24

26 2 0
                                    

Dering telpon Reno menjadi alarm pagi di kamar Vanya. Gadis itu meraba-raba ponsel yang ikut berselimut bersamanya.
"Hem, halo!"

"Vanya!" Sapa Reno lembut. Vanya yang mengenali suara itu sontak terkejut dan segera mengucek mata. "Apa kabar?" Tanya Reno

"Ah...hai, Reno. Emm aku baik kok. Kamu apa kabar?"

"Aku tidak baik" Ucap Reno lesu.

Vanya khawatir "Kamu sakit? Sakit apa, Ren? Kamu udah periksa ke dokter? Eh kamu harus banyak minum air putih. Tapi kenapa kamu sakit? Apa kamu suka begadang di sana?"

"Aku tidak baik karena mencemaskanmu. Lebih tepatnya mencemaskan ada hubungan apa kamu dengan yang namanya Vian itu?"
Sontak gadis itu terkejut dan terbungkam.
"Aku ingin tahu semuanya" Ucap, Reno.

"Kak Vian adalah kakak kelasku di SMP"

"Teruskan, ceritakan semuanya padaku, Vanya tanpa ada yang terlewatkan. Aku mohon" pinta Reno dengan serius.

Vanya terdiam untuk beberapa saat dan akhirnya mulai bercerita.
"Kak Vian dulu ketua OSIS dan sangat dikagumi oleh banyak orang salah satunya aku. Aku ingin sekali bisa mengenalnya dengan baik saat itu. Tapi aku tidak bisa karena aku bukan siswa yang terkenal di SMP. Kemudian saat reuni kemarin, aku baru tahu kalau kak Vian berteman cukup akrab dengan Divan dan teman-temanku di reuni membahas hal-hal yang tidak menarik bagiku begitu juga buat kak Vian. Kemudian kak Vian yang menyadari bahwa aku tidak tertarik dengan topik mengajakku menyegarkan pikiran dengan berjalan sebentar di luar cafe. Jujur aku senang bisa dekat dengan kak Vian karena ternyata dia masih sama seperti di SMP. Pintar, berwibawa, dan masih suka tersenyum" ucap Vanya menceritakan.

"Lalu, mengapa si Vian itu mengajakmu keluar"? Tanya Reno ingin tahu lebih lanjut.

Vanya tercengang 'Haa, dari mana Reno tahu bahwa aku bertemu kak Vian hari ini' Batin Vanya.
"Ah, itu karena kak Vian sedang jenuh dan ingin sedikit bersantai. Awalnya dia mengajak Divan tapi kamu tahu sendirikan Divan sedang sibuk mengurus cafe jadi aku yang juga sedikit bosan di rumah menawarkan untuk pergi bersantai bersama"

Reno mengernyitkan keningnya, "Kamu yang memberi tawaran?"

"Iya" ucap Vanya.

"Apa kamu hanya berteman dengannya?" Tanya Reno

Vanya terdiam, tertunduk, kemudian menjawab pertanyaan Reno "ya, aku hanya berteman dengannya. Tidak lebih" ucap Vanya membual.

Reno menghela nafas panjang "Syukurlah. Aku lega mendengarnya. Ahh, ia aku sebentar lagi akan benar-benar sembuh, Vanya. Tunggu aku" Ujar pria itu dengan semangat membara.

Vanya tersenyum kecil "Syukurlah"

"Kau akan menungguku, kan?" Tanya Reno

Vanya tertunduk sedih "Ya, Reno".
'Maaf, Ren. Aku harus berbohong. Aku takut kamu marah dan berhenti melakukan pengobatan karena kecewa. Karena aku tahu kamu berjuang sekeras itu karena aku. Maafkan aku, Reno. Bahkan aku sendiri tidak yakin siapa yang lebih kucintai. Aku ingin keduanya. Maafkan aku menjadi egois' Batin Vanya sambil menangis di kamarnya.

                               ✨✨✨✨✨✨

(Tiga Hari Kemudian)
Reno dinyatakan sembuh dari traumanya. Kini laki-laki tampan itu benar-benar normal ditengah kerumunan orang maupun mobil.
Ia turun dari mobil dan melangkahkan kaki dengan cepat disertai senyum sumringah. Tangannya membuka gerbang dan matanya mencari-cari ke setiap tempat.
Tak ada satupun yang tahu bahwa Reno kembali hari itu. Dengan perlahan tangannya membuka pintu dan segera mendapati Vanya bersama Divan sedang mengobrol di ruang tamu. Vanya dan Divan begitu kaget melihat kepulangan Reno yang mendadak. Spontan Vanya berlari menemui Reno yang masih berdiri gagah di depan pintu.

Lonely Heart Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang