"Tin, aku keluar na?". Can sedikit berteriak pada tin yang sedang mandi di kamar mandi yang berada di kamar mereka.
*klik*
Pintu kamar mandi terbuka dan tin mengeluarkan sedikit kepalanya yang masih berbusa karena sampo.
"Tunggu, aku akan selesai".
"Eh?. Tapi........".
*klik*
Tin segera menutup pintu kamar mandinya tidak membiarkan can menyelesaikan ucapannya.
"Tsk!". Can mendelikkan lidahnya kesal.
10 menit kemudian.
"Aku bisa berjalan sendiri tin". Ucap can menatap tajam pada tin yang sedang mengeringkan rambutnya dan mulai memakai pakaiannya.
Can tau tin tidak ingin dia berjalan keluar sendirian tanpanya walau hanya ke ruangan di depan kamar mereka. Tentu saja can juga tidak ingin tin repot repot menggendongnya keluar karena dia bisa berjalan sendiri walau pelan pelan.
"Hmn. Aku tau". Jawab tin namun tetap mengangkat tubuh can yang mulai berisi ke ruang bersantai di villa mereka.
Yah, mereka sedang berlibur sekeluarga di desa pedalaman yang belum banyak terekspos kehidupan modern.
"Hmph......". Can mendengus menatap tin yang sangat keras kapala itu.
*kiss*
"Aku mencintaimu bayi besar". Ucap tin setelah mencuri satu ciuman dipipi can. Tin mengabaikan tatap kesal dari can.
"Ada apa ini?". Nyonya medhtanan keluar dari salah satu kamar hendak menuju dapur mendapati suara dengusan kesal dari can.
"Bu....., tin tidak mengijinkanku berjalan sendirian. Padahal kan aku harus membiasakan kakiku". Can masih memanyun kesal.
"Mengadu huh?". Tin memeluk gemas namun tidak terlalu erat pada tubuh can. Setelah kondisi tubuh can pulih tin kembali pada kebiasaan lamanya yang suka memeluk, mencium, dan menggigit pipi can.
"Akh!!!". Can pura pura kesakitan bagai tin meremukkan tubuhnya dengan sekuat tenaga.
"Tin.......!". Nyonya medhtanan memukul punggung tin memperingatkannya untuk melepas can.
"Can milikku bu, bukan punya kalian. Jika ibu cemburu, ibu bisa memeluk ayah". Tin tetap tidak melepas sergapan selengket guritanya ditubuh malang can.
"Hais.... anak ini benar benar!". Nyonya medhtanan pura pura kesal dan pergi ke dapur meskipun sesungguhnya dia malu.
Jujur saja, nyonya medhtanan juga punya kebiasaan suka memeluk suaminya seakan ingin meremukkan tulangnya.
"Pagi pagi sudah bersemangat saja...". Istri tul keluar dari kamarnya dan tertawa melihat betapa tin dan can menggemaskan saat bersama.
Tul memang romantis, tapi dia tidak pernah memperlihatkannya kepada orang banyak. Sangat berbeda dengan tin yang seakan siap meledak kapan saja jika melihat kegemasan can.
"P' moon mau kemana?". Tanya can pada iparnya yang sudah dianggapnya sebagai kakak perempuannya sendiri.
Istri tul sendiri memiliki karakter penyayang dan lebut namun keras seperti nyonya medtanan.
"Dapur". Jawabnya berjalan ke arah dapur menyusul ibu mertuanya.
"P', akan ku bantu". Can perlahan berdiri.
"Tidak can. Duduk. Biar ibu dan moon yang menyiapkan sarapan. Kau duduk saja na...". Nyonya medhtanan berkata cukup kuat dari dapur hingga bisa didengar oleh can.