Kaki melangkah pelan menuju kelas yang terdengar gaduh. Wali kelas tersenyum, lalu membuka pintu. murid-murid diam seketika. Sunyi, dari luar tak dapat ku dengar suara apapun. Gugup, tanpa sadar mengigit bibir, memainkan jemari yang saling bertaut, coba menetralisir jantung yang berdetak cepat.
Menunduk, aku meremas rok pendek ini tanpa sadar. Keringat dingin bercucur, gelisah, menebak-nebak reaksi semua murid kala tahu diriku penyandang tunawicara. Mungkinkah ada seseorang yang datang untuk berkenalan? Mungkinkah ada seseorang yang sudi menjadi teman ku?
"Amy, silahkan masuk!" sedikit gemetar jemari ini membuka pintu, semua mata memandang. Aku menelan ludah kasar, bibir bergetar gugup. Seorang pria di sudut ruangan tersenyum menyeringai, jelas terlihat. Namun, apa maksud nya jelas tak ku mengerti.
Siapa dia? Mengapa tersenyum seperti itu pada ku?
"Ayo perkenalkan nama mu!"
Ku turunkan ransel hitam, mencari buku note yang sudah di siapkan sejak tadi.
"Nama ku, Amy." jemari ini menunjuk buku lalu diri sendiri, semua anak terperangah heran. Dada kembali terasa sesak, tetapi terlalu awal untuk menyerah. Sedikit memaksakan senyum lalu ku lambaikan tangan, menyapa teman satu kelas.
"Anak-anak, Amy adalah seorang tunawicara, ibu harap kalian bisa menghormati nya!" wali kelas berucap tegas.
Para gadis mulai berbisik, sementara yang lain tersenyum mengejek dengan beberapa lain tak perduli. Tak ada kata "selamat bergabung", atau "ayo berteman". Semua bibir seolah membisu, sibuk dengan dunia masing-masing. Menyakitkan.
"Amy, kau bisa duduk disamping Yoongi!" Wali kelas menunjuk kursi di samping sosok berandalan dengan seragam kusut tanpa dasi.
Jantung berpacu cepat, menghangatkan butir bening di pelupuk mata yang hampir lolos. Jemari bergetar di setiap langkah pelan yang ku ambil, hingga sampai di samping pria pucat yang mengalihkan pandang, menatap jauh keluar jendela.
Aku menghela nafas, pria pucat itu lebih manis dari dekat. Wajah tirus, mata sipit dan bibir tipis. Namun, menyiratkan kebencian yang sangat tajam.
Masih di hantui rasa takut, ku tepuk pelan pundak Yoongi, pria itu menoleh, menatap sinis seolah ingin menghancurkan dalam sekali pukulan.
"Apa!" bentak nya, buatku sedikit terlonjak, kaget.
Ku angkat note sembari mengulurkan tangan tanpa mengurangi senyum. Yoongi tersenyum remeh, menangkis note itu lalu menginjak tanpa perasaan.
"Heuh, beraninya kau duduk di sini!" Yoongi menendang kursi di sebelahnya hingga hingga terguling ke lantai. Sakit. Tak hanya pada fisik, tapi juga hati. Ini hari pertama ku, mengapa tega sekali dirusak dengan kenangan buruk.
Aku menunduk dalam, mengusap air mata yang meleleh membasahi pipi. Perih. Perih sekali. Melihat senyum separuh itu, juga merasakan perlakuan kasarnya.
Tangan bergerak pelan meraih note, isakan terdengar bersamaan dengan tawa anak-anak. Puas? Apa itu lucu? Ku angkat kursi yang terguling, kembali duduk dengan sedikit jarak dari bangku si pucat yang entah kemana perginya.
"Ya! Kau jangan ganggu Yoongi! Sudah tau bisu, masih berulah!" ucap gadis sebelah.
"Kau bodoh sekali karna memasuki kelas ini! Lihat baik-baik! Apa kau melihat anak perempuan dan laki-laki yang terlihat jelek? Kau pasti anak orang kaya, jadi bisa masuk kelas kami! Dasar tukang suap!" seorang pria mendorong kepala ku hingga mendongak, sementara diri yang tak berdaya, hanya bisa memendam sakit dalam hati.
Bibir bergetar menahan tangis, meremas note yang telah ku hiasi dengan gambar selama berada di ruang kepala sekolah. Namun semua sia-sia, sambutan hangat itu hanya menjadi imajinasi liar di benak ku. Apa yang telah ku harapkan dari dunia yang tak pernah adil ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Unspeakable ✅
FanfictionAmy - gadis tunawicara yang kembali ke kampung halaman setelah sekian lama. Tujuan awal mengubah pandangan negatif sang ayah padanya berubah, pasca pertemuan dengan sosok pemuda dingin yang amat membencinya, yaitu Min Yoongi. Takdir sungguh tak tert...