A long night

354 57 120
                                    

Sepulang dari rumah Sean, pria Cha itu mengendarai mobilnya membelah jalan Seoul yang ramai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sepulang dari rumah Sean, pria Cha itu mengendarai mobilnya membelah jalan Seoul yang ramai. Ia memilih ke asrama rumah sakit untuk mengistirahatkan tubuhnya yang sangat lelah. Bukan---bukan hanya tubuhnya yang lelah pun hatinya teramat sangat lelah.

Ia menelurusi lorong rumah sakit---membungkuk hormat pada setiap dokter yang lewat di hadapannya. Ia berusaha tetap memaku senyum simpul di wajahnya walaupun dalam keadaan hatinya dalam kondisi porak poranda.

Dengan merebahkan diri di atas tempat tidur dengan menatap langit-langit ruangan, Devan kembali mengingat semua kenangan indah dirinya bersama Brenda---wanita yang sangat ia cintai sekaligus cinta pertamanya.

Berharap bisa tidur lelap namun kedua matanya tetap terjaga. Devan kesal pada dirinya sendiri yang masih tidak bisa menerima keadaan sekarang. Ia memilih bangkit dari tempat tidur dan berjalan kaki menuju luar guna mencari angin segar.

Baru saja ia berhasil keluar dari rumah sakit dengan tujuan membeli beberapa kaleng soda, Devan merasa ada seseorang yang mengintainya dari jauh. Pria Cha itu semakin melebarkan langkahnya. Jujur saja walaupun ia seorang pria ia sangat takut jika ada seseorang yang terus mengikuti.

"Devan...."

Devan kenal pemilik suara tersebut. Ia berbalik untuk menatap pribadi yang memanggil namanya dengan lirih, "Kenapa kau mengikutiku, Thita? Kita tidak memiliki urusan."

"Bisakah aku ikut denganmu?" Wajah Thita yang sendu membuat Devan merasa iba. Pria Cha itu mengangguk setuju membiarkan wanita Kim itu ikut dengannya

"Mengapa kau mengikutiku, Thita?"

Thita mendongak menatap wajah Devan, "Kau butuh seorang pembantu? Aku butuh pekerjaan untuk menghidupi diriku, Devan."

Devan tersenyum membalas tatapan Thita, "Maaf aku tidak butuh pembantu dengan hati busuk seperti dirimu. Lagi pula aku lebih sering menghabiskan waktu di rumah sakit dari pada di rumah."

Dengan penolakan yang sangat menyayat hati, Thita tetap mengikuti ke mana langkah kaki pria Cha itu melangkah, "Kau tidak ingin memperjuangkan cintamu, pria bodoh?"

Devan menghentikan langkahnya. Ia mengeraskan rahangnya dan menatap pribadi Thita dengan tatapan tajam, "Tidak apa aku menjadi pria bodoh. Yang penting hatiku bersih tidak sebusuk seperti dirimu. Jika dirimu ingin mengusik hidupku, aku mohon kau segera pergi. Aku ingin menyendiri malam ini."

Thita sempat terdiam saat Devan meninggalkannya. Karena bingung mau ke mana, akhirnya ia kembali mengejar pria Cha itu guna untuk menghabiskan malam ini sebelum ia pulang ke rumah, "Devan..."

Devan hanya melirik sekilas ke arah Thita. Ia tidak peduli dengan wanita Kim itu. Pria Cha itu mengabaikan kehadiran Thita sepanjang jalan hingga mereka tiba pada salah satu minimarket. Thita menunggu Devan yang masuk ke dalam minimarket tersebut dengan duduk disalah satu kursi yang tersedia di depan minimarket.

Thita mengira pria Cha itu akan meninggalkannya sehingga ia pasrah. Namun tak disangka, Devan ikut duduk di kursi tersebut dan menyodorkan satu kaleng soda pada dirinya, "Katakan apa yang ingin kau katakan padaku, Thita."

"Kenapa kau tidak memperjuangkan cintamu? Aku tau kau sangat mencintai Brenda. Seorang ibu lemah memiliki anak satu itu." Mulut Thita tetap saja bisa mengejek pribadi Brenda yang jauh dari kata lemah

Devan membuka satu kaleng soda sembari menjawab pertanyaan Thita, "Mencintai seseorang tak harus memilikinya."

"Munafik. Bilang saja kau mau merebut Brenda dari Sean namun tidak bisa sehingga kau berkata sok bijak sepert itu." Thita kembali mengejek Devan karena pria Cha itu bernasib sama dengan dirinya

Devan mengacak kuat kaleng soda yang ia pegang dan menatap wajah Thita yang sangat mengesalkan, "Bohong memang jika aku tidak sakit hati. Namun aku bermain elegan dengan cara aku menyadarkan diri sendiri untuk apa memaksakan seseorang mencintai kita sedangkan hati bukan untuk kita. Lebih baik melepaskan daripada menyiksa diri sendiri."

"Setidaknya aku tidak bermain dengan cara kotor seperti dirimu. Sudah tau Sean cinta mati sama Brenda namun tetap saja kau mendekati pria Kim itu. Kau tau, kau hanya sebagai pelampiasan Sean saja. Dirimu saja tidak pernah direstui oleh Tuan Kim namun kau selalu menempel pada Sean. Dasar tidak tau malu." Devan membalas Thita dengan cara yang sama. Membalas wanita Kim itu dengan ejekan yang lebih menyakitkan

Wajah Thita merah padam karena menahan malu. Melihat wanita Kim itu sangat malu, Devan tersenyum, "Aku tau kau sangat mencintai Sean, Thita. Namun ingat, dengan apa yang kau lakukan itu ada seseorang yang sangat tersiksa. Dia adalah Brenda. Kalian sama-sama wanita. Sekarang pertanyaanku, apakah kau bisa sekuat Brenda jika kau berada di posisinya?"

Thita terdiam dan menundukkan kepalanya. Ia tidak tau harus berkata apa lagi. Ia memilih diam untuk mendengarkan setiap kata yang Devan ucapkan malam ini.

"Hatiku juga remuk malam ini, Thita. Kau dan aku sama. Sama-sama menjadi pelarian. Namun ada sebuah perbedaan antara diriku denganmu. Kau pacaran dengan Sean karena ego Sean yang besar. Sedangkan aku pacaran sama Brenda karena wanita Bae itu berusaha membalas perasaanku. Malam ini aku bertemu dengan Sean dan aku menyerahkan Brenda padanya. Karena berpisah seperti apapun, takdir pasti menyatukan mereka kembali."

Wanita Kim itu mengusap cairan bening yang menyapa kedua pipinya dan berucap dengan nada suara yang bergetar karena menangis, "Aku berharap Brenda tidak kembali pada Sean, namun setelah mendengar semua ucapan tulusmu membuatku berpikir lebih baik aku mengikhlaskan cintaku dan memulai hidup dari nol."

"Rubah sifatmu agar tidak menjadi bumerang bagi dirimu sendiri." Thita mengangguk lalu mengambil sekaleng soda sementara Devan beranjak meninggalkan dirinya

Di lain ruang, pribadi wanita Bae itu memiliki perasaan yang buruk. Bahkan di dalam tidurnya saja ia gelisah. Ia memilih bangun dan menatap wajah putri kecilnya yang tertidur lelap, "Sena, bunda merasa ada sesuatu yang akan terjadi. Namun apa itu?"

Melihat Sena yang terlelap membuat Brenda beranjak dari tempat tidurnya. Ia meraihkan sebuah kertas yang berasal dari laci nakas dan ia mulai menuliskan sesuatu di atas kertas tersebut.

Aku pernah mencoba mengubur cinta kita di dasar tanah dan mencoba melupakan semuanya. Namun hal itu membuatku semakin tersiksa. Rasanya lebih sakit dari penyakit depresi.

Dan entah mengapa, dalam situasi apapun aku selalu mengingat senyumanmu. Karena hal itu mampu mengusir rasa takutku. Namun malam ini aku sangat takut. Aku takut, Kim.

Mengapa rasa takut itu sangat kuat? Dan mengapa rasa takut itu datang menghampiri diriku, hal yang pertama kali aku ingat adalah dirimu, Kim. Apa yang akan terjadi antara aku dan dirimu?

Jika suatu saat nanti ada terjadi pada diriku dan Sena, aku ingin kau tau bahwa aku dan Sena selalu menyayangimu walaupun kau selalu memberi luka padaku. Aku tidak bisa berhenti  mencintaimu, Kim.

Dengan mencintaimu aku bisa merasa lebih baik walaupun kau selalu memberikan luka baru. Aku yakin kau bisa berubah menjadi lebih baik dan kau bisa menjadi ayah dan suami yang menyayangi keluarga kecilmu nanti.

Sean Kim, aku mencintaimu, sungguh..

Setelah menulis apa yang ia rasakan, Brenda merasa lebih baik dan ia kembali merebahkan dirinya di atas tempat tidur dengan mengecup pelan pipi Sena, "Bunda sudah merasa lebih baik, nak."

Di rumah Sean, lebih tepatnya dikamar, pria Kim itu terbangun dari mimpi buruknya yang membuat dirinya keringat dingin dan refleks berteriak, "JANGAN PERGI!!!"

Dadanya naik turun karena mimpi buruk yang terasa sangat nyata di mana Sean bermimpi bahwa Brenda dan Sena pergi meninggalkannya.

"Brenda, Sena, kalian di mana?"

The Heart Wants ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang