9. Tanpa perubahan

61 16 1
                                    

Deg-deg-deg
Mee tersenyum, tangan kirinya menempel di dada merasakan debaran yang semakin menjadi. Genggaman yang erat, tangan putih yang dingin seperti kepribadian nya.

"Lihat! Si bisu! Apa yang dia lakukan pada Yoongi?"

"Mereka serasi, seperti sepasang sampah!"

Yoongi menghentikan langkah, mendengar dua perempuan yang berlalu melewati nya, tersadar tangan nya menggenggam Mee, Ia mengehempaskan kasar hingga gadis itu tedorong ke tepi balkon.

Mee menatap lemah titik terdalam mata gelap Yoongi yang kesepian. Ia tau perasan itu, malu. Bahkan Ayahnya sendiri malu memiliki putri Tunawicara, lalu mengasingkan nya kesebuah desa kecil bersama sang ibu.

"Kau! Berani-benarinya kau memegang ku!" bentak Yoongi.

Mee menggeleng, menggoyangkan jemarinya terbuka menandakan penolakan. Bukankah Yoongi sendiri yang menggenggam tangan nya?

Satu tangan Yoongi memegang besi tepi balkon seraya memegang kening dengan mata terpejam erat. Sekelebat ingatan muncul berputar spiral hingga tubuh itu jatuh terduduk.

Bulir bening menetes dari pipi si pucat yang menahan sakit di kepala. Mee seolah membeku, pikiran kosing karna panik, Ia meraih pundak Yoongi, menuntunnya menuju UKS.

Perasaan kacau, takut. Yoongi mengeram menahan sakit, berjalan pelan dengan tangan mengepal erat.

"Bagaimana bisa itu salah ku!" teriak Yoongi.

Kedua manik Mee membulat saat Yoongi meraih kerah nya, mendorong hingga ia tersudut di tepi balkon. Dengan sekali dorongan tubuh nya tak lagi memiliki keseimbangan.

Teriakan melengking membuat beberapa gadis di halaman menjerit histeris — mengerumuni Mee yang terjerembab tak berdaya. Yoongi menutup mulut tak percaya, menatap telapak tangan yang kembali melakukan kesalahan.

"Sial!"

Pria berkulit pucat itu duduk di bangku perpustakaan yang sepi, menatap lengan penuh luka yang telah di obati.

Beberapa kali ia membenturkan kepala ke tembok, meratapi kebodohan yang lagi-lagi ia lakukan. Air mata mengalir, membasahi pipi dan wajah sembab nya. Memang jarang, tapi kali ini Yoongi menangis sunyi di ujung ruangan gelap itu. Memeluk lutut, menyembunyikan wajah bersalah nya.

-0-

Merenung sendiri dalam kekosongan.
Tak adalah keinginan bersama ku?
Mengapa Abba selalu menjauh?
Aku putri mu, yang penuh kekurangan.
Namun aku masih menjadi bagian mu.

Malam mulai larut tapi sosok manis itu masih menatap buku di samping Mee, meletakan buku di nakas, tersenyum manis dengan mata yang menyipit karna kantuk.

"Tidurlah," lirih Namjoon.

Mee mengalihkan pandang, teringat bagaimana pria pucat itu mendorong dirinya dari lantai 2. Namjoon melipat tangan di dada, memejam sejenak setelah seharian berkegiatan.

Air mata lolos dari pelupuk mata, Mee mengusap lembut tak ingin sahabatnya melihat. Mengapa juga pria yang baru ia kenal itu mau berteman, bahkan menunggunya di saat sakit. Kemana sosok yang selalu ia rindukan? Sosok yang selalu ia tungu kepulangan nya.

Abba dimana?

Mee menutup mulut, menahan isakan yang hampir lolos. Sungguh menyakitkan, bahkan disaat seperti ini tak ada seorang pun menjenguknya. Apa ia berharap? Ya.
Siapapun pasti berharap di perhatikan saat sakit. Namun kenyataan terlalu tajam.

Beberapa hari lalu Namjoon mengalami demam, anak-anak menjenguk ke apartemen nya, membuat acara kecil untuk kesembuhan pria berdimple itu. Belum lama juga, gadis model dari kelas sebelah sakit, ia sendiri tak tau mengapa kelasnya juga harus ikut menjenguk, membawakan banyak buah dan makanan. Apa itu adil?

