12. Lebih dari teman

59 14 6
                                    

Mee menekan tombol panggilan pada nomor Namjoon untuk ke 31 kalinya. Berharap pria itu menerima, tetapi Anagni nya lenyap setelah panggilan berakhir tanpa jawaban. Ia berdecak kesal lalu beranjak — mungkin si dokter tampan akan memberi solusi.

Setelah seharian Mee benar-benar kesepian, tak ada siapapun yang menemani. Rasa sepi menusuk dalam, menciptakan rongga hati yang begitu gelap.

Si gadis mendekatkan wajah ke pintu, mengintip dari celah. Dokter Seokjin tengah berkutat dengan lembaran putih di hadapan nya sambil sesekali menorehkan tinta.

Dengan sedikit kecewa gadis itu berputar, kembali berjalan menuju ruangan nya. Benar, Seokjin seorang dokter yang pasti punya pekerjaan yang harus di selesaikan. Namun Mee, jadi sangat kesepian.

Untuk mengusir rasa bosan Mee menuju taman depan, melihat pepohonan dan berjalan santai guna menetralkan perasaan. Ia mengambil langkah semangat, apalagi saat ini keadaan nya mulai membaik.

Tap-tap-tap
Mee mengernyit heran kala mendengar langkah berlari seseorang dari belakang, dokter Seokjin melewati nya, setengah berlari ke arah taman.

Tangan kanan Mee spontan terulur ke arah Seokjin seolah ingin pria itu berhenti.

Oh, Dokter Seokjin.
Mungkinkah adiknya berada di taman? Aku penasaran, apa yang membuatnya berlari.

Mee berjalan cepat mengejar si dokter yang menuju taman. Ia mengambil beberapa langkah sebelum tercekat hingga langkahnya terhenti. Mengernyit heran menatap pemandangan di hadapan. Kedua tangan spontan menutup mulut yang ternyata tak percaya.

Yoongi ... Adalah adik nya?

Yoongi beberapa kali menghempaskan tangan Seokjin saat pria itu m nggarai nya. Menolak masuk kedalam rumah sakit meski keadaan nya begitu buruk. Ia duduk di kursi roda dengan piama pasien, perban melingkar di kepala.

Siapa? Apa Namjoon yang melakukan pada Yoongi? Apa dia membalas perbuatan Yoongi pada ku? Mengapa?

Bulir bening membasahi pipi, ia mengusap pelan lalu berbalik. Namun, lagi-lagi Mee tak mampu mengambil langkah. Jantungnya berdetak cepat dengan air mata semakin deras.

"Tidak! Kalau gadis gila itu masih disini, aku tidak akan pernah mau dirawat!" teriak Yoongi seperti pria kesetanan.

"Lihat! Kau bisa mati kedinginan di luar. Ayo ikut hyung!"

"Lepaskan aku!" Lagi-lagi Yoongi menolak, ia malah menendang Seokjin dengan salah satu kakinya, lalu menjalankan kursi roda menjauh.

Seokjin mendongak seraya memijat kening frustasi. Mee menyandarkan pada tembok. Bagaimana Yoongi sekejam itu? Memangnya kenapa jika berada dalam rumah sakit yang sama, apa itu berpengaruh?

-0-

Untuk kesekian kalinya Mee mengiringi pesan pada Namjoon, ia mengigit bibir berharap pria berdimple itu membaca pesan nya.

Kling!
Mendengar notifikasi pesan, cepat-cepat Mee membuka pesan sebelum kemudian air matanya mengalir.

"Ya, memang aku yang men jatuh akn Yoongi dari lantai 2. Kau menghancurkan image ku di sekolah. Aku tidak tau, apa anak seperti mu masih pantas dipikirkan."

Mee menelan ludah susah payah, mengusap pilu air mata yang membanjiri pipi. Nafasnya tersenggol karna tangis, menyesali waktu yang merebut segalanya.

Ia melangkah pelan, kaluar dengan perasaan kacau. Tak hanya Namjoon, dan Abba, hari terasa lebih berat karna Yoongi terus menuntut Mee untuk pergi dari rumah sakit.

Pria pusat itu tak main-main dengan ucapan nya, ia menatap matahari yang memerah di barat. Duduk sendiri di taman depan.

Mee melangkah pelan kemudian menggeleng. Kalau mendekat, Yoongi akan semakin marah. Namun, ia butuh penjelasan. Apa hanya karna ia buta?

Mee mengeluarkan ponsel, mengerikan pesan lalu menekan tombol 'kirim' — ragu, tetapi tak punya pilihan selain mengigit bibir, menunduk — berharap Yoongi memberi respon.

"Langit nya indah ya ... Matahari yang memerah, seperti sedang marah," Yoongi menoleh kesana-sini, mencari sosok yang mengirimi pesan.

Ia mengalihkan pandang, setelah melihat Mee duduk di sebuah bangku yang tak jauh, mengetikan kalimat di ponsel yang seolah menarik bibir Mee untuk tersenyum.

Sesekali Mee memukul kepala, menyadarkan diri seraya menahan senyum. Pria pucat itu pasti mengirimi kata-kata pedas, dan mengapa bibir masih melengkung penuh harap?

Bibir sialan. Kenapa tersenyum?
Pria pucat itu membenci mu! Ingat, dia sangat membenci mu!

Kling!
Senyum Mee benar-benar sirna setelah Yoongi membalas pesan nya. Meyakinkan diri, bahwa ia memang pantas terluka dengan perkataan si pucat.

"Kau licik sekali! Kau menggunakan Namjoon untuk membalas ku? Lihat, sekarang kau puaskan! Tidak usah cari perhatian, aku membenci mu. Sangat benci!" tulis Yoongi.

"Tidak. Aku tidak tau. Namjoon melakukan nya sendiri. Maaf, karna aku, kau jadi terluka."

Mee mengusap kasar wajah, berdiri disamping Yoongi yang duduk tak berdaya di kursi roda. Pria itu menatap tajam hinga rahang nya mengeras.

"Aku tidak suka drama romantis. Kau tak akan bisaenjaga ku, merawat ku, lalu aku jatuh cinta pada mu! Heuh, mimpi saja!" kesal Yoongi.

"Tidak, aku tidak mengharapkan itu. Kau bilang, kau ingin aku pergi kan? Aku akan pergi. Hanya kalau kau mau ku dorong sampai ruangan mu!" Yoongi terkekeh pelan setelah notifikasi ponsel nya menampilkan pesan dari Mee. Ia tersenyum miring, menatap wajah sendu di samping nya.

"Kau licik! tapi siapa yang perduli. Baiklah!" Senyum mengembang di bibir Mee, gadis itu mendorong kursi roda Yoongi meski merasakan sedikit nyeri di lengan yang belum sembuh total.

Seorang pria dengan seragam dokter tersenyum di balkon, menatap senang adik nya yang mau? Akhirnya mau memasuki rumah sakit.

Seokjin terkekeh pelan seraya menuju ruangan si adik. Ia tau benar siapa Yoongi — sosok manis yang masih takut memasuki rumah sakit, bahkan setelah ia tumbuh. Masih tak berubah. Namun, Yoongi yang sekarang lebih pintar mencari alasan.

"Terimakasih, sudah membawa adik ku masuk."

TO.BE.CONTINUE

Unspeakable ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang