Bagian Satu - Kamu Punyaku

1.4K 102 7
                                    


Hujan di bulan Oktober. Kata orang ini memang musim musimnya hujan turun, dan para petani untung. Tapi tak begitu yang dirasakan Mahalini Raharja. Ia terjebak hujan dengan keadaan setengah kuyup, setelah tadi, ia menolak untuk menumpang di mobil Nuca.

Mata Kuliah semester ini benar-benar membuatnya muak. Belum habis satu, sudah ada satu lagi membebaninya, itu juga alasannya mengatakan kepada Nuca bahwa ia sedang tidak ingin nebeng pulang bareng. Dan Nuca sudah bisa ditebak, Lempeng aja, ga ada niat rayu merayunya.

"Hmm, sudah reda ga ya ini.." Lini menengadahkan tangannya ke atas, memeriksa sederas apa hujan ini masih berlangsung. Ia melirik jam tangan dan tentu saja, sudah sore. Saat dirasa hujan sudah sedikit kurang intensitas deras nya, segera Lini menarik Sepeda nya untuk dikayuh sesegera mungkin.

Sepeda..? Iyap, Lini terpaksa meminjam sepeda dengan bewarna Biru elektrik dan berkeranjang ini, dari pak Maman, Satpam sekaligus merangkap pembisnis di kampus nya. Terkadang Lini heran, mengapa satpam kampus yang super baik hati itu punya ide briliant begini.

Alasan Lini meminjam sepeda, karena dia tidak mau menaiki kendaraan umum, yang pasti berisi anak-anak remaja yang pasti membuat Lini risih, mendingan pinjam sepeda begini, ga ribet dan ga bikin pusing.

***

(Rumah Nuca)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Rumah Nuca)

Nuca berdiri di teras depan rumahnya. Sejak tadi, bunda nya, Rahma, terus menerus mencecarnya untuk memantau kedatangan Lini. Matanya mengamati sedari tadi. Tapi tanda tanda kedatangan gadis yang telah menjadi tanggung jawab nya itu belum muncul muncul.

Krett.. Krett..

Suara itu menganggu telinga Nuca, segera ia memalingkan wajah dan terlihat Lini di ujung taman tengah berusaha membuka pintu rumah keluarga Nuca diseberang sana, yang memang ditempati oleh Lini sesuai kesepakatan kedua keluarga ini.

Nuca berjalan menghampiri Lini. Jarak rumah pertama dan rumah kedua yang dekat dalam satu pekarangan, membuat Nuca tidak kesusahan menyusul kekediaman Lini.

(Kediaman Lini)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Kediaman Lini)

"Kamu sudah pulang..?" Ucap Nuca yang membuat Lini kaget setengah hidup. Langsung ia putar balik badannya dan menatap Nuca.

"Hehe, iyaa. Kamu udah dirumah daritadi..? Hmm, bunda masak apa hari ini..?". 'Dasar Lini, pertanyaan konyol'. Rutuknya dalam hati.

Tapi siapa yang tak kaget dan gelagapan ketika Seorang Nuca yang dingin bin cuek, basa basi dihadapannya. Hal itu juga yang membuat Lini terkadang masih merasa segan untuk tinggal di rumah kedua keluarga Nuca ini.

"Hmm.. Bunda suruh saya untuk kabari kamu makan siang sekarang. Saya pamit dulu." Ucap Nuca, berlalu pergi, tanpa mau susah payah menanyakan keadaan Lini yang kucel dan berantakan, dengan sepeda dayung di sisi kanannya.

Lini menatap kepergian Nuca dengan sendu. Bahkan ketika keluarga mereka merencanakan berbagai macam keadaan untuk memicu kedekatan mereka, Nuca biasa saja. Sedikitpun tidak mau berusaha. Terkadang Lini ingin menyerah kepada perasaannya.

Menghela nafas, Lini segera masuk dan mengganti pakaiannya. Ia mau segera makan, selain karena lapar, ia juga lelah selalu makan hati.

***

Ting..

Bunyi gelas bersentuhan dengan meja marmer jelas terdengar. Duduk disana Lini dengan wajah kekenyangannya dengan Nuca dihadapannya. Jelas Lini mencoba untuk santai dan jaga etika, tapi gak bisa. Siapa yang mau pura-pura jaga image ketika makanan bunda Rahma seenak ini.

Nuca mengalihkan pandangan kepada Lini, dan meneliti wajahnya. Mau bagaimanapun keluarganya menyuruh ia dan Lini melakukan pendekatan, tetap saja ia kaku dan bingung. Rasa sayang dan ingin itu belum ada. Apalagi saat ini, dikampus dia sudah di percaya oleh Bapak Efendy sebagai asisten beliau menggantikan mata kuliah yang di ajarkan. Pasti perhatiannya akan terbagi.

Lini tiba-tiba menggerakkan tanggannya dan meraba wajahnya, ia bingung mengapa Nuca memperhatikan wajahnya intens begitu. "Nuc, kamu kenapa? Wajahku kenapa? Apa ada yang salah..?".

Wajah Lini bersemu mendadak. Entah mengapa ia merasa Nuca berbeda. Nuca yang di tanya langsung tersentak. "Enggak, Saya hanya bingung dengan rencana orang tua kita. Apa saya bisa..?".

Lini menghela nafas dan tersenyum, "kalau kamu keberatan mengapa dari awal kamu gak nolak, nuc. Kan ga bakalan buat kamu bingung."

"Bukan, saya bukan menolak, saya ingin mencoba kenal kamu lagi. Kita dulu pernah dekat ketika kecil, apa salahnya dengan dekat sekarang".

Nuca kembali menatap Lini dalam dan berkata. "Saya masih banyak hal yang mau saya kejar. Menikah bukanlah target kehidupan saya. Apapun kedepannya saya mohon sama kamu, tolong dukung saya. Saya tidak pandai berkata manis, tapi saya mau kamu paham dengan ini semua."

Nuca menunduk dan berkata dengan nada penuh tekanan. "Saya hormati kamu Lini, saya percaya pilihan orangtua saya tidak pernah salah. Tapi saya mohon sekali lagi, saya mau menggapai apapun yang saya rencanakan. Dan dengan adanya kamu, seharusnya membuat ini semua terhalang, tapi saya punya dua sisi pemikiran, bahwa kamu pasti mendukung pencapaian saya." Nuca menatap Lini kembali.

Ia sudah lama memikirkan ini. Setelah kedua keluarga menggelar kesepakatan, ia tidak akan bisa menolak namun dia pasti bisa mengantisipasi.

"Demi Tuhan, Lini. Saya tidak akan melepas kamu ataupun keinginan saya. Keinginan saya hanya satu. Lepas dari bayang-bayang kekuasaan Ayah saya. Dan kamu bertanggung jawab untuk itu semua."

Langsung setelah itu, Nuca bangkit dan meninggalkan Lini dengan beribu kediamannya. Mata sendu Lini menatap kepergian Nuca. Ia menghela nafas.

Tak terasa air mata yang ia tahan sejak tadi mengalir dengan pelan. Tatapan sendu nya sejak tadi menahan kristal bening itu luruh. Ia membatin, apa memang kesalahannya. Apakah salah ia hanya ingin dekat dengan lelaki yang ia cintai. Dunia tidak adil.

Saat isu-isu yang sebenarnya fakta tentang perjodohan mereka terdengar di kampus, Lini sedih. Pandangan orang seakan mengucilkannya. Memang apalagi salahnya. Menjadi anak salah satu donatur di Kampus saja sudah suatu hal yang paling dibenci oleh Lini. Ia benci di anggap mudah oleh orang lain dalam pencapaiannya.

Tapi kenapa hanya Nuca disini yang menganggap diri sebagai korban. Apa dia tidak tau bagaimana perasaan Lini. Apa harus Lini ungkap semua rasa sakitnya. Ucapan Nuca tadi adalah salah satu dari sekian banyak kata-kata tajam yang sesekali ia ucapkan.

Lini mendongak keatas, ia menahan air mata yang sedari tadi mengalir. Ia tidak boleh begini. Ia tidak mau dianggap lemah oleh Nuca. Bagaimana pun ia harus tersenyum untuk meruntuhkan ego Nuca.

Perjuangan dia untuk Nuca masih panjang, dan dia harus berjuang. 'Semangat Lini' batinnya bersuara. Lini tersenyum dan segera bangkit.

"Apapun mau kamu, aku terima, tapi yang jelas, cintaku ke kamu tidak akan pernah padam, Nuca".

***

Hatiku DikamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang