"Hai,"
Akhirnya aku bisa menyapa kalian, pembaca cerita nggak jelasku yang udah lama terbengkalai.
Aku kembali setelah beberapa hari ini pusing mikirin PTS yang materinya aja aku nggak ngerti. DahlahHappy Reading Semuanya :)
Aran menyusuri koridor dengan setumpuk kertas di tangannya. Ia melangkah dengan malas, sesekali menghela napas dengan berat. Aran menatap benda putih dengan tanda tangan kepala sekolahnya yang terletak di pojok kanan bawah dengan enggan. Terlebih lagi ada nama seorang gadis gila yang tercetak tebal di sana.
Berulang kali ia merutuki keputusannya untuk pergi ke kamar mandi. Harusnya ia tetap berada di dalam kelas dan membiarkan kunang kunang dan pusing sialan itu merusuh di kepalanya. Jika saja ia tidak melewati koridor ruang BK, dapat dipastikan saat ini ia tidak perlu bersusah payah menghampiri Xena ke kelasnya.
Aran berdiri di depan pintu kelas Xena tanpa minat. Kemudian mengetuknya berulang kali hingga terdengar sahutan seorang wanita dari dalam kelas itu.
“Masuk,” suara itu membuat Aran mengacak rambutnya asal. Ia yakin seyakin yakinnya bahwa yang sedang mengajar di kelas itu adalah yang terhormat Ibu Yunita. Siapa yang tidak kenal bu Yunita, guru dengan rasa kemanusiaan tinggi yang sangat menjunjung nilai nasionalisme dan patriotisme dalam kehidupan sehari hari.
Aran membuka pintu dengan hati hati, namun belum juga ia melangkah masuk, wanita yang tengah duduk di kursi guru itu meneriakinya .
“Bajunya dimasukkan dulu,” suara itu sukses membuat hampir dari sebagian siswa terkejut. Dengan malas Aran kembali keluar kelas, memasukkan bajunya kemudian melangkah masuk lagi dengan mengucapkan salam. Tadi lupa.
Aran berjalan mendekati meja Bu Yunita, namun langkahnya kembali terhenti ketika ia mendengar pekikan penuh semangat dari bangku paling belakang,
“Selamat siang sayang, tumben main kesini,” demi apapun juga, Aran ingin sekali membungkam mulut bocor Xena dengan kertas kertas di tangannya.
“Xena, siapa yang suruh kamu berbicara? Waktu saya tanya kamu tidak menjawab dan pura pura tidur, sekarang diam atau ikut saya ke ruang BK,”
“Oh iya bego, gue kan lagi pura pura tidur, emang dakjal mulut gue,” rutuk Xena, membuat Hara yang mendengarnya hanya bisa menggelengkan kepala.
Aran membuang napas kemudian mencebik, diam diam ia melihat ke arah Xena yang menatapnya penuh minat. Kemudian gadis itu melambaikan tangan padanya ketika mata keduanya tidak sengaja bertemu. Aran memutar bola matanya, kemudian kembali berjalan ke arah Bu Yunita yang tampak sedang mencari cari kesalahannya.
“Arandra,” panggil Bu Yunita dengan suara yang mampu membuat Aran merinding seketika.
“Iya, bu” jawab Aran kemudian meneguk ludahnya dengan kasar.
“Ikat pinggangnya mana?” tukas Bu Yunita dengan mata yang menyorot tajam ke arahnya. Aran menggelengkan kepala dengan kaku.
“Nggak ada? Nggak dibaca tata tertibnya?,” Aran hanya diam, berkedip berulang ulang seperti anak usia lima tahun yang menderita cacingan. Bu Yunita menghembuskan napas kemudian terdiam, menunggu Aran mengutarakan maksud kedatangannya.
“Saya diminta untuk menyerahkan surat ini pada Axenna,” oh syitt, kalau saja yang dihadapinya bukan bu Yunita, mustahil ia akan mengucapkan kalimat kaku itu dari mulutnya. Bu Yunita mengulurkan tangannya, menerima kertas yang Aran ulurkan
"Lain kali jangan lupa ikat pinggangnya," Aran mengangguk
'Biasanya gue nggak pake juga nggak papa'
KAMU SEDANG MEMBACA
Hemofilove
Teen FictionHemofilove |Ketika kita yang jauh dari kata sempurna merasakan jatuh cinta| Tentang seorang gadis bernetra abu abu yang mencintai seseorang laki laki yang tak bisa ia gapai. Berbagai cara telah ia lakukan agar laki laki bertubuh tinggi itu membalas...