Aneh memang tapi aku merasa itu hanya perasaanku saja. Aku akhir-akhir ini berubah menjadi Lilianne yang kekanakan dan posesif. Sering kali aku berperang dengan batinku sendiri untuk tidak selalu ingin tahu dimana dan apa yang sedang kekasihku itu lakukan. Sepertinya aku benar-benar jatuh cinta. Aku mengetuk kepalaku saat di lift, membiarkan beberapa pasang mata menatapku heran. Aku akan membeli kopi dulu dan membiarkan Tino saja yang menghubungi ku nanti. Sedikit merasa kesal karena kami tidak akan makan bersama.
Aku berjalan ke arah coffe shop yang terletak tepat di tengah lobby. Langkahku melambat saat aku melihat Tino sedang duduk membelakangiku, didepannya ada seorang wanita cantik berambut sebahu.
Entah mengapa aku malah bersembunyi di balik pilar. Aku tidak bisa mendengar suara mereka karena lobby cukup ramai siang itu. Lalu aku melihat mereka berjalan keluar ke arah parkiran mobil di basement, aku mengikuti mereka sambil mengendap. Ada rasa tidak biasa saat aku melihat Tino membukakan pintu mobil untuk wanita itu. Siapa dia? Mereka naik mobil yang sepertinya mobil wanita itu, tapi Tino yang menyetir.
Aku membalik tubuh saat mobil itu melewatiku, semoga saja tidak terlihat.
Lalu saat mobil itu menghilang, perasaan tidak nyaman langsung menyergapku. Aku mengambil ponsel di saku dan menghubungi Tino, lama sekali dia mengangkatnya.
"Halo.."
Aku menelan salivaku gugup. "Ed, kamu dimana? Aku mau ajak makan bareng." Sahutku dengan suara tenang.
"Mm.. sorry Lil. Aku lagi keluar kantor. Ada perlu.. mmm... Sama Jarvis. Nanti aku ke ruangan kamu kalau sudah balik ke kantor lagi. Oke bye."
Mulutku terbuka, aku tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. Tino berbohong. Jelas-jelas dia pergi bukan dengan Jarvis, dan yang paling mengejutkan adalah.. dia langsung menutup teleponku.
Astaga!!
Aku tidak percaya pria itu berbohong. Ada apa sebenarnya? Siapa wanita itu yang membuat Tino sampai berbohong seperti itu?
Aku berjalan dengan gontai ke lantai atas, di lift aku bertemu dengan Jarvis. Mulutku seperti terkunci, enggan bertanya apapun. Pastinya pria itu juga menutupi kebohongan sepupunya. Suara ponsel Jarvis berbunyi.
"Halo.. oi No.. hah? Mm... Oke...oke.." Jarvis salah tingkah menatapku. Aku paham, pasti Tino mengatakan padanya untuk berbohong jika bertemu denganku.
Dan sekarang Jarvis menatapku dengan perasaan bersalah. "Mm.. maaf Bu Lian. Bukan maksud saya untuk.. mmm.."
Aku membuang muka lalu menatapnya kesal. "Karena kamu terlanjur ketahuan berbohong, kamu harus kasih tau saya dengan jujur mas.."
Dia menelan salivanya, apa boleh buat, terlanjur aku mendengar sendiri kebohongan Tino. Aku harus tahu yang sebenarnya.
"Siapa wanita itu?"
*_*_*_*_*_*_*_*_*_*TBC*_*_*_*_*_*_*_*_*
KAMU SEDANG MEMBACA
✅ TOUCH ME NOW
Acak(Complete) Lima tahun menjanda, Lilianne hanya fokus pada pekerjaan dan anak semata wayangnya, Olivia. Baginya kehidupan yang dia jalani sudah sempurna, Lilianne tidak membutuhkan sosok pria baik untuknya atau untuk anaknya. Hingga suatu ketidaksen...