Mee menatap celah di pintu, membulatkan mata saat sekelebat hitam berjalan cepat. Merasa penasaran, ia beranjak dari ranjang. Lukanya tak terlalu serius, hanya sedikit retak tulang di lengan dan beberapa luka kecil.

Siapa yang masih berjalan di lorong. Ini sudah sangat larut.

Dengan jantung berdebar Mee berjalan pelan agar tak membangunkan Namjoon. Membuka pintu yang tak menampakan siapapun. Ia menoleh kea sana-sini,  tapi tak melihat siapapun - hanya lorong kosong menakutkan yang membuat bulu kuduk meremang, memaksa jemarinya meremas gagang pintu sebelum menutup pelan.

-0-

Yoongi menyandarkan kepala di balik tembok, sedikit mendongak lalu mengusap wajah frustasi. Ia melangkah pelan menyusuri lorong rumah sakit dimana Mee di rawat, mengintip dari celah pintu.

Jantung berdetak cepat. Hampir saja ia ketahuan mengintip. Perasaan nya menghangat, mengetahui Mee tak terluka parah. Namun rasa kesal menyeruak kala melihat sosok yang tertidur di kursi sambil bersandar di tembok. Dari jauh, keduanya seperti sepasang kekasih, dan mengapa Yoongi membenci itu? Bahkan jika keduanya berkencan itu bukan urusan nya.

"Dia teman mu?" seorang dokter menepuk pundak Yoongi dari belakang. Tak ingin membuat kegaduhan, pria pucat itu melangkah pergi meninggalkan sosok dengan kemeja dokter yang menggeleng pelan karna tingkah adik nya.

"Kalau bukan teman berarti pacar, kan?" gumam pria itu lalu berjalan pergi.


-0-


Mee mengerjap pelan, mengucek mata seraya menutup mulut yang menguah lebar. Menoleh mencari teman yang tak lagi ia temukan. Yah, Namjoon harus sekolah dan ayah harus bekerja. Ia menghela nafas lemah. Menyadari kekosongan kembali mengambil ruang.

Ingin rasanya ia bercerita pada seseorang, tentang keluh kesah, lalu saling bertukar solusi. Sayang nya, seseorang yang rajin membaca pun pasti bosan ketika berbicara hanya dengan membaca note.

Seorang laki-laki dengan seragam SMA muncul dari balik pintu. Mengembangkan senyum dengan dimple yang kembali menyemangati Mee.

"Aku pulang sebentar. Ini aku bawakan makanan," pria itu duduk di samping Mee seraya membuka kotak makan.

Mee menggeleng, meraih note di nakas lalu menggerakan tangan membuat coretan berbentuk kalimat.

"Pergilah kesekolah. Nanti Abba akan datang. Kau jangan khawatir! Aku tak mau Namjoon yang teladan terlambat karna aku."

Namjoon mendengus kesal. Ia tau benar kalau pria paruh baya yang di tunggu Mee tak akan datang, bahkan hanya untuk menjenguk. Namun, tak ingin teman nya kecewa ia tersenyum, mengelus lembut surai si gadis.

"Yang penting jangan lupa makan! Nanti sepulang sekolah aku langsung datang kesini!"

Tak usah repot-repot Joon!
Kalau kau terus baik pada ku, perasaan ini mungkin berubah. Namun, itu akan lebih sulit.

Mee tersenyum, menatap kepergian sahabat yang melambai tanpa mengurangi senyum. Menutup pintu pelan, lalu berjalan menjauh.

Mee meremat sprai, merasa bersalah pada Namjoon. Semalam pria itu bertanya tentang pelaku yang mendorong nya dari lantai dua, ia tau ... Namjoon tak akan tinggal diam, saat mengetahui Yoongi pelakunya, Mee berdalih bahwa itu kesalahan nya sendiri yang terpeleset dan tentu Namjoon tak percaya dengan alasan kekanakan itu.

Namjoon_aa
Mengapa aku berbohong pada mu?
Maaf! Sungguh.

TO.BE.CONTINUE.
WOW ... Kira-kira gimana ya perasaan Mee selanjutnya?
Apa dia masih bersikeras sama si dingin? Atau sama Namjoon?
Yuk komen!
Kalian pilih kubu Namjoon
Atau kubu Yoongi.
Bye ... Sampai ketemu besok.

Unspeakable ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang