041: Bandung, Bagian Terakhir

193 32 23
                                    

— Serafina Bella Amandine —

Gue merasa kayak dikasih dua pukulan hebat sama Tuhan. Pertama, ketika gue tahu penyakit yang diderita Dion. Kedua? Iya, saudade. Gue kembali merasakan saudade untuk kedua kalinya. Saudade kali ini berkali-kali lipat lebih menyakitkan daripada yang gue alami setelah lulus kuliah. Kenapa? Gue pernah menjadi pacar Dion sebelum akhirnya dia mutusin gue karena dia gak yakin akan sembuh dari penyakitnya.

Segitu bencinya gue dengan rokok sampe merenggut nyawa bokap gue. Gue juga sangat menyayangkan kenapa Dion nenangin pikirannya dengan cara ngerokok. Mungkin yang para perokok rasain tuh dengan cara itu pikiran mereka akan tenang.

Salah. Lihat Dion, rokok udah ngerusak tubuhnya.

Dion... Dia emang sayang sama gue, tapi dia masih ragu. Pada dasarnya dia takut kehilangan gue. Dia takut dengan sikap Bayu yang selalu menghubungi gue akan ngebuat gue balik ke cowok itu. Dion salah besar. Gue udah menghapus nama Bayu dari hati gue, gak ada sedikit celahpun gue sisain buat cowok itu. Tapi ketakutan dia bisa gue maklumi karena ketika gue masih sama Bayu pun gue bisa jatuh cinta dengan dua orang yang berbeda.

Nenangin dirinya dengan cara ngerokoklah yang gak bisa gue maklumi. Seandainya benda laknat itu gak ada di dunia ini, mungkin Dion bisa nenangin dirinya dengan cara yang lebih sehat.

Tiga hari berlalu sejak kepergian dia ke Singapura. Gue kangen Dion. Sejak detik pertama gue tahu dia ninggalin gue, gue udah kangen sama dia. Gue dan dia sekarang berada di dua negara berbeda. Meskipun sama-sama Asia Tenggara, gak mudah bagi gue untuk nyari dia ke sana.

"Ini kado dari Derris dan Gamal buat Dion." Della dan Audine rela bolos kerja demi nenangin gue di Bandung. "Ini dari Putro."

Kalo aja penyakit itu gak menjalar di tubuh Dion, mungkin gue udah ngerayain ulang tahunnya berdua. Mungkin Dion udah seneng gak karuan lihat kado dari gue adalah sepatu yang dia incar.

"Let's pray circle untuk kesembuhan Dion."

Kami bertiga menggenggam tangan masing-masing, memejamkan mata kami buat ngedoain Dion. Gue menjadi orang terakhir yang membukakan mata.

"Apa doa kalian?" tanya gue penasaran.

"Semoga Dion sembuh dan kembali ngejar cita-citanya."

"Semoga penyakit Dion diangkat dan kembali lagi ke pelukan lo."

Gue tersenyum. Doa mereka tulus banget. Gue gak bisa nahan tangis ketika mereka nanya doa apa yang gue panjatkan buat Dion.

"Gue berdoa biar Dion sembuh, biar Dion bisa ketawa lagi kayak dulu," air mata gue mengalir semakin deras. "Gue percaya dia akan sembuh dan kembali lagi ke gue. Karena..."

Karena dia bilang dia mencintai gue dan akan selalu mencintai gue.

Selamat ulang tahun, Dion. Semoga lekas sembuh. Aku akan setia nungguin kamu.

~~~

Beberapa bulan berlalu semenjak Dion meninggalkan Sera ke Singapura. Resah, tangis, dan rindu tak pernah luput dari kesehariannya semenjak lelaki itu dinyatakan menderita kanker paru-paru stadium 2B. Setiap harinya perempuan itu selalu menanyakan kabar Dion melalui ibunda lelaki itu. Sang ibunda selalu menjawab dengan perkataan yang sama.

"Dion baik-baik aja."

Rasanya kalimat baik-baik saja tak cukup meyakini Sera. Ia bisa membayangkan sesakit apa efek dari kemoterapi, ia tahu bagaimana menyiksanya penderita kanker. Tiada hari tanpa air mata yang berderai untuk sang mantan.

Di hari terakhirnya Sera bekerja di Bandung, perempuan itu menghampiri rumah Dion yang kini ditempati oleh seorang asisten rumah tangga beserta anak dan cucu-cucunya. Sera disambut oleh mereka dengan sebuah pelukan. Perempuan itu memasuki kamar Dion, membaringkan tubuhnya di atas kasur empuk yang masih tercium aroma tubuhnya begitu tajam. Telapak tangannya terus menerus mengusap bantal yang ia kenakan, bantal yang menghadirkan wanginya aroma kepala Dion.

SAUDADE || Cho Seungyoun ✅ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang