43. Menerima Takdir

229 16 2
                                    

. . .

"Kamu tetep tinggal sama papa ya Vi?" Viana membuka matanya.

"Viana bukan anak kandung papa, jadi Viana gak berhak buat tinggal sama papa dan kak Bianka." Lirih Viana.

"Kamu jangan bicara gitu Vi, papa udah menganggap kamu sebagai bagian dari keluarga." Viana menoleh ke Ferdi lalu beralih ke Bianka.

Bianka menatap balik Viana dan mengangguk sambil tersenyum tipis. Melihatnya Viana ikut tersenyum.

"Viana bakal tinggal sama papa." Bianka tersenyum kecil mendengar itu.

"Sekarang kita akan menjadi keluarga lengkap ya Bi, Vi." Keduanya serempak mengangguk.

"Kondisi kamu gimana Vi, masih pusing?" Viana menggeleng.

"Pusingnya udah ilang, tapi tubuh aku sulit untuk gerak. Aku juga merasa lemes pah." Ujar Viana mencoba menggerakkan tubuhnya.

"Kamu tau gak Vi, Fero mendonorkan darahnya buat kamu." Viana tersenyum mendengarnya, lalu luntur saat matanya bertemu Bianka. Viana bisa merasakan apa yang dirasakan Bianka.

"Dok- eh pah, aku keluar bentar ya." Ucap Bianka masih salah memanggil Ferdi.

"Kamu mau kemana nak?" Tanya Ferdi bingung.

"Aku mau ambil bubur untuk Viana." Ferdi tersenyum lalu mengangguk.

"Baiklah, terima kasih ya nak." Setelahnya Bianka pergi dari ruangan itu.

. . .

Cuaca sore ini cukup mendung, pas sekali menambah kesan sedih bagi gadis bernama Lisa dengan pakaian serba hitam itu. Hari ini, adalah hari paling sedih bagi Lisa. Karena hari ini, adalah hari meninggalnya kakak laki-laki Lisa.

Lisa menatap makam kakaknya dengan berderai air mata. Mengingat kata terakhir yang kakak laki-lakinya ucapkan membuat Lisa semakin sedih.

"Lisa, kamu belum mau pulang?" Lisa mendongak lalu menggeleng pelan. "Belum mah." Perempuan yang di panggil Lisa mama itu mengangguk.

"Yasudah kalau begitu, mama sama ayah pulang duluan. Kamu hati-hati, jangan pulang malam." Lisa hanya mendengar tanpa niat menjawab.

"Semua ini bukan salah cewek itu Sa."

Itulah kata-kata terakhir kakaknya sebelum menghela nafas terakhirnya. Dan kata itu terus melekat di benak Lisa.

Sedetik kemudian seorang perempuan melewati dirinya menuju makam didepan Lisa. Perempuan itu memakai serba hitam sama seperti dirinya.

Sebenarnya Lisa tak peduli, tapi mengapa perempuan ini mirip dengan seseorang.

Lain dengan Bianka sekarang tengah berada di pemakaman neneknya, sehabis menjenguk Viana, Bianka berencana untuk mengunjungi pemakaman almarhum neneknya.

Bianka tersenyum menatap nama neneknya, sudah lama sekali ia tidak ke makam neneknya.

"Bianka udah tau semuanya nek. Jadi gak ada lagi rahasia antara kita." batin Bianka.

"Bianka?" Bianka menoleh ke belakang menatap orang di hadapannya dengan datar. Setelahnya Bianka menghadap semula ke makam neneknya.

"Bianka, masih ingat gue kan?" Tanya Lisa berjalan lebih dekat pada Bianka. Bianka hanya diam tak menjawab, karena dirinya malas meladeni Lisa.

"Ngapain lo disini?" Tanya Bianka cuek tanpa menatap Lisa.

"Gue?" Tunjuk Lisa pada dirinya sendiri.

"Kalo bukan lo ya siapa?" Lisa tertawa hambar.

"Gue disini ya liat kakak gue." Bianka diam sejenak melihat sekeliling mencari keberadaan kakak Lisa.

BiankaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang