"Terselip doa dalam setiap ucap, dan terselip maaf dalam setiap kegagalan"
***
Nuca berjalan dengan santai melewati koridor kampus yang dipenuhi oleh para mahasiswa-mahasiswi yang memenuhi area tersebut. Di tangannya terselip dua buku yang ia bawa dari perpustakaan.
Sejak tadi, ia dirundung kekesalan yang memuncak, dikarenakan jadwal ia membimbing Nicole, yang ternyata adalah keponakan dari Wakil Dekan, harusnya jadwal tersebut hanya berlangsung satu jam, jadi molor dua jam. Tentu saja hal tersebut membuatnya kesal.
Menurutnya, sangat tidak etis, menggunakan jabatan Wakil Dekan untuk kepentingan pribadi. Apalagi setelah ia mengetahui bahwa Nicole, perdana mengikuti Musikalisasi puisi. Dan Nuca diminta ajari bagian Syair nya. Padahal yang ia tau, hanyalah mengenai musikalitas saja. Namun apa daya, mau tak mau ia mesti mengikuti perintah dari atasan, karena ini adalah suatu hal yang susah untuk dilewatkan, apalagi jika ia ingin diperhitungkan menjadi professor suatu saat nanti.
Yap. Mengajar dan mengabdi di dunia pendidikan adalah keinginan terbesar Nuca. Ia tak menampik apabila suatu saat ia mesti terjun ke dunia bisnis meneruskan warisan ayahnya. Namun tetap, Passionnya di dunia pendidikan harus terwujud meskipun sebentar saja.
Malahan ia ada keinginan untuk mengenyam pendidikan ke luar negeri, sebelum ia jatuh hati kepada Mahalini. Jika sudah seperti ini, mungkin ia akan merubah rencananya. Entah mengapa, ketika bersama Lini, ia merasa bahwa ia mesti mencari jalan keluar lain, yang memang menuntunnya untuk selalu dekat denyan perempuan tersebut.
Ketika mengingat Lini, ia tersenyum tertahan. Banyak kata yang tidak dapat ia ungkapkan, namun banyak aksi yang ia lakukan. Salah satunya adalah menyatakan rasa sayang. Meskipun tidak ada kata pacaran diantara mereka, namun ia lebih memilih kata jatuh hati sebagai kata gantinya, dan calon istri sebagai keyakinannya terhadap hubungan mereka.
***
Lini menyuap makanan yang dipesankan Vio tadi, kedalam mulutnya. Ia melahap makanan tersebut dengan tenang, namun fikirannya berkelana ke perkataan Vio tadi mengenai Nuca dan adik tingkatan mereka. Sedikit rasa mengusik sanubarinya.
Bagaimanapun, perempuan dimana mana sama saja. Jika melihat yang tampan, pasti menjadi incaran. Itulah yang ditakuti oleh Lini.
Lini merasakan usapan di puncak kepalanya, dan seketika ia mematung dikarenakan ada seseorang yang mengecup pipinya. Namun ketika ia menghirup wangi yang familiar, ia tau bahwa itu Nuca.
"Kamu ih, kagetin aja." Ujar Lini melirik Nuca sebal
Vio dan Yuna yang melihat sikap manja Lini, terpana. Mereka tak menyangka, biasanya Lini adalah orang yang seru dan terlihat dewasa ketika berbicara, namun ketika dihadapan Nuca, ia seperti orang yang berbeda.
"Woi! Jangan mangap lu, masuk lalat ntar." Ujar Nuca melempar Yuna yang terkejut.
"Ya lagian, si Lini gak pernah liatin sikap manja nya ke kita. Ya kita kagetlah!" Ujar Yuna sinis dan takjub bersamaan.
"Nuc, selama ini lu ngasih obat apa si Lini, jadi manja banget sama lu." Ujar Vio menyipitkan matanya seakan-akan menaruh kecurigaan mendalam kepada Nuca.
"Gue kasih pil Kb." Ujar Nuca singkat dan jelas.
Seketika Vio merasa asam dari lambungnya seakan naik dengan kecepatan tinggi ke tenggorokan, menyebabkan ia terbatuk dan cepat-cepat meraih gelas minumannya dan segera meneguknya.
"Gila lu ya. Kalau ngomong jangan aneh-aneh deh." Ujar Yuna yang diangguki oleh Vio.
"Kalau gak percaya, tanyain permaisuri gue deh. Bener apa enggak." Ujar Nuca santai, sembari meraih Handphone Lini dan memeriksanya.
Lini ditatap dengan intens oleh kedua sahabatnya, seakan meminta pembenaran darinya. Ia merasa gugup dan segera menarik nafas dalam.
"Eh ngapain pada bahas hal gak penting. Makan lagi yuk." Ujar Lini meraih sendok dan menyantap makanannya.
Tiba-tiba ia teringat dengan perkataan Vio mengenai Adik tingkatan mereka tadi. Ia merasa harus meminta penjelasan pada Nuca, selagi ada Vio dan Yuna disini.
Lini melihat Nuca yang tengah menatap lekat handphone Lini. Seakan Nuca akan menghanguskannya dengan sekejap.
"Nuc. Ehm, tadi kamu jumpa siapa aja?" Ujar Lini gugup, namun ia menutupinya.
Nuca seakan hanyut pada tatapannya terhadap handphone Lini. Ia merasa sangat cemburu dan ingin rasanya menguasai akun media sosial Lini, yang dipenuhi oleh sapaan laki-laki. Ini akun medsos, atau asrama putra.
"Kamu ngapain sih, Baca dan balas ini Dm, sama pesan di Wa? Kurang kerjaan banget." Ujar Nuca dengan tatapan masih menatap lekat handphone Lini.
"Kamu ih, aku bicara dialihin. Jawab dulu pertanyaan aku." Ujar Lini mengerucutkan bibirnya
Nuca mengabaikan ucapan Lini dan sibuk mengunfollow akun-akun yang sempat di follow oleh Lini, yang menurutnya menganggu, dan juga tak segan-segan memblock akun yang mengirimkan pesan kepada Lini secara beruntun. Apalagi kebanyakan mereka adalah laki-laki, yang Nuca kenal sebagian adalah angkatan di kampus mereka.
Lini menyadari kekesalan Nuca, segera meletakkan sendok yang ia genggam, dan membersihkan tangannya. Segera tangan kanannya masuk kedalam jaket Nuca, dan memeluk pinggang nya, serta sebelah tangan lagi memegang lengan Nuca lembut. Ia menyandarkan dagunya ke lengan atas Nuca dengan manja.
"Ini akun kamu aku sematkan ke email aku. Kalau ada yang aneh-aneh, aku blacklist." Ujar Nuca seraya menatap Lini lurus dan dalam.
Lini mengangguk. Ia suka sikap posesif Nuca yang manis. Menuntut namun masih dalam tahap wajar. Lagian kecemburuan Nuca juga wajar, terkadang Lini risih dan tak enak secara bersamaan ketika ada kakak letting atau teman bahkan adik letting mereka menghubunginya via Dm atau chat Whatsapp. Ia hanya bersikap selayaknya teman yang dapat dihubungi secara formal, bukan personal.
"Iya. Maaf ya. Lagian aku gak enak aja kalau abai sama mereka. Aku janji, besok gak aku ulangin lagi." Ujar Lini seraya menatap wajah Nuca, yang ia sadari sangat lesu. Keliatannya kekasihnya ini sangat lelah.
Vio dan Yuna melihat kemesraan kedua anak manusia dihadapan mereka dengan wajah memerah. Selain malu, mereka seakan menjadi penonton yang paling menggenaskan. Vio memperagakan wajah mual nya dan menyindir kedua insan tersebut.
"Na, minta plastik dong. Sumpah! Isi perut gue mau keluar semua." Ujar Vio dramatis
"Bentar-bentar, gue cariin dulu." Yuna pura-pura panik dan membongkar isi tas kecilnya, yang mereka yakini memang tak ada apapun didalamnya, selain lipstick, ballpoint, parfum, dan handphone.
Lini melirik kedua temannya yang bergerak dramatis dengan Vio mengipas-ngipasi wajahnya, segera menyipitkan mata dan meraih tisu disampingnya. Segera ia gumpalkan dan melempar Vio dan Yuna dengan kesal.
"Sialan kalian!" Ujar Lini penuh tekanan, membuat Nuca mengalihkan tatapannya dari handphone Lini dan tertawa ketika melihat Lemparan tisu menghiasi kepala Vio.
Ia tau, pasti Lini digoda oleh Vio dan Yuna. Yang membuat hati Nuca menghangat adalah, Vio dan Yuna yang sampai saat ini mau menemai Lini membuka diri dalam pertemanan. Dan ia bersyukur karena Lini juga mau menerima pertemanan mereka.
***
"Setiap kepercayaan adalah anugerah. Namun kepercayaan pun mudah goyah. Tugasku mempertahankannya dengan indah"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hatiku Dikamu
FanfictionRaja Giannuca, sosok yang tidak akan pernah dilupakan oleh Mahalini Raharja. Sekeras apapun Nuca mempertahankan ego nya tetap saja Lini cinta. Tapi, apakah Lini akan sanggup memperjuangkan Cinta nya untuk Nuca ketika penolakan tak kasat mata sering...