۝Chapter #34۝

584 61 2
                                    

۝BROKEN۝

Clarissa menatap langit di depannya yang penuh dengan bintang. Ia tersenyum pedih, bayangan Arga dan Jesica tadi siang masih terus mengisi pikirannya.

Arga selalu berusaha menjelaskan semuanya, namun hati Clarissa telah terlanjur sakit. Jadilah dirinya selalu menolak dan menghindar.

Arga bilang, langit itu dirinya dan Clarissa bulannya. Dia gelap, tapi bulan itu meneranginya. Dan bulan tak akan pernah bersinar terang tanpa adanya langit malam. Tapi sekarang, Clarissa mempertanyakan langitnya. Akankah langit itu masih sama? Masih kah langit itu memeluk rembulannya?

Entah mengapa takdir selalu mempermainkan dirinya. Di mulai dengan kehilangan orang tua kandung dan kakak laki-lakinya, tak dianggap oleh keluarganya hingga ujian cinta yang berkali-kali melanda untuk memisahkan dirinya dan Arga.

Dapatkah Clarissa membenci takdir? Dapatkah Clarissa menyalahkannya? Dan menganggap takdir begitu jahat telah mempermainkannya?

Ketika dirinya baru saja mendapat rasa bahagia, kenapa takdir kembali merenggut rasa bahagianya? Membuatnya terpuruk dan merasakan hancur untuk ke sekian kalinya. Apakah dari awal ia tak pantas bahagia?

Clarissa menghela nafas, bersama dengan hembusan angin malam yang membelai wajah dan meniup rambutnya nan terurai indah. Matanya memerah, cintanya telah kembali patah.

"Sa, kamu ngapain sendirian disini?" Suara itu membuat Clarissa kembali tertarik ke permukaan. Gadis itu menoleh, mendapati Indri yang hendak duduk di bangku sampingnya.

"Nyari udara segar, Mom," balas Clarissa berusaha tersenyum.

"Kamu lagi sedih ya? Sini cerita sama Mommy," ucap Indri mengelus rambut Clarissa.

"Sasa gapapa, Mom. Cuma masalah percintaan."

"Memangnya kenapa? Arga kenapa? Cerita aja sama Mommy, siapa tau bisa ngasih solusi," ucap Indri. Indri ini sosok ibu yang pengertian dan tidak suka mengekang anaknya. Dia selalu mendukung anaknya asalkan itu untuk hal baik, Indri bisa bersikap layaknya sahabat, tempat curhat dan juga sosok ibu. Benar-benar sosok yang diharapkan semua anak di dunia ini.

"Gapapa kalo aku cerita?" Clarissa tampak ragu.

"Gapapa dong, kan Mommy sendiri yang nyuruh. Mommy malah seneng kalo anak mommy mau cerita," ucap Indri tersenyum.

"Jadi gini, mom ...." Dan mengalir lah cerita dimana Clarissa melihat Arga dan Jesica yang berciuman hingga pertengkaran dirinya dan Arga.

"Kamu yakin mereka beneran ciuman?" tanya Indri setelah Clarissa selesai bercerita.

"Aku gak tau, mom. Tapi yang aku lihat kayak gitu."

"Kalo seandainya Arga beneran dijebak gimana?" tanya Indri membuat Clarissa terdiam.

"Mommy paham kalo kamu cemburu, kecewa, sakit hati sama Arga. Tapi terkadang apa yang kita lihat gak seperti kenyataan yang sesungguhnya. Kamu dengerin dulu penjelasan Arga, mau setelah itu kamu percaya apa gak sama omongan dia, itu kan urusan belakang. Yang penting kamu dengerin dulu, daripada kalian ribut gak jelas gini. Kalian sudah dewasa, berpikirlah selayaknya orang dewasa juga." Begitulah nasihat yang diberikan Indri.

"Hm ... Ya udah. Sasa bakal dengerin penjelasan dia, tapi nanti. Makasih, Mom," ucap Clarissa memeluk Indri. Bersama wanita itu, Clarissa bisa merasakan punya sosok ibu yang pengertian dan selalu ada untuknya.

Disisi lain Arga terus saja mencoba menghubungi Clarissa walau pada akhirnya hasilnya tetap sama, Clarissa tak mengangkat telponnya atau membalas pesannya. Gadis itu benar-benar menghindar, ia mungkin sudah terlanjur kecewa.

Arga menghela nafas, cara apa lagi yang harus ia lakukan agar Clarissa mendengar penjelasannya. Salahkan Arga yang mau-mau saja menuruti permintaan Jesica untuk bertemu, dan berakhir ia dijebak. Harusnya Arga cukup tau jika gadis itu licik.

Suara ringtone dari ponselnya membuyarkan lamunan Arga, ia kemudian mengangkat panggilan dari seseorang yang tertera namanya disana.

"Hallo," sapa Arga ketika panggilan telah tersambung.

"Hallo, Bos. Kita punya target baru, bagaimana?" ucap seseorang di seberang sana.

"Seperti biasa, kamu habisi dia sendiri. Dan saya akan menonton dan mengarahkan dari sini," balas Arga.

"Baik bos."  Setelah itu, panggilan tertutup.

Arga mengeluarkan smirknya, anak buahnya akan kembali membunuh seseorang. Dan dirinya akan menjadi penonton pertunjukan.

Ia memang sudah berjanji kepada Clarissa untuk tak membunuh lagi, tapi tetap saja hasrat psycho nya masih tinggi. Bagaimanapun itu adalah sebuah kelainan dan gangguan mental yang tak gampang untuk dihilangkan. Jadi Arga menyalurkan hasrat membunuhnya lewat menonton dan mengarahkan anak buahnya ketika menghabisi mangsa. Itu sudah cukup memuaskan baginya. Tapi bagaimana kalau dia merasa tak puas? Maka bersiaplah untuk hewan-hewan di sekitarnya yang akan dijadikan sasaran kematian.

Mengerikan? Memang. Tapi itu sangat menyenangkan untuk sebagian orang, terutama Arga.

Untuk ke sekian kali, dipikirannya terlintas nama Clarissa. Gadis itu benar-benar bisa membuatnya gila.

Arga tak bisa di diamkan oleh Clarissa, apalagi di jauhi. Ia tak mau kejadian kemarin terulang lagi, dimana Clarissa meninggalkannya pergi.

Ia hancur tanpa Clarissa. Ia tak bisa apa-apa tanpa hadirnya sosok gadis itu. Terlalu berlebih memang, tapi seperti itu lah adanya.

Arga terlanjur mencintai Clarissa, baginya Clarissa adalah segalanya. Gadis itu sudah seperti pusat tata surya untuk Arga.

Ting...

Sebuah pesan masuk ke ponsel Arga, disusul panggilan dengan nama Rigorila.

"Hallo," ucap Arga menempelkan ponselnya ke telinga.

"Hallo, Mamen," balas Rigo keras, yang membuat Arga menjauhkan ponselnya.

"Biasa aja, gak usah ngegas," ucap Arga kesal.

"Ehehe... Maaf, bro."

"Ngapain lo nelpon gue? Saking gak ada cewek sampe mau meho sama gue."

"Najis, gue masih normal ya. Gue cuma mau bahas soal keluarga Clarissa," balas Rigo sedikit nyolot.

"Kenapa sama mereka?" Arga menaikkan sebelah alisnya, walau ia tau jika Rigo tak dapat melihatnya.

"Lo yakin mau bikin mereka bangkrut?"  tanya Rigo

"Gue gak bakal bikin mereka bangkrut sepenuhnya. Gue cuma bakal beli 75% saham mereka dan menguasai perusahaan itu, biar mereka bisa tunduk sama gue," ucap Arga tersenyum miring.

"Syukur deh. Gue cuma gak mau Clarissa jadi ikut menderita karena liat keluarganya kayak gitu"

"Gue juga masih mikirin soal Clarissa, lo tenang aja," balas Arga.

"Good. Ya udah, segitu aja. Males gue lama-lama ngobrol sama human galak kayak lo," ucap Rigo yang membuat Arga ingin mengulitinya sekarang juga.

"Serah," balas Arga kemudian menutup panggilan secara sepihak.

Arga tak pernah berpikir, bagaimana bisa ada manusia spesies Rigo? Bego nya sudah mendarah daging.

Sepertinya pada saat pembagian otak, Rigo malah ngantri ke tukang bakso. Jadinya pemuda itu menjadi Rigo yang sekarang, gila, sengklek, bego dan rada goblok.

Semoga saja Arga tak tertular oleh kegoblokan Rigo Sandy Errian.

۝BROKEN۝

SEKIAN... TERIMA GAJAH...

MAAF UJUNGNYA GAJE

SOALNYA LAGI MENTOK IDE

SEE YOU NEXT PART

JAN LUPA VOTEMENT

Broken (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang