"Apa yang ingin kulakukan rasanya hambar, karena kamu"
***
Saat ini para mahasiswa unit 02 tengah berbenah bersama - sama. Tepat jam tiga sore nanti mereka akan segera berangkat kembali ke Jakarta. Artinya, masih ada waktu sekitaran 45 menit untuk mereka berkemas dengan tepat tanpa tertinggal satu apapun di Villa yang telah menemani mereka selama tiga harian ini.
Tentu rasa rindu akan sangat terasa karena kekompakan serta kebersamaan mereka di Villa ini yang takkan terlupakan. Apalagi ketika mengingat kegiatan rutin pagi mereka, yakni sarapan bersama di taman belakang. Dan yang menjadi moment tak mengenakkan namun sangat berbekas adalah sarapan sendirian di meja bar apabila telat terbangun.
Begitu juga Lini. Ia merasa, tiga hari di Villa milik keluarga Revan adalah hal yang sangat berharga bagi ia seorang introvert yang sangat tidak suka berkumpul, namun disini ia diajarkan harus selalu berkoloni. Dimulai tidur beramai-ramai di satu kamar, juga kompak memakai piyama kembar dengan Yuna dan teman sekamar lainnya. Pesta piyama ala-ala. Padahal seumur hidup, Lini belum pernah merasakan kekompakan dalam pertemanan selain yang ia alami di Villa ini.
Begitu juga tentang Nuca. Mungkin jika bukan karena praktek mata kuliah ini, ia tak akan mengalami rasanya berbunga-bunga ketika dirayu seseorang yang di cinta, dan ditatap dengan sayang oleh orang yang kita puja.
Beberapa menit kedepan, semua itu akan hilang, menurut Lini. Jujur saja, Lini merasa tak akan sanggup merasakan itu semua. Kehilangan banyak hal baru dihidupnya. Termasuk kehilangan Nuca.
Kemarin ketika ia berniat meminta maaf kepada Nuca, mereka yang berkumpul di tengah halaman sempat berfoto bersama sebagai kenangan selama di Villa. Dan Lini melewatkan kesempatan itu. Entah mengapa rasanya ia ingin mengulang waktu dan menginginkan moment itu kembali, karena respon yang ia terima dari Nuca semalam adalah respon yang menyebalkan.
Lini merasa tarikan lembut di lengannya, dan seseorang itu mengajaknya ke belakang mobil bus yang terparkir. Itu Revan. Dengan sentakan keras, Lini menarik lengannya dan mendorong Revan, yang tentu saja Lini tidak bisa karena tenaganya yang tidak sekuat Revan.
"Mau apalagi sih Van. Gak cukup bikin aku sama Nuca Jadi berjarak seperti ini?" Ujar Lini dengan tatapan marahnya. Ia geram dengan sifat Revan yang menganggap enteng ucapannya.
"Memang itu rencanaku, diawal Lin. Nuca itu makhluk tanpa ekspresi, jadi aku kaget ketika dia bereaksi begitu. Aku juga tidak menyangka." Ujar Revan membela diri. Namun Lini dapat melihat bahwa ia berbicara jujur.
Revan meraih tangan Lini dan mengenggamnya erat. "Lin, aku minta maaf sebesar - besarnya. Jujur aku reflek dan tanpa sengaja mengundang kebencian Nuca terhadapku. Sekali lagi aku minta maaf."
"Dan juga, sekarang aku sangat yakin, kekuatan perasaan kalian berdua sudah ada, tinggal kalian yang memupuk pondasi saling percaya, aku yakin kalian berdua adalah tepat." Ujar Revan dengan tersenyum.
"Aku titip sepupuku ya Lin. Baik-baik kalian jaga hubungan. Dan kamu mesti kerasan dengan sifat Nuca ya, jangan menyerah, semangat!" Ucapan Revan mengundang tawa Lini, yang tanpa sadar air mata Lini mengalir.
Lini terharu dengan kata-kata Revan, ditambah dengan perkataan Revan terhadap hubungan mereka, yang tanpa sadar Lini mengingat kembali keengganan Nuca bertegur sapa dengannya dari semalam hingga pagi ini. Membuat Lini benar-benar tidak dapat menahan genangan air mata.
Air mata Lini bukan tanpa sebab. Itu adalah salah satu bentuk kegundahannya karena ia ingin bercerita keluh kesahnya pada seseorang, namun ia tidak tau dan tidak pandai mengungkapkan. Biarlah Lini pendam sendiri sesaknya, biar air matanya saja yang berbicara.
"Iya, Revan. Aku maafkan. Lagi pula sudah terjadi. Aku tidak akan mengungkitnya lagi." Ujar Lini seraya menghapus air matanya.
"Lagian, kamu juga jangan salah paham dengan air mata ini ya. Aku hanya kepikiran akan rindu moment indah di Villa ini bersama mereka." Senyum Lini mengandung banyak arti. Ia hanya tak ingin menyusahkan orang-orang dengan air matanya.
Lini melihat sekeliling, dan mendapati teman-teman lainnya mulai berkumpul membentuk lingkaran. Dari sudutnya berdiri terlihat Wahyu memegang toa seraya menyuruh para anggota itu berkumpul. Ini menjadi alasan Lini untuk segera pergi dari hadapan Revan.
"Aku pamit ya. Semoga kita berjumpa lagi." Ujar Lini seraya meninggalkan tempat Revan berpijak. Ia akan melupakan masalah yang terjadi, ia ingin semuanya baik-baik saja nanti.
***
Lini adalah orang paling bodoh sedunia. Rasanya ia ingin menghilang saja dari muka bumi ini. Ia ditempatkan di bus bukan panitia. Entah mengapa tiba-tiba, namanya tidak ada di daftar panitia acara yang seharusnya, seperti biasa, namanya ada dideretan panitia inti tepat dibawah nama ketua, yakni Nuca.
Maka dari itu, ketika ia ingin masuk ke bus panitia, ia tak melihat namanya ada, Lini beralih ke bus satu lagi, yang ternyata sudah terisi penuh dan namanya juga tidak ada di daftar penumpang bus kedua. Rasanya ia tak tau marah atau sedih yang menggerogoti hatinya.
Dengan lesu, ia berdiri didepan pintu bus. Ia menunggu Nuca untuk menjelaskan permasalahannya. Bagaimanapun, Nuca adalah penanggung jawab acara ini, dan Lini mau tak mau harus melibatkan Nuca dalam masalahnya.
Lini memilin ujung jaketnya pelan. Dengan ransel mungil bertengger di pundaknya, ia berjalan hilir mudik didepan pintu Bus. Tak lama ia melihat Nuca dengan jaket kulit dan kaos putihnya melangkah mendekati Bus.
Ketika Nuca melihat Lini berdiri dua meter diarahnya, dengan menggenakan jaket coklat susu kebesaran, rambut tercepol dengan juntaian poninya, juga tas ransel mungil yang dipikulnya, menambah kesan menggemaskan didiri Lini. Namun wajah lesu itu kini menatapnya lama, seakan ingin menyampaikan sesuatu.
Nuca berjalan ingin memasuki Bus, namun harus melewati Lini. Tak disangka ternyata Lini menghampiri Nuca, membuatnya tak tau harus bersikap seperti apa.
"Nuca, maaf aku mau bertanya." Ujar Lini menatap Nuca, namun Nuca menatap kearah kaca Bus depan.
"Hm.."
"Tadi aku tidak melihat namaku di bus satu dan dua. Nama aku mestinya ada di bus berapa ya?" Ujar Lini dengan menunduk. Ia tak mau menatap mata Nuca. Entah mengapa air matanya kembali berkumpul di pelupuknya.
"Kamu itu masih asisten saya. Jadi kemana saya pergi kamu ikuti. Sekarang masuk ke Bus satu, dan jaga alat-alat syuting dibangku paling belakang. Nanti kamu gantian jaganya dengan Wahyu." Berlalu Nuca dari hadapan Lini dengan tenang.
Lini merasakan sesak yang amat dalam di dadanya. Ia tak tau letaknya dimana. Namun begitu terasa. Nuca tadi berucap tanpa ekspresi dan nada suara yang rendah terkesan dingin.
Lini berjalan mengikuti langkah Nuca dan memasuki Bus satu. Ketika ia berjalan kearah bangku belakang, ada satu bangku disana yang kosong dan tidak terisi peralatan syuting, dan Lini yakin itu tempatnya.
Yuna yang melihat Lini masuk setelah Nuca, merasa gelagat yang aneh dari keduanya. Ia berinisiatif menawarkan tempat duduk disampingnya yang berisi tas kepada Lini.
Yuna menarik lengan Lini lembut, ketika Lini lewat dihadapannya. "Duduk bareng aku aja ya Lin." Ujarnya
Belum sempat Lini berbicara, Nuca berdehem dengan keras. Tanda bahwa Nuca melarang mereka bercengkrama. Mendengar itupun, Lini tersenyum kecil, dan melepas pegangan Yuna, serta berlalu dari hadapan Yuna untuk duduk ditempat yang telah Nuca katakan.
Meskipun Lini merasa sikap marah Nuca adalah berlebihan, namun ia berharap, setelah hari ini kemarahan Nuca bisa berakhir.
***
"Mau badaipun yang terpa, jika kamu bergeming, tetap egomu yang menang"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hatiku Dikamu
FanfictionRaja Giannuca, sosok yang tidak akan pernah dilupakan oleh Mahalini Raharja. Sekeras apapun Nuca mempertahankan ego nya tetap saja Lini cinta. Tapi, apakah Lini akan sanggup memperjuangkan Cinta nya untuk Nuca ketika penolakan tak kasat mata sering...