33. New life

1K 131 0
                                    

33. New life

Pesawat yang ditumpangi Erland ke London kira-kira akan take off setengah jam lagi. Beberapa teman-temannya sudah ada di bandara untuk mengantarnya kecuali Rivan dan Bima.

"Take care ya, Bro!" ucap Xavier.

"Thanks, Bro! Jagain Diandra ya. Sampe gue tau lu ninggalin dia, gue bakal balik buat ngerebut dia dari lu!"

"Tenang aja, Bro! Aman!"

"Wah, gokil! Cita-cita lu kesampean juga. Sering-sering balik ke Indo ya, gue bakal kangen sama lu kayaknya!" ucap Alex.

"Gak ada yang bikin gue pulang ke Indo, Lex. Kayaknya gue bakal betah disana. Lu aja yang main ke London."

"Gampang lah itu!"

"Baik-baik sama Diva ya. Jangan disakitin. Sampe lu nyakitin Diva, gue jodohin Diva sama temen gue!"

"Tega amat, Bro!"

"Sukses ya, Bro! Selamat menempuh hidup baru." ucap Edo.

"Lu juga sukses ya, Bro! Jangan judes-judes sama perempuan, ntar gak laku-laku lu. Itu si Adel oke juga, Bro!"

"Cuma temen! Lu juga cepetan move on!"

"Seiring berjalan waktu mudah-mudahan gue bisa move on!"

"Erland, gue bakal kangen banget sama lo. Sehat-sehat ya disana. Jaga diri." ucap Diandra.

"Bro, gue boleh peluk Diandra gak?" Erland meminta izin pada Xavier, Xavier mengepalkan tinju dan menyodorkan padanya. Erland tertawa. Dia memeluk Diandra. "Hah! perempuan idaman gue. Sayangnya gak jadi milik gue. Lu kalo ditinggalin sama Xavier lapor sama gue ya, Di, gue sendiri yang bakal bunuh dia."

"Stop thinking about me. Waktunya lo cari kebahagiaan lo sendiri. Kejar cita-cita lo, kejar mimpi lo."

"Gue jadi gak pengen ke London. Ikut gue aja yuk, Di, plis!"

"Ehem, peluknya lama amat, Bro!" Xavier protes. Erland melepaskan pelukannya. Diandra tersenyum.

Erland tersenyum. Ternyata dia benar-benar harus meninggalkan setengah harapannya disini. Dia harus meninggalkan cintanya dan teman-temannya untuk mengejar cita-cita dan mimpinya.

Sehari setelah Erland berangkat ke London, kali ini mereka semua harus mengantar Rivan yang juga ingin mengejar mimpi dan cita-citanya di Belanda.

Milly terlihat nangis sesegukan. Sepertinya mereka harus berpisah jarak cukup lama.

Milly merintis beberapa usaha kuliner milik orang tuanya, serta membangun usaha sendiri seperti toko butik dan aksesoris.

"Diandra, Diva, gue minta tolong jagain Milly ya. Pokoknya kalian keep contact sama Milly. Mungkin awal-awal dia pasti ngerasa berat banget ngejalaninnya, tapi selama ada kalian, gue rasa dia baik-baik aja." pinta Rivan pada kedua temannya.

"Milly, kamu baik-baik ya disini. Aku usahain akan cepet nyelesain kuliah aku."

Milly kembali menangis, dia memeluk erat prianya. "Aku bakalan hampa. Pasti berat banget." Rivan mengelus-elus punggung Milly.
"Tapi gak apa-apa. Ini ujian hubungan kita, sekaligus waktunya kita untuk meningkatkan kualitas diri, khususnya aku. Supaya aku layak bersanding sama kamu."

"Milly-nya Rivan udah makin dewasa."

Pada akhirnya, satu per satu pergi. Mereka pergi bukan untuk meninggalkan satu sama lain, tapi untuk meningkatkan kualitas diri.

Seminggu berlalu tanpa kehadiran Erland dan Rivan rasanya begitu hampa. Mereka masih bertemu dan melewatkan satu weekend. Milly masih menangis kalau ingat Rivan, hingga akhirnya Diva mengajaknya membuka usaha toko bunga yang letaknya satu gedung dengan usaha Alex dan Xavier.

Sedangkan Diandra dan Xavier yang masih bekerja satu perusahaan saja susah bertemu. Diandra ditempatkan sebagai asisten manajer divisi keuangan. Sedangkan Xavier memang sedang dilatih untuk menjadi penerus pemimpin perusahaan.

Edo malah sedang mendaftar student pilot di salah satu sekolah swasta di Bali. Entah inspirasi dari mana tiba-tiba dia ingin menjadi pilot.

Sedangkan Bima masih ingin menghabiskan waktu traveling dan hunting foto, terkadang dia mengajak Sisy, karena adiknya itu juga menyukai fotografi.

* * *

Diandra menjatuhkan dirinya di kasur empuknya. Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Dirinya benar-benar sudah lelah.

Bi Piah mengetuk pintu dan sedikit mencerahami nona mudanya itu untuk mandi dengan air hangat. Karena sering kali Diandra memang ketiduran setelah pulang kerja tanpa mandi atau berganti pakaian.

Setelah Diandra mandi air hangat, yang tentunya membuat matanya ingin tertutup rapat, Bi Piah memberitahu kalau Gio datang.

"Kenapa, Yo?" tanya Diandra yang sudah setengah memejamkan matanya.

Gio tersenyum melihat tingkah laku sahabatnya itu.

"Aduh, Diandra gue lelah. Sini sambil gue pijitin deh."

"Hehehe... tengkyu, Yo. Udah lama banget gak ada kabarnya."

Gio mulai memijat pundak Diandra. "Jadi, gue itu kemarin sibuk. Ke Bandung."

"Hmmm, bucin!" sahut Diandra. Matanya sudah terpejam.

"Bukan untuk pacaran. Tapi karena gue lagi ada panggilan di perusahaan konstruksi plat merah."

"Serius lo? Keren banget! Bagian apa?"

"Divisi keuangan dong, Diandra."

"Terus... ternyata gue penempatan Bandung. Makanya gue kemarin-kemarin ke Bandung, sekalian pacaran. Terus gue ada rencana ngelamar Zoe tahun depan, tapi mungkin nikahnya nunggu Zoe lulus. Gak nyangka kalau ternyata jodoh gue Zoe, gue kira jodoh gue itu lu. Eh, tapi lu tau gak, Di..."

Gio menghentikan kalimatnya karena lawan bicaranya tidak berkata-kata. Ternyata Diandra tanpa sengaja ketiduran. Gio tersenyum. Tingkah laku sahabatnya ini sangat menggemaskan. Baru kali ini Diandra meninggalkannya tidur. Mungkin memang pekerjaannya membutuhkan tenaga dan pikiran yang banyak.

Dengan lapang dada Gio harus mengikhlaskan sahabatnya yang tertidur lelap itu. Setelah menggendong dan meletakkan Diandra di kasurnya, Gio pamit pada Bi Piah untuk pulang.

* * *

Me And The Six PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang