34 || Princess Callysta

100 16 2
                                    

Selamat membaca 🤗
jangan lupa vomentnya!
.
.
Kini Callysta mulai terbangun. Namun, badannya masih tetap saja begitu lemas. Begitu sakit tubuh Callysta digerakkan, mungkin karena efek kemarin ia melawan Titanium dan Gloriosa.

Callysta mencoba untuk duduk dengan sesekali memperhatikan sekelilingnya yang ternyata sedang menunggunya sejak malam. Ratu Amira begitu senang melihat Callysta sudah mulai tersadar dari pingsannya dan mencoba mendekati Callysta untuk memulai percakapan di antara mereka berdua.

"Putriku Callysta, apa masih ada yang sakit?" tanya Ratu Amira yang hanya mendapat tatapan sendu dari Callysta. Entah apa yang sedang dipikirkan Callysta, yang jelas ia hanya menahan segala tangisnya itu agar tidak keluar dihadapan Ibundanya.

"Tidak Ibunda, hanya saja badanku masih terasa lemas. Namun, kenapa banyak orang di kamarku Ibunda?" Callysta yang begitu heran pun bertanya kepada Ibundanya. Apalagi melihat wajah mereka yang seakan begitu senang melihat Callysta mulai sadarkan diri.

"Mereka semua begitu menghawatirkan keadaanmu setelah melawan dengan Titanium dan Gloriosa," jawab  Ratu Amira yang membuat Callysta terenyuh kembali dalam kesedihan. Bukan hanya kesediahan saja, melainkan penyesalan juga bercampur aduk dalam hati Callysta.

"Apakah aku boleh meminta sesuatu kepada Ibunda dan kalian semua yang ada di sini?" tanya Callysta yang sebenarnya tak enak jika bertanya hal semacam itu, apalagi kepada Ibundanya.

"Minta apa Putriku?"

"Berikan waktu aku sendiri dulu, maaf Ibunda bukan maksud Callysta untuk mengusir," balas Callysta yang sudah menahan segala tangisannya itu dengan senyum palsu kepada orang-orang disana agar tidak begitu mengkhawatirkan dirinya.

"Baiklah, Ibunda akan keluar dari kamarmu. Jika butuh apa-apa, panggil saja Ibunda, ya!" perintahnya yang seraya langsung keluar dari kamar Callysta dengan mengajak yang lain yang berada di kamar itu.

Setelah melihat semua orang yang berada di kamarnya keluar, Callysta tutup pintu kamarnya itu dan beranjak mengambil sebuah kotak yang berisi selembar foto kebersamaan dirinya yang begitu manis dilihatnya waktu itu, tidak dengan sekarang. Manis sesat, pahit selamnya. Itulah kalimat yang pas untuk menggambarkan kehidupan dulu Callysta dengan Titanium dan Baldric.

Begitu bercampur aduk yang sekarang Callysta rasakan. Baru saja ia merasakan kebahagiaan, tapi mengapa kini ia harus merasakan kesedihan kembali. Apakah dirinya itu tidak diizinkan untuk merasakan kebahagiaan lebih lama lagi?

Hanya isakan tangisan yang terdengar, dengan memeluk foto kecil itu. "Maafkan aku Ibu, aku sudah dengan teganya membunuhmu. Hiks ...."

Bukannya makin reda, tangisan itu malah kian deras mengalir setiap mengingat kenangan manisnya dulu bersama Titanium, sebelum terjadi seperti ini. "Semoga Ibu tentang di sana, ya. Maafkan aku Ibu, aku terpaksa melakukan itu untuk kebaikan kita semua," batin Callysta yang menaruh kembali foto itu ke dalam sebuah kotak kecil, bukan niat Callysta yang ingin membuang segala ingatannya tentang Titanium, tetapi ia hanya ingin melupakan sejenak kesedihannya itu karena masih ada hal lain yang harus ia pikirkan dan jalani.

Selang beberapa menit kemudian, Callysta teringat dengan seseorang yang telah menyelamatkan hidupnya dari kutukan. Sungguh hari ini adalah hari penuh akan tangisan. Tidak cukup dengan Titanium dan kini ia mulai teringat kali dengan Filbert yang sudah terdiam membeku kerena dirinya.

Callysta pun menaruh kotak kecil itu kembali, dan mencari di mana Filbert kini berada. Bagaimana pun Filbert terjadi seperti ini karena menyelamatkan dirinya.

***

Callysta baru saja keluar dari kamarnya setelah berjam-jam ingin menyendiri menenangkan hatinya.

Di dekatilah Ibundanya dan mulai bertanya sesuatu kepada Ratu Amira.
"Ibunda, di mana Filbert?" tanya Callysta yang tak kunjung dapat jawaban dari ratu Amira. Namun, selang beberapa menit Ratu Amira pun menjawab pertanyaan Callysta tersebut dengan sedikit ada rasa khawatir jika Callysta tidak bisa menerima kondisi Filbert yang sekarang dan malah Callysta akan bersedih kembali melihat hal itu.

"Masuklah di ruangan itu," tunjuk Ratu Amira dan Callysta pun langsung menuju ke sebuah ruangan yang jarang digunakan, tapi masih terata rapi dan bersih. Ratu Amira pun juga mengikuti Callysta karena khawatir jika akan terjadi apa-apa dengan Putrinya itu, mengingat sedari tadi Callysta belum sedikit pun makan dan minum.

Dengan pelannya Callysta membuka gagang pintu, sembari mencari di mana keberadaan Filbert sekarang. Callysta kian masuk ke dalam yang masih terus mencari keberadaan Filbert. Dan saat menoleh ke arah belakang, begitu lemas tubuh Callysta melihat tubuh Filbert yang sudah berubah menjadi batu yang di garisi, agar tidak sembarang orang boleh mendekat.

Tangisan kembali tercipta di tempat itu, hanya penyesalan demi penyesalan yang kini Callysta rasakan karena Callysta selalu merasa jika dirinya adalah sebab dari apa yang terjadi dengan Filbert.

"Maafkan aku Filbert. Hiks ... aku tidak akan mengira jika akan terjadi seperti ini akhirnya. Mengapa kamu menolongku waktu itu Filbert? Mengapa tidak membiarkan aku saja yang menjadi dirimu sekarang. Hiks ...," ucapnya di hadapan Filbert yang masih menangis tanpa henti di ruangan tersebut.

Ratu Amira yang ternyata sedari tadi dibsana, mencoba untuk mendekat ke arah putrinya untuk mencoba menenangkannya. "Sabar Putriku." Ratu Amira yang begitu bingung harus berkata apalagi agar putrinya itu tidak sedih.

"Ibunda tolong bicara kepadaku, jika di depanku ini bukanlah Filbert!"

"Maaf Callysta, Ibunda harus menjawab jujur, jika orang yang ada di hadapanmu adalah Filbert."

"Awhh ... tidak! Hiks ..."" rintihnya menahan segala isakan dalam diri, yang begitu terenyuh dalam kesedihan yang tidak ada habisnya.

"Ja-jangan sedih Callysta! Jika kamu bersedih yang ada hanya akan menambah rasa sakitku, apakah kamu tidak kasihan dengan diriku ini? Tolong jangan sedih lagi!" pesan Filbert sebelum ia kembali terdiam lagi dan malah sekarang sudah menutup matanya, menahan segala rasa sakit dalam tubuhnya yang begitu tak karuan.

"Bagaimana aku tidak sedih, jika melihat dirimu yang seperti itu. Demi kamu,  akan berhenti bersedih," jawab Callysta menghapus air matanya itu dan melihatkan senyum manisnya kearah Filbert dan Filbert nampak sedikit begitu senang, walaupun hanya sesaat.

Callysta habiskan waktunya itu di ruangan itu, dengan bercerita kepada Filbert. Walau pun tidak ada jawaban dari Filbert, tapi Callysta tahu jika Filbert pasti juga bisa merasakan cerita itu.

"Aku akan menunggumu di sini Filbert, aku harap kamu secepat berubah seperti semula. Aku sudah tidak sabar untuk bercerita, bermain dan latihan kembali denganmu. Aku akan terus menunggu waktu itu," batin Callysta yang mampu juga didengar oleh Filbert. "Aku pun begitu Callysta, aku merindukan kebersamaan kit, tapi apa masih bisa?" batin Filbert memandangi Callysta yang masih dengan setianya menemani disana sembari bercerita tentang perjalanan dulu sebelum sampai di negerinya ini.

***

Filbertnya masih belum pulih nih, kira-kira nanti bisa sembuh ngga, ya? Atau malah akan menjadi batu selamanya?

Selamat menunggu dan membaca Chapter selanjutnya guys❤️

Princess Callysta  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang