Bab 31 - Mulai

5 1 0
                                    

Saya menunggumu. Entah berapa lama kita akan bertahan seperti ini, namun saya tetap akan menunggu.
Kamu.

Persetan.
Ada satu kebiasaan yang tidak pernah berubah dari saya. Saya benci menunggu, dan selalu seperti itu. Meskipun dengan Jill dulu bahkan ketika saya menyukai orang-orang lain sebelum Jill, saya tetap amat sangat benci menunggu. Dari segala aspek, saya tetap benci menunggu.
Jika ada yang bertanya mengapa, yang dapat saya jawab hanyalah karena saya tak suka membuang waktu. Masih banyak kegiatan yang harus dilakukan dibandingkan menunggu.

Saya sudah menunggu, namun tetap saja Micah tak kunjung muncul dan itu benar-benar membuat saya bingung dan terpaku.
Tumben kamu hilang? Tumben tidak ada pertanyaan tentang tugas yang datang?
Tak ada pilihan lain, saya yang harus bergerak.
Saya tidak akan menggunakan materi pelajaran sebagai topik, kali ini saya mau mencurahkan perasaan yang sungguh menyayat hati tiap detik.
Bukan, bukan mencurahkan perasaan dengan arti saya jujur jika saya menyukai Micah. Namun tentang isi hati yang sangat sulit untuk diungkapkan.

Saya bimbang, ketika hendak mulai berbicara, muncul hal yang membuat saya terguncang. Namun, hal itu berakhir dengan saya yang tercengang. Baru saja mau mengirim pesan, sudah keduluan.
Sudah saya duga, Micah tetap orang yang sama. Tak ada beda. Mencari topik dengan melontarkan pertanyaan seputar pelajaran, dan kali ini dibuka dengan tugas kesenian.
Bagaimana dengan niatan saya untuk bercerita? Tenang, saya tetap melakukannya. Setidaknya, hal itu dapat memperpanjang pembicaraan sembari melunasi utang rindu yang tak tertahankan.

Saya kemudian bertanya apakah dia terlalu sibuk atau ada waktu luang, supaya saya dapat leluasa menceritakan apa yang terjadi belakangan ini. Mengejutkan [hmm, tidak juga sih], Micah merespon pesan saya dengan cepat. Dia memperbolehkan saya bercerita, hitung-hitung bisa menemaninya ketika mengerjakan tugas seni, katanya.
Tak perlu basa basi, saya langsung menceritakan apa yang saya rasakan [kecuali rasa rindu padanya, karena tidak mungkin saya sefrontal itu]. Dan tak terasa, perbincangan ini berlangsung panjang dan memakan waktu yang lama.

Setelah puas bercerita, Micah menyuruh saya untuk istirahat. Ada satu hal yang melengkapi kebahagiaan ini, Micah menyuruh saya untuk tetap bahagia.

Ya, saya benar-benar bahagia denganmu. Dari hal ini, saya yakin bahwa saya pantas mendapatkan kebahagiaan itu. Dan semuanya ada di kamu.

Entah apa yang kamu pikirkan, mungkinkah dirimu juga muncul perasaan, tetapi terima kasih sudah mau kembali, Micah.

Reflection ; About Micah.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang