13. Waktu untuk kehilangan

63 14 7
                                    

Yoongi mendengus kesal di luar ruangan Mee, ia berbalik, bersandar pada tembok dengan kepala mendongak merasakan kehangatan di pelupuk mata. Seorang pria dengan seragam dokter duduk membelakangi di dalam ruangan, suara tawa familiar Jin pecah dengan wajah ceriah yang terpantul dari kaca jendela.

Kedua tangan Yoongi mengepal tak terima. Jangankan bercanda dengan nya, bahkan hampir setiap hari Seokjin pulang larut.

Yoongi yang berjalan dengan tongkat bantu bergerak sehalus mungkin agar tak menimbulkan suara gaduh. Hati nya perih, ngilu, sesak. Bagaimana tidak, sosok yang begitu ia nantikan malah berduaan dengan gadis yang begitu ia benci.

Apa hebat nya gadis itu?
Mengapa semua orang begitu mengistimewakan nya. Ck, sialan.

Memilih kembali kedalam ruangan nya, Yoongi meraih ponsel. Mengetik pesan lalu mengirim pada Mee. Kedua manik sipit nya memejam, merebahkan tubuh bersandar pada kepala ranjang.

-0-

"Terimakasih, kau sudah membawa Yoongi masuk keruangan nya tadi," Seokjin berucap, mengulang kalimat yang terlontar beberapa menit lalu. Mee menggunakan jari telunjuk dan jempol membentuk huruf 'O' — menandakan bahwa ia tak apa, bahkan ia senang bisa membantu.

"Aku tau akan menyukai Yoongi, tak apa. Jaga dia, aku yakin kalian tertakdir," Mee membulatkan kedua mata, menatap Seokjin penuh harap. Jantng berdetak cepat hanya dengan mendengar Yoongi. Mungkinkah ia jatuh terlalu dalam?

"Bagaimana bisa? Dia membenci ku. Meski kau menceritakan semua pada ku. Yoongi sama sekali tak menginginkan ku." Mee menghentikan pergerakan tangan nya yang menulis di atas buku periang Seokjin yang kini tersenyum tipis.

"Dia bukan membenci mu, dia hanya belum mengenal mu. Terus beritahu dia siapa dirimu, aku yakin dia akan mengerti. Yoongi adalah anak yang baik ... dan penurut," kerutan kening terlihat jelas di kening Mee yang menatap dengan binar mata penuh pertanyaan.

Penurut? Apa berandal itu bisa di sebut penurut? Bahkan satupun peraturan sekolah tak ada yang di laksanakan.

Seokjin terkekeh-kekeh dengan ekspresi kebingungan Mee, ia meraih saku jemur putihnya, mengeluarkan ponsel dengan wallpaper fotonya dan Yoongi.

"Bukankah dia terlihat lucu saat tertawa? Ini ... Hari pendaftaran nya di SMA dan hari itu semua kacau. Ada pasien darurat, sehingga aku harus pergi. Sedangkan kedua orang tua kami berada di Paris untuk kepentingan bisnis. Mungkin, hari itu sangat mengerikan. Tak ada siapaun yang mendampingi nya," Mee mengangguk faham seraya menuliskan beberapa kata pada buku.

"Aku akan memberitahu Yoongi bahwa kalian sangat mencintai nya!" Seokjin menghela nafas panjang lalu tersenyum.

"Tak apa, aku bisa mengatasi Yoongi. Oh, sudah waktunya aku melihat keadaan Yoongi. Aku pergi dulu," Seokjin melambai, sementara Mee menunduk memberi format pada yang lebih tua.

Mee menyingkap selimut, berjalan pelan keluar tanpa sepengetahuan Seokjin. Rasa penasaran membuat gadis itu lupa akan rasa takut. Seolah hati berubah warna menjadi merah muda dengan nama Yoongi memenuhi pikiran.

Senyum tipis melengkung indah beberapa waktu sebelum ia mendengar suara teriakan dan barang-barang terlempar dari dama ruangan Yoongi. Jantung berdetak cepat dengan tubuh setengah bergetar ia mendekatkan wajah pada celah pintu, mencari jawaban dari rasa penasaran nya.

"Aku tidak butuh kau rawat! Urusi saja gadis bisu itu! Aku membenci mu!" bentak Yoongi.

"Yoongi, sudahlah. Jangan keras kepala, ini sudah waktunya kau minum obat. Aku tak mau Eomma cemas dengan keadaan mu," lirih Seokjin yang terdengar jelas oleh Mee.

"Aku tidak mau di obati selagi gadis itu masih berada di rumah sakit ini! Aku tidak mau!" lagi-lagi Yoongi membanting nampan dengan segala obat yang dibawa Seokjin.

"Yoon! Aku sudah repot membawa obat-obatan ini. Kau tidak usah menyalahkan orang lain, aku tau kau takut pada obat dan jarum suntik! Dadar payah! Karna itu kau benci dokter, kan? Minum sekarang!" Seokjin meninggikan suara, memaksa pria muda dihadapannya tertunduk seraya meraih nampan dengan obat yang telah di pungut Seokjin.

"Aku hanya membenci gadis itu," lirih Yoongi dengan suara pecah dan sedikit bergetar.

Mee meremas ujung piama, menahan tangis. Air mata membasahi pipi, memaksa pundak bergetar dan kaki yang lunglai mulai berjongkok — tak mampu menompang tubuh yang mulai remuk bersama perasaan.

Sebegitu bencinya Yoongi padanya? Lalu apa ia harus pergi dengan keadaan seluruh ini, agar pria itu mau menerima obat nya?

Mee merobek selebaran dari buku pemberian Seokjin, menulis beberapa kata yang sedikit basah karna tetes air mata. Perlahan ia mengetuk pintu, lalu memasukan kertas dari celah pintu yang sedikit terbuka.

Seokjin melangkah menuju pintu lalu memungut kertas yang tergeletak di lantai, keningnya mengerut bingung sebelum kemudian menjadi kemarahan.

"Lihat! Dia benar-benar pergi! Selari ini? Apa kau pikir itu baik untuk perempuan? Apa otak mu itu tidak berfungsi lagi Yoongi_aa?" kesal Seokjin.

"Lalu kenapa kau begitu marah? Apa kau menyukainya? Aku akan sangat bersyukur jika dia juga mencintai mu," Yoongi berucap datar.

Pria itu mengalihkan pandang. Pikiran nya melayang pada sosok gadis yang berjalan sendirian dijalanan sepi. Mengusir rasa takut karna tai memiliki pilihan lain.

Apa aku terlalu kejam?

Yoongi meraih ponsel di nakas, membuka chat bersama Mee, dimana pesan yang dikirim beberapa jam lalu belum di baca. Terlalu sibuk atau memang ingin mengabaikan? Yoongi berdecak kesal.

Untuk pertama kalinya, mengapa ia kesal karena sebuah chat?

Dengan cepat jemarinya mengetik pesan. Wajahnya merengut kesal membuat seokjin merasa curiga. Yoongi menjauhkan ponsel dari sang kakak, mencegah yang lebih tau melihat riwayat chat nya.

-0-

Dimalam selarut ini ... Syukur, karna aku masih bisa menemukan taksi.  Hanya butuh beberapa menit untuk aku sampai di rumah. Namun butuh lebih dari tiga puluh menit untuk memanggil Abba yang tak menjawab.

Perasaan ku goyah. Penasaran, apakah ia berada adu rumah, atau sedang bersenang-senang dengan perempuan jalang? Haruskah aku memperjuangkan nya? Haruskah aku melewati takdir seburuk ini dengan segala perjuangan?

Aku berbalik, menelan ludah kasar karna takut. Pikiran-pikiran buruk mulai menyeruak, mencoba menggali lebih dalam pikiran ini.

Aku menggeleng, melangkah pelan sembari mengeratkan jaket dan ransel. Mau tak mau, aku hanya punya satu harapan. Meski kemungkinan yang kumiliki sangat kecil, tetapi ... Aku tak punya pilihan lain.

Seolah tak memiliki tempat kembali, aku berjalan gontai dalam gelap malam. Menyusuri jalan sepi dengan jantung berdebar dan keringat dingin. Beberapa kali, menggesekan kedua telapak tangan yang memerah, lalu meniup pelan untuk mendapat sedikit kehangatan. Hingga langkah ku terhenti di sebuah apartement. Tak yakin ... tetapi ini pilihan terakhir.

TO.BE.CINTINUE

Unspeakable ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang