10. Perbedaan dalam persamaan

63 13 1
                                    

"Appa, nilai ujian ku mendapat nilai seratus. Aku juga tidak bisa pulang karna berada di rumah sakit. Maaf, karna aku ceroboh!"

Dengan ragu Mee menekan tombol send, mengirim pesan pada sang Ayah, berharap pria itu datang barang sekejap. Namun kembali pada kenyataannya, pesan itu dengan cepat di baca, tetapi tak ada tanda-tanda balasan. Hingga waktu berlalu, harapan larut bersama kekecewaan.

Tak seharusnya aku mengirim pesan. Appa mungkin sibuk.

Mee beranjak keluar dari ruangan. Beberapa orang duduk di kursi tunggu, menemani keluarga. Beberapa lainya saling mengobrol, menemukan kawan baru.

Jantung berdenyut sesak. Bibir mencebik kesal. Jujur, ia iri dengan segala pemandangan di hadapan nya. Melihat orang-orang yang saling menyapa, menanyakan kabar, mendoakan kesembuhan. Mengapa di dunia ini, seolah hanya Mee yang paling di kucilkan?

-0-

Namjoon menyipitkan mata, mempertajam penglihatan kearah sosok pucat yang mematung di tempat kejadian dimana Mee terjatuh. Pikiran berputar, mencoba menebak segala kemungkinan.

Ia berjalan cepat, tetapi Yoongi dengan cepat berbalik lalu berjalan mejauh. Namjoon mendengus kesal, begitu yakin bahwa si pucat lah penyebab Mee terjatuh.

"Kalau sampai itu kamu, aku tidak akan tinggal diam!"

Yoongi jelas mendengar ucapan Namjoon. Namun langkah nya masih tak terhenti. Kembali mengabaikan dada yang semakin sesak sejak kejadian itu. Rasa bersalah menyeruak, menghancurkan segala pertahanan yang ia buat selama ini.

"Yoongi adalah pelakunya. Mau di tutupi bagaimanapun dia adalah pelakunya!"

"Ya, aku melihat dia disana kemarin. Di tersenyum miring, bukan kah itu mengerikan?"

"Kecilkan suara. Ada Namjoon, pssst."

Namjoon mengepal kesal. Ia cukup panas mendengar desas-desus di setiap sudut sekolah. Yang lebih mengecewakan, Mee yang ia anggap sebagai sahabat, lebih memilih untuk membela Yoongi ketimbang jujur padanya. Seberharga itu kah Yoongi yang selalu menyakitinya?


-0-


"Gara-gara kamu Seokjin kehilangan cita-cita! Apa kau dendam pada nya! Dia itu sayang pada mu, Yoon."  Masih menangis tersedu hingga jemarinya bergetar, Yoongi membuka pintu kamar Seokjin yang tertutup rapat.

Pria tampan tersenyum tipis, sedikit meringis menahan sakit di tangan nya bergerak menepuk kasur di sisi, mengisyaratkan Yoongi untuk duduk.

"Tak apa, lihat! Hyung baik-baik saja!" 

Bulir hangat kembali mengalir, ia menutup wajah basahnya. Hatinya begitu perih melihat sosok Hyung tercintanya terluka parah dan tak bisa melanjutkan cita-cita yang ia kejar sejak kecil — dan semua itu kesalahan Yoongi.

Kejadian lima tahun lalu berputar jelas di ingatan Yoongi, selalu menulis dalam keheningan malam, menjelma menjadi mimpi buruk.

Saat itu Yoongi masih duduk di bangku SMP, tetapi sikapnya yang kekanakan selalu menuntut Seokjin untuk selalu menemaninya. Tak ada yang terlalu istimewa dan terlalu menakutkan, Sampai hari yang di tunggu Hyung nya benar-benar tiba.

Karna ketangkasan, serta kecerdasan di atas rata-rata Seokjin bisa melewati masa sekolah lebih cepat dari teman seumuran nya. Pria itu mendaftar sekolah kepolisian, karna memang itu cita-cita nya sejak kecil. Ia mempelajari apa yang akan di ujian dalam pendaftaran, dengan penuh semangat dan kerja keras.

Seringkali Yoongi datang, memberi semangat pada Seokjin. Begitupun di hari pendaftaran, ia datang bersama keluarga untuk menyemangati Seokjin. Namun tak sengaja ia mendengar beberapa polisi yang berucap tentang berapa beratnya hidup dalam segala tugas dan tanggung jawab besar.

Yoongi tak pernah menyangka kalau Seokjin akan pergi, tinggal di rumah dinas yang jauh di luar kota dimana dirinya bertugas, meninggalkan keluarga, mempertaruhkan hidup untuk kepentingan orang lain.

"Kau tidak usah jadi polisi! Mereka bodoh! Jangan jadi polisi hyung! Kumohon," tangis Yoongi seraya mendorong tubuh yang lebih tua hingga ke ujung balkon.

"Yoongi! Dewasa lah! Apa mau mu, kau ini kenapa!" sentak Seokjin yang terbawa emosi. Yoongi juga tak mau mengerti, tanpa sadar mendorong Seokjin hingga terjatuh dan mengalami luka parah. Tak bisa mengikuti ujian pendaftaran dan harus mengakhiri cita-cita nya.

Sejak saat itu Yoongi bertekad untuk tak pernah menggangu Seokjin, meski pria itu masih sangat perduli padanya — dan itu menjadi cerita terburuk.

"Aku menjatuhkan seseorang lagi, bagaimana kalau Seokjin tau? Bagaiamana?" Yoongi yang duduk di sudut kelas mengusak surai kasar. Pikiran nya kacau.

Haruskah aku meluncur sendiri?
Haruskah aku mati?
Bagaimana mereka bisa hidup dengan sangat mudah.

Yoongi menuntup wajah di atas meja, memejam dengan tangan sebagai bantal. Membiarkan segala pikiran buruk menguasainya, memutar kepala hingga kedua manik sipit nya memejam erat, menahan sakit dan pening.

-0-

Namjoon melangkah memasuki rumah sakit, tangan nya mengepal geram setelah mendengar keributan kelas tentang Yoongi. Hampir tak pernah ia meninggalkan jam sekolah, tapi kali ia tak berfikir dua kali untuk mengambil keputusan.

"Mee!" sentak nya seraya membuka ruangan dimana gadis itu dirawat.

Memandang wajah marah Namjoon, gadis itu menunduduk sementara si pria menarik rahang Mee, memaksa pandagan di antara keduanya.

"Katakan pada ku kalau Yoongi yang melakukan! Cepat!" bentak Namjoon seraya memberikan note di atas nakas, kedua mata mata menatap tajam membuat Mee menunduk takut.

"Maaf, kenapa aku jadi seperti ini," Namjoon mengurut kening frustasi, mengontrol emosi yang meluap.

"Baiklah, Apa benar Yoongi yang melakukan ini pada mu?" tanya NamJoon lembut. Tak lama kedua manik mata nya membola, meneguk ludah kasar setelah membaca tulisan di atas note. Benar-benar tak menyangka dengan apa yang ingin dikatakan sosok di hadapan nya.

"Apa urusan mu! Aku mencintai Yoongi! Jangan kamu kira menjadi teman bisa mengatur segalanya! Aku punya takdir dan hidup sendiri, aku juga tidak pernah menghampiri mu untuk berteman! Jangan campuri urusan ku, dan jangan pernah sakiti Yoongi!"

"Baiklah, memang aku yang mendekatimu! Aku tidak ada hak untuk melarangmu mencintai seseorang, jadi ... Lakukan saja. Kita bukan teman sekarang," Namjoon beranjak untuk keluar, tetapi Mee menahan dengan tangan kanan nya. Meraih baju belakang Namjoon yang masih enggan menoleh.

"Jangan campuri urusan ku, Mee. Entah aku menyakiti Yoongi atau tidak. Aku ... Bukan lagi teman mu!" Mee menggeleng, berusaha mempertahankan pegangan yang kemudian di tepis pelan Namjoon. Pria itu melangkah pergi, mengabaikan tangis Mee.

Bukan itu maksud ku....
Namjoon_aa. Jangan pergi, hanya kamu satu-satunya yang ku miliki. Tolong.

Mee menangis tersedu di ruangan nya, meratapi kepergian Namjoon. Ia meraih note, merobek kertas menjadi serpihan kecil tak berbentuk. Menatap jendela kosong, berharap sosok itu kembali.

TO.BE.CONTINUE
Hwee ... Sedih banget. Tapi lebih sedih lagi karna fanfict ini terasa sangat sepi.

Unspeakable ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang