Chapter 1. Tiga Tahun Tanpa Cinta

408 61 8
                                    

Hai, hai. Aku datang dengan cerita baruuuu! Jadi, jadi ... selama ini aku selalu terbiasa nulis pake bahasa baku. Naaah udah lama banget aku pengen keluar dari zona nyaman-ku untuk nantangin diri sendiri, seberapa mampunya aku menulis dengan bahasa non baku yang mungkin hasilnya ini enggak sesuai sama ekspetasi kalian. Hahaha!
Jadi, selain baca, aku tunggu komentar kalian tentang karya pertamaku yang banyak kekurangan ini. Beneran, Atreyu adalah karya pertamaku yang pake bahasa non baku. Enggak aku banget, tapi pengen banget aku coba nulisnya.
Selamat membaca! 🖤




“Apa? Cerai?” Rey terkejut karena permintaan istrinya di siang bolong.

“Iya, Mas. Sesuai sama perjanjian yang udah kita sepakati tiga tahun lalu. Masih ingat, ‘kan?”

Sama sekali tidak ingat. Rey sudah melupakan kesepakatan di antara mereka. Atau ... pura-pura lupa?

“Oh, iya. Ingat kok. Aku ingat.”

Menjengkelkan rasanya, saat Rey melihat senyum lega dan bahagia di wajah Sindy karena mendengar jawaban darinya.

“Jadi ... kapan, Mas?”

“Kapan apanya?”

Sindy tersenyum canggung akan reaksi suaminya yang tidak peka mendadak. Padahal biasanya terlewat peka, malah. “Kapan mau diurus perceraiannya?”

Semakin kesal Rey melihat sikap Sindy yang terkesan terburu-buru sekali. “Nanti. Kerjaanku masih banyak. Belum kelar dari minggu lalu.”

Raut kecewa jelas terpancar seketika dari wajah Sindy. Padahal dia sudah bersabar menunggu selama enam bulan terakhir, masa harus menambah stok sabarnya lagi?

“Kenapa buru-buru? Enggak sabar jadi janda?” Tanpa sadar jadi sinis. Rey melirik Sindy sekilas, sambil pura-pura sibuk dengan laptopnya.

Sindy diam saja. Itu artinya membenarkan tebakan Rey atas sindirannya.

“Emangnya kamu mau nikah lagi setelah kita cerai?”

Sindy menatap Rey, ragu, namun akhirnya tersenyum malu-malu. “Iya, Mas.”

Hah? Rey melongo. Cepat-cepat ditutup kembali mulutnya saat sadar kalau rupanya dia tertipu selama ini. Tertipu oleh dugaannya sendiri.

Yang Rey tau, Sindy memang sudah cinta padanya sejak awal pernikahan. Terbukti dari sikap dan perbuatan. Sindy menggambarkan sosok seorang istri yang sangat mencintai suaminya selama tiga tahun mereka menikah.

Penurut, penuh kasih, tidak pernah mengeluh, bahkan selalu diam saja tanpa sekalipun membantah ketika disalahkan.

Sewaktu dengan santainya Rey menolak punya anak dari rahim Sindy, ikhlas Sindy mengiyakan dan meminum pil pencegah kehamilan tiap kali mereka selesai berhubungan.

“Sama siapa?” Penasaran dan panas hati Rey seketika.

“Mungkin Mas enggak kenal dia.”

“Memangnya siapa?” Tetap memaksa. Rey menunggu jawaban Sindy.

“Temen lamaku, Mas.”

“Namanya?”

“Jumantara.”

Asing. Nama yang tidak pernah didengar oleh Rey di lingkaran pertemanannya.

“Jadi sewaktu ibuku masih hidup, kalian sering ketemuan?”

“Oh, enggak, Mas. Enggak pernah. Aku mematuhi setiap aturan dalam perjanjian kita selama tiga tahun ini.”

Memang benar. Rey pasti jadi orang pertama yang tahu kalau Sindy terlibat dengan lawan jenis di belakangnya. Tidak sulit baginya mengetahui hal-hal seperti itu, bahkan tanpa perlu dia mencari tahu.

𝐀𝐭𝐫𝐞𝐲𝐮Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang