Bagian Dua Belas - Bencana

872 110 7
                                    

"Berteman dengan sepi, dapat kuterima. Yang kutakutkan, kau berteman dengan amarah"

***

Lini mau tidak mau harus mengikuti rules permainan. Dan apapun resikonya Lini harus terima. Begitu juga dengan saat ini, Lini berdiri dari duduknya dan menghampiri tempat duduk Revan. Ia ditantang untuk saling menatap dengan Revan selama 15 detik, dan itu hal sepele baginya.

Sentuhan lembut terasa di lengan atasnya, ketika Revan memegang lengan Lini untuk segera duduk berhadapan. "Rileks Lin, kita hanya tatapan 15 detik, gak lebih." Ujar Revan

Lini tersenyum simpul, dan menarik nafas panjang serta menghembuskan dengan pelan. Ia kemudian menatap tepat dimata Revan dan berkedip sekali, lalu mulai mendengar aba-aba.

"Oke, kita mulai yaa" Ujar Vio
"Tiga"
"Dua"
"Satu"

Setelah mendengar aba-aba, langsung Revan dan Lini bertatapan dengan Lini yang menghitung dari dalam hati.

Revan menatap Lini lama. Menurutnya, Calon Istri Nuca ini memiliki wajah yang serba manis, dan tak lupa Cupid hidung milik Lini sangat menggemaskan.

"Oke. Lima detik lagi." Ujar Vio

Lini merasa matanya sangat ingin berkedip. Sedari tadi ia telah kehilangan fokus karena angin malam yang terus menerus menerpa wajahnya, membuat matanya perih. Namun seketika Lini membeku ketika wajah Revan mendekat kearahnya.

Lini merasakan gigitan dihidungnya. Tidak sakit namun ia reflek menutup mata. Ia kaget bercampur khawatir, karena mereka berada dikelilingi oleh teman lainnya, dan juga Nuca! Lini yakin pasti Nuca melihat ini semua. Rasa-rasanya ia tidak ingin membuka mata dan melihat kemarahan Nuca.

***

Nuca melotot melihat Revan yang dengan lancangnya mengigit Cupid hidung Lini. Sialan!

Bug!

Nuca Meninju pelipis Revan yang baru saja menyelesaikan aksi keparat nya yang menurut Nuca sangat amat membuatnya tidak percaya. Kenapa Revan seakan tidak punya fikiran. Lini adalah milik Nuca. Apa kurang jelas pengakuan Nuca tadi.

Dimas dan lainnya kaget dengan emosi Nuca yang mendadak naik. Setau mereka, Nuca salah satu orang dingin, berekspresi datar, tenang namun berwibawa. Masa iya hanya karena hal sepele bisa terpancing. Malahan kadang Dimas jika ingin bercanda dengan Nuca harus mati-matian membangun topik agar Nuca tertarik atau sekurang-kurangnya tersenyum lepas, 'namun sulit' fikir Dimas.

Lini yang melihat Nuca mengamuk, segera memeluk Nuca dari belakang ketika Ia ingin memukul wajah Revan sekali lagi.

"Nuca! Cukup. Udah ya udah." Lini dapat merasakan emosi Nuca yang amat sangat menggebu-gebu seakan ingin menghabisi Revan dengan segera.

Lini merasakan Nuca terdiam ketika ia menenangkannya tadi. Namun hempasan tangan Lini oleh Nuca membuatnya terngaga. Nuca pasti marah padanya juga.

Dengan masih membelakangi Lini, Nuca berkata "Aku mau tenangin diri dulu." Singkat Padat dan jelas. Membuat Lini terdiam. 'Memang apa salah aku?' Lini membatin

***

Menjelang tengah malam, para Mahasiswa Unit 02 segera merapat dan duduk berderetan dengan fokus ke tengah taman, dikarenakan disana terletak sebuah pentas mini yang mendadak dibuat.

Disana berdiri Nuca didampingi para panitia yang bertugas lainnya. Lini dapat melihat dari sudut ia berdiri, wajah merengut Nuca yang membuat Lini kesal sekaligus khawatir. Nuca adalah orang yang nekat namun terkadang ceroboh. Jangan sampai Nuca membuat keputusan yang salah ketika marah.

"Ehm. Test. Test." Nuca meraih Micrphone Bluetooth karena tak ada waktu untuk mencari microphone lainnya.

"Mungkin kalian semua bingung atau heran dengan pentas mendadak ini." Ujarnya

"Namun, saya berdiri disini bukan tanpa alasan. Saya ingin memberi satu pengumumann." Sambungnya

Lini menatap Nuca lama. Apakah pengumuman ini ada kaitannya dengan kemarahan Nuca tadi?, ia harap - harap cemas akan apa ucapan yang akan terlontar dari mulut Nuca.

Mau bagaimanapun, kalau sesuatu nanti terjadi, itu tidak luput dari kesalahan Lini juga. Hal itu pula yang membuatnya gelisah berdiri bersisian dengan para panitia lainnya.

Harusnya ia disebelah Nuca berdiri, karena Lini adalah asisten Nuca. Namun ternyata yang berdiri disana bukan dia, melainkan Wahyu dan Dimas. Sedangkan Lini harus terima diri paling sudut dari sebelah kanan Nuca, seakan ia bukan panitia inti. Entah mengapa Lini sangat amat merasa bersalah dibuatnya.

"Kepulangan, kita percepatan satu hari." Dan tebakan Lini benar. Pasti Nuca akan nekat.

Para mahasiswa dan mahasiswi yang duduk menghadap Nuca menjadi kaget dan keberatan. Namun itu semua terbungkam oleh ucapan Nuca yang tegas dan tak ingin terbantah.

"Atas musyawarah saya, bapak dan para panitia, diputuskan untuk mempercepat kepulangan, dikarenakan atas perintah Wakil Dekan III, dan agar kita semua dapat segera mempersiapkan Rapat untuk Praktek magang yang akan kita lanjutkan setelah semester ini." Ujar Nuca panjang lebar.

Panitia mana yang diajak oleh Nuca untuk bertukar fikiran? Jawabannya bukan Lini. Demi Tuhan, sedikitpun Nuca tidak memberikan informasi kepada Lini, bahkan teman-teman panitia lainnya.

"Malam ini sekaligus penutupan untuk kegiatan praktek kita semester ini. Semoga setelah di sunting dan di perbagus, Film kita menjadi layak tonton. Selain diserahkan ke bapak, Film ini nantinya akan saya daftarkan di lomba film pendek. Semoga hal baik menyertai kita semua."

Lini melihat gelagat Nuca yang tengah membisikkan sesuatu kepada Dimas. Tak lama Dimas segera mengambil alih microphone dan membuat aba-aba untuk mereka semua agar berdiri dengan rapi, namun fokus Lini teralih kearah Nuca yang berbalik badan seakan ingin meninggalkan kerumunan.

Lini tergopoh-gopoh menyusul Nuca, dan segera menghampirinya ketika jarak mereka sudah berdekatan. Lini segera menarik tangan Nuca yang sangat amat besar tenaganya dari Lini, sehingga ketika Lini menarik dengan keras bermaksud menghentikan, malah ia terpental menghantam dahinya dengan punggung tegap Nuca.

Aw!

'Sakit banget' rutuknya dalam hati.

Namun Nuca bergeming tidak terpengaruh sedikitpun. Lini berinisiatif dengan memberanikan diri untuk melangkah kehadapan Nuca. Dilihatnya Nuca yang menatap kedepan dengan tenang dan wajah datar, tanpa ekspresi sedikitpun. Lini merasa lancang ketika ia memegang lengan Nuca dan mencekramnya lembut.

Lini gugup. Ia sering dulu ketika Nuca mendiamkan atau bahkan tidak berbicara kepadanya, ia biasa saja. Namun setelah kedekatan mereka ini, entah mengapa membuatnya merasa sangat takut untuk menyinggung perasaan Nuca. Padahal ia ingin segera menyelesaikan permasalahan.

"Nuca, udah dong marahnya?" Ujar Lini dengan suara terbata-bata

Lini dapat melihat mata Nuca menyipit dan menggelengkan kepalanya. Dan tanpa disangka Nuca menepis lengannya dengan ringan. Menurut Lini itu adalah cara yang sangat menyinggung perasaannya. Entah mengapa, Lini merasa sesak didadanya ketika melihat Nuca yang diawal perkenalan mereka dulu, kembali.

Nuca berlalu dari hadapan Lini dengan diam, bahkan tanpa kata sekalipun. Rasanya, saat ini juga, ia ingin segera pulang kerumahnya. Bukan kerumah Nuca. Lini didiamkan sehari, berasa didiamkan selamanya.

***

"Biarku redam segala amarah, yang tak ingin kulakukan adalah melampiaskannya dihadapanmu"

Hatiku DikamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang