Bagian Dua - Kamu Manis

1.1K 103 23
                                    

"Bahwa agar kamu percaya aku selalu bertahan, rasanya susah. Aku juga tidak membutuhkan pengakuan, yang aku butuh itu, kamu ada dan kamu peduli, itu sudah cukup"

***

Lini terduduk di dalam kamarnya. Kamar di rumah kedua Keluarga Nuca. Disini dia ditemani oleh salah satu asisten rumah tangga, yang letak kamarnya di sudut dekat dapur.

Rumah kedua ini memang diperuntukkan apabila ada tamu jauh atau saat keluarga besar Nuca berkunjung. Rumah dengan gaya minimalis, membuat Lini yang berdua dengan Art nya tidak merasa ketakutan.

Lagipula, jendela kamarnya kini berhadapan langsung dengan Jendela milik Nuca dilantai dua. Jika bosan ia bisa menatap jendela Nuca bukan?.

Lini menarik laci yang menyimpan suatu kotak berwarna coklat, dan membukanya. Kotak tersebut berisi seutas tali rantai kecil dengan liontin bunga yang mengering. Ini pemberian Nuca.

Lini ingat, dulu ketika masih berumur delapan tahun, Nuca memberikan hadiah ini saat hari ulang tahunnya. Saat itu Nuca bukanlah Nuca yang dingin. Lini tidak paham apa yang membuat Nuca berubah sangat drastis.

Dia mengelus kalung usang tersebut. 'Apa aku akan sanggup, jika seperti ini, apa aku akan tahan..?' Batin Lini bergejolak. Rasanya baru beberapa hari dirumah Nuca, ia merasa asing.

Bunda Rahma dan Ayah Devan sangat sayang pada Lini, bahkan mereka tidak membedakan Lini dan Nuca sama sekali. Tapi mengapa Nuca terlihat berbeda? Lini tidak paham akan hal itu.

Tiba-tiba Lini tersentak saat jendela kaca nya terketuk, segera ia sibak tirai putih tipis yang menutupi jendela untuk melihat bahwa Nuca mengetuk jendela nya. Nuca..?

"Kenapa..?" Ucap Lini dengan menggerakkan bibirnya.

Nuca menjawab dengan gerakan bibir "Buka jendelanya". Segera Lini bergerak membuka jendela dan Nuca langsung masuk ke kamar nya.

Lini melirik Nuca heran karena Nuca langsung duduk di atas Tempat tidur.

"Ehmm, ada apa Nuc..? Kamu gak bisa tidur..? Ucap Lini dengan berdiri kaku di depan Nuca.

Nuca melihat Lini dan menatap Lini lama. Dia bodoh. Kenapa nekad turun dari kamar dilantai dua hanya untuk memastikan Lini baik-baik saja.

Nuca lelah, perasaan bersalahnya, mengantarkan ia ke kampus dalam keadaan hujan lebat hanya untuk mengembalikan sepeda yang dipinjam Lini dari satpam Kampus. Dia lelah dan ingin tidur tapi perasaannya tak tenang.

Bunda dan Ayah nya tengah berada di Kalimantan dengan keberangkatan terburu-buru. Hal itu membuat Nuca mau tidak mau harus menerima tanggung jawab 'menjaga Lini' dengan benar. Dan disinilah Ia.

Setelah gejolak batin yang panjang, ia dengan keadaan segar sehabis mandi ingin tidur dengan cepat, tapi lagi dan lagi gadis didepannya ini menganggu fikirannya. Ada apa?

Nuca mengalihkan perhatiannya ke bawah dan tidak sengaja menemukan Lini memakai celana piyama yang disingkap sampai ke paha. Dan mata Nuca terusik dengan lebam yang sangat besar di paha Lini. Segera ia meraih jari Lini dan mengarahkan nya untuk duduk di samping Nuca.

"Ini kenapa..?" Ucap Nuca tajam. Tatapan seperti ini yang membuat Lini gelagapan.

"Anu.. tadi pas hujan deras.. ak..aku.. emm, tiba - tiba tad-" ucapan Lini terpotong saat Nuca menyugar rambutnya dan mendesah lirih.

"Saya tadi sudah bilang, kalau kamu pulang dengan saya, kenapa gak pernah paham kamu..? Ini lecet dan lebam gini pasti kamu jatuh kan.? Dimana kotak P3K, ini harus segera di oleskan salep kalau tidak bisa nyeri." Lini takjub melihat Nuca mengomel.

Sudut bibir Lini tertarik kecil. Ia ingin senyum senyum mesem, tapi takut. Alhasil ia hanya melihat Nuca seraya menunjukkan dimana letak kotak P3K dengan tanggannya, dan Nuca segera mengambil kotak tersebut.

Nuca kembali duduk dan Lini panik. Tiba-tiba Nuca menarik kaki Lini dan diletakkan di atas paha nya. Sial. Kenapa Lini jadi berdesir gini. Susah memang kalau sudah cinta, deg deg an ga jelas.

Nuca memperhatikan Lini seraya mengoleskan salep ke paha Lini. Nuca yakin pasti gadis ini terjatuh saat naik sepeda tadi, makanya jalannya agak tertatih dan itu tidak luput dari perhatiannya.

Jujur saja, Nuca tidak sama sekali canggung melakukan ini, seolah ini cara yang benar dan sesungguhnya. Ia memandang wajah Lini. Wajah yang 12 tahun tidak dilihatnya, ternyata sudah sangat berbeda namun tidak banyak. Hanya saja wajah anak berumur delapan tahun kemarin sekarang sudah menjadi dua puluh tahun.

Rambut Lini terkait acak dan menyebabkan sejumput rambutnya tergerai. Nuca tiba-tiba saja mengaitkan sejumput rambut itu ke telinga Lini. Dan hal tersebut membuat Lini gugup dan pipinya memerah.

Nuca beralih mengusap pipi Lini dengan halus. Pipi yang memerah itu membuat Lini sangat cantik, dan Nuca mengakui itu. Ia memajukan wajahnya dan tiba - tiba mengecup pipi Lini. Sama seperti dulu ia mengecup pipi Lini kecil. Dan rasanya masih sama, Nuca merasakan kupu-kupu seperti berterbangan di perutnya. Ternyata perasaan itu belum hilang.

Nuca menarik wajahnya dan segera menurunkan kaki Lini dari pahanya. Ia segera memperbaiki letak bantal dan menarik Lini untuk berbaring disudut kanan tempat tidur.

Lalu Nuca segera memeriksa setiap jendela dan pintu agar tak ada yang luput dari pandangannya. Lalu ia dengan santainya langsung berbaring disamping Lini. Kontan saja Lini kaget dan heran, mengapa Nuca tumben semanis ini.

Nuca memandang Lini yang menatap nya heran dan mengambil guling sebagai pembatas mereka. Ia menatap Lini seraya berkata, "malam ini hujan dan petir, kantung mata kamu sudah sangat gelap. Saya tidak ingin tengah malam nanti ada yang menjerit dan mengetuk rumah utama hanya karena takut. Jadi tidur segera dan ini-"..

Nuca mengaitkan jarinya ke jari Lini, dan meletakkan jemari mereka yang tertaut ke atas bantal. "Pegang jari saya biar kamu nyenyak tidurnya."

Lini memejamkan mata, namun hatinya sangat berdebar. Sialan Nuca. Kenapa ia bisa ingat ketakutan terbesar Lini. Ini seperti bukan diri Nuca. Tapi Liji suka, setidaknya Nuca punya inisiatif. Tapi yang seperti ini terlalu manis. Lini rasanya ingin menjerit, tapi tertahan.

Lini mengintip sedikit dan mendapati Nuca masih menatap kearah Lini. Mengherankan. Mereka saling menatap, sampai akhirnya Nuca memejamkan mata dan berucap "Selamat tidur. Mimpi indah ya Lin."

Lini tersenyum dan mengiyakan dalam hati. Ia berharap agar besok, Nuca selalu seperti ini. Lini suka hal yang sederhana namun manis. Ia akan selalu mengingat ini.

***

Hatiku DikamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang