14. Dilema

57 13 5
                                    

Mee merasa pasrah berdiri di depan apartemen Namjoon. Menggerakan tangan ragu. Haruskah ia membangunkan seorang pria di larut malam? Akankah Namjoon mengijinkan nya masuk?

Jrak!
Mee menoleh kesana-sini mencari sumber suara, nafasnya memburu hingga tubuhnya menyandarkan pada pintu. Ia menelan ludah, menyadari tak ada siapapun kecuali dirinya yang masih berkeliaran di malam hari.

Dengan ragu ia menekan bel beberapa kali, mengirim pesan, dan melakukan panggilan — berharap Namjoon berbaik hati.

-0-

Namjoon menatap ponsel dengan beberapa notifikasi panggilan dan pesan masuk dari Mee. Ia membenahi buku terbuka di hadapan, mematikan lampu belajar sembari melangkah menuju ranjang. Sesekali ia mengucek mata yang mulai perih terserang kantuk.

"Dasar perempuan jalang! Sudah bisu, kau juga tak tau diri!" Seorang pria berteriak dari luar. Kedua manik Namjoon membulat, kembali menajamkan pendengaran. Suara benturan dari pintu apartemen nya beberapa kali terdengar nyaring.

Sampai beberapa menit lalu, ia tau bahwa Mee berada tepat di luar apartemen nya. Namun rasa kesal dan kecewa masih mendominasi diri, mengalahkan rasa perduli, dan enggan membuka pintu.

Namjoon berlari keluar, menekan layar pengawas mini di sebelah pintu. Di luar pria dewasa yang familiar menarik rambut Mee hingga ia mendongak dengan air mata bercucuran. Bahkan tanpa belas kasih si pria menendang tubuh ringkih di hadapan nya hingga terguling.

Namjoon mengepalkan tangan. Bagaimanapun ia mengerti perasan Mee, bahkan gadis itu pasti punya alasan menjalani datang ke apartemen nya dalam keadaan larut.

"Dasar! Kau sama saja dengan ibu mu, Pelacur! Itulah mengapa aku mengasingkan kalian! Dasar keparat!" Pria itu melayangkan tinju ke wajah sendu putrinya.

Mee meringis kesakitan kala sang Ayah menarik tangannya yang terluka, menghempaskan tubuhnya seperti barang.

"Aku sudah mengira! Pria kaya seperti Namjoon tak mungkin mau berteman dengan mu, kecuali kau ke jadi jalang!" bentak nya.

Plak!!
Mee menatap nyalang, mengenalkan tangannya yang memerah setelah menampar sangat ayah. Hatinya remuk dengan segala kekecewaan. Ia mengalihkan pandangan sebelum berjalan pergi.

Pria dengan seragam kantor lengkap itu berjalan mengikuti putrinya yang semakin menjauh. Namjoon mendengus kesal lalu kembali menuju kamar.

Sembari berbaring Namjoon terus berfikir. Haruskah ia menolong Mereka tadi? Bahkan kini ia memiliki rasa bersalah ketika membiarkan Mee menangis sendiri.

"Aku tak bisa menolong mu. Maaf, karna aku tak ingin mencampuri urusan keluarga mu,"

-0-

Dengan nafas yang masih tersenggal-senggal Mee berlari kekamar setelah sangat Ayah melepas pegangan. Ia mengedarkan pandang lalu mengobrak-abrik tatanan buku di meja belajar. Di ambilnya buku gambar ukuran sedang dengan sebuah spidol.

"Hiks ... Hiks.... "

Isakan sendu memecah keheningan malam, bersama suara tapak kaki nya di tangga. Sesekali ia mengusap wajah basah nya seraya menatap tubuh lelah yang berbaring di sofa.

Mee menghentikan langkah tepat di hadapan sang Ayah. Meletakan bujur gambar di atas meja, lalu menuliskan sesuatu. Tetes demi tetes, air mata membasahi buku dan tulisan yang kemudian sedikit memudar.

Unspeakable ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang