20. Gambaran perasaan

46 14 5
                                    

Deg-deg-deg

Yoongi menunduk kala melewati Mee yang tengah berpaku pada buku di tangan, menatap tanpa berkedip dengan earphones menyumbat kedua telinga. Keringat dingin mengaliri pelipis, memaksa pria pucat itu mengusai kasar surai hitam nya, masih setengah menunduk — menghilangkan ke gugupan mendadak. Ia menoleh kala gadis itu benar-benar berlalu, berjalan semakin menjauh tanpa menoleh.

Sial. Ada apa dengan tubuh ini....
Aku ingin bicara, tapi mengapa tubuh ku menolak? Mengapa sangat gugup?

Pria Min itu melanjutkan langkah, menggeleng pelan mengabaikan kuat awal nya yang memang mencari Mee. Menatap kesal, hingga gadis itu benar-benar menghilang di balik tembok.

Benar, tak ada yang berubah. Mee masih sama. Pintar, menyukai novel romansa, dan musik. Hanya saja, sekarang jauh lebih pendiam — tak ada ke usilan, tak ada makan siang di loker, tak ada kegaduhan. Pria Min mendengus kesal, melangkah cepat menuju kantin.

Sebuah senyum terpaut di wajah Yoongi kala ia menunggu jatah makan nya, hingga membuat Honjung dan Wooyoung menatap aneh. Bukankah pria pucat ini baru marah-marah karna mendapat hukuman dua kali lipat? Sekarang sudah tersenyum sendirian. Poor Yoongi.

"Tidak udah mengikuti ku! Cari meja sendiri!" bentak Yoongi.

"Dasar aneh! Kami bahkan tak ingin makan dengan mu," Wooyoung menjulurkan lidah mengejek, Yoongi menatap geram keduanya, berjalan menuju meja kedua dari belakang yang masih kosong. Sembari menunggu ia mengaduk-aduk makanan nya, sesekali mencicipi seraya menoleh kesana-sini mencari seseorang.

Benar. Karna selalu di ganggu, aku sampai hafal betul, jam berapa dia akan datang untuk makan. "Ck, Aku akan segera kehilangan mood makan," Yoongi menatap jam tangan setengah tersenyum, kala Mee memasuki kantin. Wooyoung bersuit menggoda kala pria pucat itu ketahuan mencuri pandang pada Mee, bahkan Honjung sampai tersedak — tak mampu menahan tawa.

Aduh, sialan. Jantung ku berputar, aku akan mati jika dia duduk di hadapan ku.

Yoongi menahan senyum kala Mee berjalan sembari membawa baki makanan ke arah nya, ia mengalihkan pandangan jengah, bersikap seperti biasa meski jantungnya meronta, bergejolak hingga telinga nya memerah.

"Shit!" umpat Yoongi.

"Kkkk," Honjung dan Wooyoung dengan kompaknya terkikik gemas kala gadis itu berjalan melalui Yoongi dengan santainya duduk di meja belakang, menikmati makanan seolah tak melihat keberadaan nya.

Bagaimana bisa aku berharap dia menghampiri ku? Kesempatan pertama dia datang sebagai Imi, lalu kesempatan kedua dia datang dengan keadaan buruk nya, Mee. Tau pernah ada yang namanya kesempatan ketiga.

Honjung dan wooyoung langsung mengambil langkah menuju meja Yoongi, mengelus punggung si pucat yang menampik kasar tangan kedua teman nya itu.

"Sejak kapan kita jadi sedekat ini? Kita bahkan tak pernah kenal!" kesal Yoongi.

"Sudah sangat lama, tapi kau terus mengusik kesalahan pada dirimu meski tak ada orang yang perduli dengan itu. Dasar! Kenapa merepotkan diri sendiri?" Wooyoung melangkah pergi di ikuti Honjung, dari sudut ruangan Mee tak bisa menahan rasa penasaran, mengernyit memikirkan perkataan Wooyoung.

"Ya, hanya aku!" Yoongi melangkah pergi, menyusuri lorong kelas, menaiki tangga menuju rooftop. Pria pucat itu duduk di tepi, menatap jauh seraya menggenggam erat besi pembatas.

Yoongi sebenarnya telah menjalin pertemanan dengan Honjung dan wooyoung lebih lama ketimbang Namjoon. Mereka bertemu di pelatihan basket sejak SMP, dan memasuki klub yang sama setelah SMA. Namun sejak pria pucat itu mengacaukan Seokjin, ia menarik diri dari dunia nya. Bahkan berhenti berlatih basket, menghindari Honjung dan wooyoung hingga akhir-akhir ini kembali ke dalam klub basket. Bagaimana mereka tak dekat lagi?

"Tak akan ada yang datang pada ku, meski aku mati sekarang ... Tak akan ada yang berubah kan?"

Yoongi memejam, merentangkan kedua tangan nya terbuka. Merasakan hembusan angin yang meyingkap poni. Ia menarik nafas dalam, menghembuskan bersama helaan berat.

-0-

Beberapa kali Mee mengerikan kepala di meja, memukul merutuki kebodohan. Pelupuk matanya penuh dengan cairan hangat yang siap menetes, mengingat bagaimana Yoongi memerah tadi, dari leher hinga telinga. Bibir tipis nya yang selalu mengerucut, serta pandangan tajam nya. Mengapa masih terlihat sempurna dimata Mee? Bahkan jika Yoongi tak pernah bersikap baik, mengapa terlihat baik di mata Mee?

Dia pasti sangat membenci ku.
Apalagi setelah mengetahui fakta bahwa aku teman masa kecil nya, dia pasti lebih membenci ku.

Air mata mengalir deras, membasahi pipi tirus nya. Gadis itu menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Menatap jauh dari jendela, terseyum getir melihat siswa-siswi lain tersenyum, bercanda, melakukan hal mereka, mendapatkan cinta yang mereka inginkan. Mengapa kehidupan orang telihat jauh lebih mudah?

-0-

"Yoongi_aa, kalau gadis bisu saja tak mau lagi pada mu, apalagi gadis normal dan cantik?" Honjung menepuk pundak Yoongi, menarik pria itu menjauh dari tepi.

"Mau apa!"

"Kau terlalu egois. Ikuti saja kata hati mu. Siapa yang tak tau kau menyukainya, hmm? Kami bahkan Menggosip kan mu dengan Seokjin Hyung!" Wooyoung berucap setengah tertawa, sementara Yoongi menahan amarah. Pria tampan berprofesi dokter itu memang tak tanggung-tanggung dalam membocorkan rahasia adik nya sendiri.

"Hei! Berani sekali kalian menggosip kan ku!" kesal Yoongi.

Mee berdiri yang berdiri tepat di pintu rooftop kembali berbalik, menyadari keberadaan Yoongi bersama dia teman nya. Tak ingin mengganggu, juga tak ingin lebih sakit saat harus menahan perasaan.

Pantas saja dia tak pernah perduli pada gadis seperti ku. Bahkan ketika kehilangan Namjoon, dia langsung mendapat teman baru. Seperti itulah kehidupan normal.

Honjung menunjuk pintu yang tebuka, menampilkan punggung ringkih yang perlahan menjauh dan menghilang dari pandangan.

"Kejar saja, Yoon! Kau pasti tak akan rugi. Dia itu manis kok, lagi pula kalau sudah pernah jadi teman masa kecilnya, kau pasti mengerti dia," Wooyoung sedikit mendorong tubuh Yoongi.

"Ck, sebanyak apa yang Seokjin ceritakan pada kalian, huh!"

"Sangat banyak, bahkan dia juga menceritakan kalau kau takut pergi kerumah sakit! Kau takut harum suntik. Seperti bayi saja," ledek Honjung seraya berjalan pergi, Wooyoung yang tak ingin ketinggalan teman satu paket nya, ia melambai pada Yoongi.

"Kejar saja Yoon, sebelum terlalu jauh," teriak Wooyoung, karna kedua tangan nya telah di seret Honjung untuk pergi.

Yoongi menggaruk tenguk, masih memikirkan percakapan barusan. Haruskah? Akankah ia menyesal? Ia menghela nafas.

Ia tak pernah ingin tau perasaan nya, tapi sekarang ia seolah tak punya pilihan selain mencari tau. Kadang hati nya remuk, kadang senang, perasaan yang berubah-ubah dengan perasaan lega setiap kali menatap nya ... Yoongi menggeleng, menghancurkan semua pikiran tentang Mee.

"Bagaimana kalau aku menyukai nya? Aish! Ini gila. Tapi memangnya kenapa kalau suka? Jangan-jangan Honjung benar, aku terkena karma ku sendiri," Yoongi menatap langit biru, berharap jawaban dari perasaan nya tertulis jelas, atau setidaknya berhembus bersama angin.

To be or not to be.

1.jika menyukai cerita, harap memberikan dukungan.

2.jika membaca secara offline, bisa memberi boomvote setelah online.

3.jika ada hal yang membuat kalian resah, tolong hubungi aku agar cepat di lakukan revisi pada cerita.

Unspeakable ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang