11. Sifat alami manusia*

53 12 2
                                    

"Yoongi!!!" Namjoon berteriak dari luar kelas, berjalan cepat dengan tatapan tajam menelisik kelas, mencari sosok pucat yang tengah tertidur seperti biasa.

Namjoon menggebrak meja di hadapan Yoongi, pria itu mengerjap pelan, lalu mengalihkan pandang jengah.

"Kau! Apa kau tidak punya otak, huh! Kau bahkan tak lebih dari sampah, berani-beraninya kau menyakiti orang seperti Mee! Apa karna kau begitu lemah, huh!" Namjoon manarik tangan Yoongi yang sama sekali tak menolak, ia tau benar kalau pria itu akan membalas perbuatan nya. Namun, tak ada rasa lebih untuk memberontak, atau melawan.

"Yash! Apa kau gila! Kau mau membunuh ku?" Yoongi berteriak kalau Namjoon menarik kerah nya di tepi balkon lantai 2 dimana Mee terjatuh. Jantung berdetak kencang, kedua tangan mencengkeram erat besi tepian. Namum pria itu mendorong kuat tanpa ekspresi.

"Namjoon!!" Yoongi merasakan angin di sekitar tengkuk, sebelum kedua manik nya memejam erat menahan sakit kala tubuhnya bertubrukan dengan tanaman di halaman depan. Nyeri, perih, perlahan pandangan berputar, semakin cepat dan samar sebelum menjadi gelap sepenuhnya.

Siswa-siswi yang melihat kejadian itu berkumpul, sementara Namjoon masih berdiri di tempat nya. Tak sedikit murid ternganga heran, siswa teladan yang selalu menempati peringkat pertama itu melakukan pelanggaran.

-0-

<Mee PoV>

Ponsel menujukan detik jam yang seolah berjalan lambat, berkali-kali ku buka Chat lama yang ku kirim pasar Abba. Tak ada balasan sama sekali, meski dia selalu membacanya. Tak ada pertanyaan lain yang terbesit di benak ku. kecuali "Mengapa?".

Abba begitu kejam. Aku tak ingat tentang kecelakaan itu, tapi Eomma pernah mengatakan bahwa aku kehilangan suara karna sebuah kecelakaan, dan sejak itu pula Abba mengasingkan ku kesebuah desa kecil dimana nenek tinggal. Lalu menatap aku masih mengharapkan Abba sampai sekarang? Mengapa aku masih begitu mencintai nya?

Ruangan dengan aroma obat ini membuat ku mual, tanpa NamJoom aku benar-benar merasa kesepian juga merasa seolah bukan apapun, dan bukan bagian dari apapun. Tak ingin terlalu bosan, aku melangkah pelan keluar.

Sedikit, aku merasa sakit saat tangan kiri ku tersenggol. Lihat! Aku yang tak mampu berucap ini terliur begitu naif dengan perban melingkar di kepala, dan tangan kiri yang diikat longgar ke leher seperti sebuah gendongan.

Deg.
Langkah terhenti dengan hantunya berdetak cepat. Perlahan bulir hangat memenuhi pelupuk mata. Masih berdiri mematung, tangan ini mengepal kesal dengan perasaan kalut. Sungguh, aku ingin memanggilnya.

Greep!
Belum sempat berlari, seorang dokter menarik tangan ini. Aku memberontak, nangis histeris layaknya pasien gangguan jiwa. Mata itu menatap ku, lalu berpaling cepat dan pergi setelah membayar administrasi.

"Tolong jangan seperti ini, kau masih harus dirawat," Dokter berucap lembut, mengelus rambutku menenangkan.

Abba...
Dapatkah kau mendengar ku?
Dapatkah kau melihat air mata ku?

Aku masih tak mengerti. Mengapa Abba datang dan membayar administrasi jika ia tak perduli, lalu mengapa ia tak menengok ku jika perduli. Pikiran ini melayang, mencari jawaban-jawaban kosong yang selama ini memanggil ku.

Cleek.
Aku menoleh kaget saat pinyu terbuka, seorang dokter familiar memasuki ruangan sambil tersenyum manis. Setelah melihat ku meraung, menangis histeris pada seorang pemabuk, mungkin dia penasaran. Yah, orang-orang seperti itu kan?

Ia memberikan sebuah buku berwarna pink dan bulpoint lucu dengan hiasan kepala kucing. Mata ini membulat tak percaya, sementara dokter itu kemvaliengelus surai ku.

"Kau bisa menuliskan Keluh kesah mu disana. Oh ya ... Yang tadi itu Abba mu kan?" aku mengangguk, membuka buku itu lalu menulis beberapa kata.

"Dokter pasti sangat sibuk, tapi aku membuat mu repot." Ia menggeleng setelah membaca tulisan ku.

"Aku sedang ada waktu luang. Ngomong-ngomong, jangan salah faham dengan Abba mu. Dia mungkin punya cara sendiri untuk mencintai mu."

Kedua mata ini kembali membulat, dengan cairan hangat yang siap lolos kapan saja. Bagiku, semua orang hanya melihat dari luar. Abba memang membayar biaya perawatan ku, tapi bukan berarti dia mencintai ku.

"Kau persis seperti adik ku, dia juga menuntut untuk sebuah keluarga harmonis. Dia membenci Eomma yang terus bekerja, dia juga membenci Abba dan bahkan aku."

"Apa yang membuat dia membencimu?" tulis ku, sosok tampan dengan Name tag 'Kim Seokjin' itu menatap keluar jendela.

"Dia ... Mengira aku membencinya."

Aku tercengang. Adik macam apa itu? Membenci seorang kakak seperti Seokjin. Dia bersifat hangat dan baik, lalu mengapa si adik membencinya? Mungkinkah karna dia berhasil menjadi dokter?

"Aku tak ingin kau seperti itu. Adik ku, karna putus asa dia tak pernah serius dalam menjalani kehidupan. Dia sangat brutal dan menjadi berandalan."

"Apa kau kecewa dengan nya? Apa kau membenci nya karna membencimu?" Aku kembali menggores kan bulpoint di atas buku merah muda yang ia berikan.

Dokter Seokjin menggeleng lalu tersenyum. Dia tampan, tubuh tinggi ideal. Pasti adik laki-laki nya tak kau beda dari pria ini, bersikap hangat dan manis.

'Bagaimana mungkin aku membencinya. Dia adik manis ku," dengan sabar dia membaca setiap kalimat yang ku tulis. Menjawab dengan suara merdunya yang bak nyanyian tidur. Seandainya aku terlahir sebagai adiknya, mungkinkah aku masih akan membenci pria sebaik dia?

Drrttt
Drrttt
Aku mengerutkan dahi. Dokter adalah orang sibuk, tak mungkin dia hanya duduk dan menemaniku. Pesan dari ponslenya itu, mungkin akan menjauhkan kami dan meningalkan aku dalam jurang kesepian lagi.

Aku menatap heran dengan seribu pertanyaan. Raut wajahnya berubah menjadi dingin seketika, tersirat sedikit rasa takut dan cemas. Ingin rasanya aku melongok, menatap pesan yang ia baca dengan seksama. Namun itu tidak sopan, kan?

"Mee, aku pergi dulu ya. Adik ku mendapat masalah. Dia mengalami cidera karna jatuh dari Kanari dua," ucapnya seraya melambai berjalan keluar.

Aku membungkuk memberikan hormat, kembali duduk termenung. Dia sama sekali tak berbohong mengenai kisahnya. belum lama ia bercerita, dokter itu harus dikagetkan dengan kabar adiknya terjatuh dari lantai dua. Itu cukup mengingatkan sebab mengapa aku disini. Namun, sama sekali aku tak menyadari....

Siapa adik yang ia ceritakan.

TO.BE.CONTINUE

Unspeakable ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang