1. First Impression

274K 24.4K 3.9K
                                    

Mata Queenzie menatap lekat pada seorang laki-laki yang sekarang sedang mengguyur mobilnya dengan menggunakan selang. Dalam benaknya dia masih bertanya-tanya, sebenarnya siapa laki-laki itu? Kenapa dia baru melihatnya sekarang?

Seingat Queenzie, anak pemilik rumah itu perempuan bukan laki-laki. Apa laki-laki itu saudaranya pemilik rumah?

Memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu membuat Queenzie sampai melupakan kopinya yang sekarang sudah lumayan dingin.

Queenzie kembali meminum kopinya dengan mata yang masih fokus pada objek dengan daya tarik paling kuat di antara objek lainnya. Queenzie yakin, laki-laki itu bukan laki-laki biasa. Dilihat dari bentuk tubuhnya, Queenzie menduga laki-laki itu berprofesi sebagai model pakaian atau model susu pembentuk otot. Badannya itu tidak bisa diabaikan begitu saja. Para perempuan tidak akan puas hanya meliriknya sekilas, termasuk Queenzie.

"Kenapa kamu melihat dia sampai seperti itu? Suka?" tegur Abel saat melihat Queenzie memandangi seorang laki-laki lebih dari 5 menit. Queenzie sampai tidak menyadari kedatangan mamanya karena terlalu fokus pada laki-laki yang sedang mencuci mobil itu.

Queenzie menoleh pada mamanya yang sekarang sudah berdiri di sampingnya, ikut memperhatikan laki-laki yang sedang mencuci mobil. Gelengan kepala Queenzie berikan sebagai jawaban atas pertanyaan mamanya.

"Enggak. Aku cuma heran aja. Bukannya anak Tante Ina perempuan? Terus, cowok itu siapa?"

Abel tersenyum melihat raut penasaran dari wajah Queenzie. Dia sangat yakin, ada ketertarikan dalam diri Queenzie terhadap laki-laki itu karena Queenzie jarang sekali peduli dengan orang-orang di sekitarnya. Tetangga sebelah rumahnya melahirkan saja dia tidak tahu. Dia baru tahu saat bayinya sudah berumur 2 tahun.

"Kalau suka, bilang aja sih! Papa kemarin juga bilang kalau pengen punya menantu kayak Dhaffi," goda Abel dengan tersenyum jahil.

Alis Queenzie terangkat sebelah. "Namanya Dhaffi?"

"Iya, dia tetangga baru kita. Karena Tante Ina pindah ke Singapura jadi rumahnya dijual, terus dibeli deh sama Dhaffi," jelas Abel dengan wajah cerianya. Kalau seperti ini, Queenzie sangat yakin bukan hanya papanya saja yang menginginkan calon menantu seperti Dhaffi, tapi mamanya juga.

"Kok aku baru lihat dia, Ma? Emang dia udah tinggal disitu sejak kapan?" Masih banyak pertanyaan-pertanyaan dalam benak Queenzie tentang laki-laki itu dan dia berniat menanyakannya pada mamanya karena mamanya termasuk orang yang up to date jika menyangkut gosip.

"Sejak 2 hari yang lalu. Makanya kamu jangan keluyuran biar tahu!" sindir Abel.

Queenzie cengengesan. Pertanyaannya malah menjadi boomerang untuknya. Memang sejak 3 hari yang lalu Queenzie jarang berada di rumah. Dia lebih memilih menghabiskan waktunya di apartemen Stella, temannya. Queenzie juga disibukkan dengan pemotretan karena dia baru saja didaulat sebagai brand ambassador dari sebuah merk pakaian yang cukup terkenal.

"Dia model, Ma? Kok badannya bagus." Queenzie kembali meminum kopinya dan langsung menghabiskannya.

"Bukan. Katanya sih dia dosen."

Queenzie langsung menoleh dengan raut terkejut setelah mendengar jawaban mamanya. "Serius?" tanyanya tidak percaya.

Abel mengerutkan dahi tidak mengerti dengan respon anaknya yang berlebihan.

"Iya. Kenapa kamu sampai kaget kayak gitu?"

"Astaga! Aku kira dia model. Lagian, mana ada dosen badannya bagus kayak gitu? Dosen di kampusku badannya kerempeng, kalau gak gitu ya buncit."

"Kalau gak percaya, kenalan sendiri aja sama dia!"

Senyuman geli yang terus Abel tunjukkan membuat Queenzie tidak ingin bertanya lebih jauh lagi. Jangan sampai mamanya itu berpikir kalau Queenzie suka pada tetangga baru mereka!

Queenzie memang tertarik dengan visualnya, tapi itu pasti tidak berlangsung lama seperti cowok-cowok yang Queenzie pernah temui sebelumnya.

"Mending dia dari pada mantan kamu yang kemarin. Papa akan langsung setuju kalau kamu pacaran sama cowok kayak dia."

Queenzie tahu kemana arah pembicaraan mamanya. Mamanya itu sedang membicarakan mantan Queenzie yang beberapa minggu lalu putus karena tidak direstui oleh Alvis. Bukan cuma Alvis dan Abel, Queenzie sendiri pun tidak merestui dirinya dengan cowok seperti itu. Cowok yang kelihatannya macho padahal gay. Mendekati Queenzie hanya demi bisa mendongkrak popularitasnya sebagai artis pendatang baru. Queenzie tidak mengerti dengan dirinya sendiri, bagaimana bisa dia menerima cowok seperti itu. Dia merasa terpedaya dengan penampilan keren dan wajah tampannya. Kenzo sampai meledeknya berminggu-minggu karena kebodohannya itu.

"Emang dia berbuat apa sampai bisa ngambil hati Papa?"

Mengambil hati Alvis bukan perkara mudah. Apalagi jika menyangkut pendamping hidup untuk putri kesayangannya. Dia akan sangat selektif dan keras. Mendengar ucapan mamanya yang bilang kalau papanya ingin memiliki menantu seperti laki-laki bernama Dhaffi itu, mau tidak mau menimbulkan tanda tanya besar dalam benak Queenzie. Sehebat apa laki-laki bernama Dhaffi itu sampai berhasil mengambil hati Alvis hanya dalam 2 hari?

Queenzie tahu, laki-laki bernama Dhaffi itu tidak sengaja mengambil hati Alvis, tapi tetap saja itu akan berimbas pada masa depan Queenzie. Alvis akan menjadikan laki-laki bernama Dhaffi itu sebagai role model menantu idamannya. Lalu, dimana Queenzie harus mencari laki-laki seperti Dhaffi? Kalau tidak ketemu, bisa-bisa Queenzie akan menjadi prawan tua.

"Papa kamu lihat dia tiap subuh selalu ke masjid."

Queenzie manggut-manggut. "Pantes aja," gumamnya dalam hati.

"Papa ke masjid juga?"

"Enggak. Dia dari rumah Billy habis begadang nonton bola bareng."

Queenzie memutar bola matanya. Dia kira papanya ke masjid juga, tapi ternyata malah pulang dari begadang di rumah Om Billy.

"Cepet turun! Mama udah nyiapin sarapan buat kamu," suruh Abel sebelum berlalu pergi.

Selepas mamanya pergi, Queenzie kembali memperhatikan Dhaffi yang sekarang sedang mengelap kaca mobilnya. Tanpa disengaja, pandangan mereka bertemu.

"Hai!" sapa Queenzie dengan melambaikan tangan.

Queenzie melempar senyum padanya. Bukan senyum menggoda, melainkan senyum ramah yang biasa Queenzie tampilkan setiap bertemu tetangganya.

"Astagfirullah," ucap Dhaffi lalu membuang muka. Raut wajahnya menunjukkan keterkejutan.

Dahi Queenzie berkerut bingung. "Segitu seremnya ya muka gue sampai dia ngucap istighfar?"

Dengan cepat, Queenzie meraih ponsel yang terletak di meja tidak jauh darinya. Dia bercermin dengan menggunakan kamera depannya. Di pandanginya wajahnya sendiri untuk melihat seseram apa wajahnya sampai membuat Dhaffi mengucapkan istighfar saat melihatnya.

"Gak ada yang salah sama wajah gue. Rambut gak kunti-kunti amat. Mata juga udah bebas dari belek. Kenapa dia sampai ngucap istighfar coba?" tanya Queenzie pada dirinya sendiri.
Meskipun belum mandi, tapi wajahnya sudah bersih dan glowing karena dia tadi sudah cuci muka. Ditambah semprotan face mist dari mamanya tadi membuat wajahnya terlihat shining, shimmering, splendid.

"Apa gue mirip mantannya ya?" gumam Queenzie masih tidak mengerti dengan sikap Dhaffi.

Andai Queenzie tahu, bukan wajahnya yang membuat Dhaffi mengucapkan istighfar, melainkan baju yang sedang dipakainya. Queenzie masih memakai baju tidur yang sangat pendek yang menurut Dhaffi tidak cocok dipakai keluar rumah apalagi untuk menyapa tetangga. Baju tidur itu lebih cocok digunakan oleh wanita yang sudah menikah, bukan seorang gadis yang belum mempunyai pasangan karena baju itu terlalu seksi.

"Apa dia tidak malu menyapa laki-laki dengan baju seperti itu?" dumel Dhaffi lalu melanjutkan kegiatannya mengelap kaca mobil. Sebisa mungkin matanya tidak melirik pemandangan yang sebenarnya sangat indah jika dipandang.

Seperti sebuah magnet, pemandangan Queenzie yang berdiri di balkon dengan tersenyum manis mampu menarik perhatian Dhaffi sampai membuatnya melirik perempuan itu sekali lagi. Untung saja perempuan itu sudah tidak ada lagi di tempatnya. Andai Queenzie masih berada disana, mungkin Dhaffi akan malu karena ketahuan melirik perempuan itu lagi setelah membuang muka.

💋💄💋💄

Hello, Mas Dosen! (TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang