22. Kenyataan Pahit

4.4K 316 23
                                    

Dera tersentak saat pundaknya ditepuk pelan, ia menoleh ke arah Rere. Wanita yang telah resmi menjadi istrinya beberapa menit yang lalu. Di hadapan mereka telah nampak keluarga pengantin baru tersebut dan beberapa tamu undangan. Tidak banyak yang mereka undang. Hanya kenalan terdekat saja.

Selepas prosesi ijab kabul, mereka melangsungkan resepsi sore harinya ditemani semburat kemerahan langit dan angin laut.

Semuanya bersuka cita. Memberi  ucapan selamat serta doa agar rumah tangga mereka harmonis dan segera diberi momongan.

Semua sahabat Dera datang. Dera pikir baik Gibran dan Sabian tidak lagi ingin berada di tempat yang sama, tapi demi menghadiri pernikahannya kedua sahabatnya itu datang. Walau keduanya menjaga jarak dan tentunya tidak menyapa satu sama lain.

Godaan tentang malam pertama sepertinya menjadi rutinitas bagi para tamu untuk pengantin baru.

Jangan tanyakan bagaimana Noah dan Steven menggoda Dera. Kalau saja Gibran dan Sabian tidak bermusuhan, pasti keduanya juga kompak menggoda Dera.

Namun, Dera tidak fokus sedari tadi. Bukan hari ini saja. Jauh sebelum hari ini, ia gelisah dan gusar. Bahkan saat proses ijab kabul, ia harus mengulang sebanyak dua kali karena tidak berkonsenterasi.

Raganya memang berada di kerumunan tamu undangan dan di sebelah sang istri, tapi pikirannya melayang jauh memikirkan seseorang yang tidak menghadiri pernikahannya.

Bahkan seseorang itu angkat tangan dari tugas mengurus pernikahannya dengan alasan sedang sakit. Alhasil hanya Laras dan karyawan lainnya yang mengurus pernikahan Dera-Rere.

"Kan ngelamun lagi? Mas Dera mikirin apa sih?" tegur Rere jengkel karena Dera mengabaikannya yang sudah bicara panjang lebar.

Dera meringis dan menggumamkan kata maaf pada Rere.

"Dia lagi mikir Re, gaya yang paling yahut buat puasin lo malam ini," sahutan Steven membuat Rere merona malu.

"Harusnya kepala lo di restart biar semua isinya yang kotor jadi bersih!" Noah menoyor kepala Steven yang terpingkal-pingkal lalu memeluk lengan Noah.

"Nanti kalau kepalaku di restart, aku bakal lupa Abang Noah." Steven berlagak menjadi gadis manja membuat siapapun yang melihatnya bergidik jijik. Noah kembali menoyor kepalanya hingga rangkulannya terlepas dari lengan Noah.

"Gue gantiin posisinya Gibran yang dulu selalu bicara mesum."

Gibran yang merasa namanya disebut menatap Steven yang menyengir tengil.

Mereka berempat di tambah Rere berada di meja yang sama, kecuali Sabian yang pergi entah kemana memisahkan diri karena adanya Gibran.

"Gue kenapa?" tanya Gibran.

"Lo kayak Dera aja, raga di sini tapi roh entah melayang kemana," celetuk Noah mencibir kedua sahabatnya yang ia perhatikan melamun sedari tadi.

Rere pamit, membiarkan suaminya berbincang dengan para sahabatnya.

"Lo lagi nyariin siapa sih?" tanya Steven karena tadi memperhatikan Gibran yang celingukan.

"Oh nyari Sabian..." Steven sendiri yang menjawab pertanyaannya. Walau ia tau jika nama Sabian sensitif bagi Gibran dan sebaliknya, tapi tetap saja ia tidak peduli.

"Ngapain gue nyari dia?!" Kan? Gibran mulai merasa kesal. Kalau saja Dera bukan sahabatnya, Gibran pastinya tidak akan datang. Bukan itu saja tujuannya datang kemari, ia ingin menemui Randa, tapi sedari tadi tidak melihat wujud wanita yang benar-benar membuatnya hampir tidak waras.

"Ah nyari Randa!" Seruan Steven membuat Gibran sontak menatap sahabatnya itu dan Dera yang tersedak saat meneguk sirup yang Rere bawa.

Dera batuk tanpa henti dan Rere mengusap punggung suaminya.

"Mbak Randa sakit Mas, jadi gak bisa hadir." Rere yang tidak tau mengapa tentang permasalahan antara Gibran-Randa-Sabian menyahut memberitahukan Gibran yang sontak terlihat khawatir.

"Sakit apa Re?"

"Kata Mbak Laras kurang darah, makanya disuruh istirahat aja," jelas Rere lalu kembali fokus pada Dera yang telah berhenti batuk.

Semua yang berada di meja tersebut tidak peka kenapa Dera tersedak saat mendengar nama Randa. Mengingat wanita itu lagi-lagi menimbulkan rasa bersalah. Bukan hanya pada Randa, tapi pada Rere.

"Kok lo jadi pendiem sih Der? Gak kayak biasanya?" tegur Noah. Aneh pada sikap Dera yang pendiam dan kalem tidak seperti biasanya yang celetuk sana sini atau mengeluarkan candaan ringan.

"Kan bini gue kalem, jadi gue juga harus kalem." Rere mencubit pelan lengan Dera yang tertawa geli, atau lebih tepatnya dipaksakan.

"Hadeh! Yang udah punya bini pamer terus gak peduliin nasib para kaum jomblo!" gerutu Steven membuat mereka tertawa, kecuali Gibran yang mengkhawatirkan kondisi Randa.

"Kok Mas Sabian gak gabung sama kalian?" Pertanyaan Rere membuat mereka terdiam.

"Ah... Sabian lagi ngambek karena diledekin terus nasib jomblonya." Noah memberikan alasan palsu. Rere menerima dan percaya. Rere memang tau kalau hubungan Randa dan Sabian telah kandas.

"Sayang ya udah lama pacaran tapi putus," ujar Rere, keempat pria itu hanya meringis.

Dera memang tidak membeberkan fakta tersebut pada Rere karena ia pikir bukan urusannya.

*****

Tangan Randa gemetar hebat saat melihat dua garis pada benda pipih. Lalu matanya beralih pada cermin di hadapannya. Melihat kantung matanya yang semakin tebal karena sering menangis. Lingkar bawah matanya menghitam karena jarang tidur. Bahkan bobot tubuhnya mulai turun karena makannya tidak teratur.

Seluruh tubuhnya melemas, kedua tanggannya memegang tepi westafel di dalam kamar mandinya untuk menopang tubuhnya.

Randa tidak ingin menangis lagi, matanya sudah terlampau sakit dan perih. Dadanya berdebar kencang. Pikirannya berkecamuk hingga benar-benar tidak tau harus melakukan apa ke depannya.

Tangan kanannnya terlepas dari tepi westafel lalu mengarah ke perutnya yang masih rata. Mengelusnya secara perlahan. Randa memejamkan matanya. Walau berusaha menahan tangisnya, tetap saja air matanya tumpah walau hanya setetes mengalir ke pipi hingga ke dagunya lalu jatuh ke punggung tangannya yang masih mengusap perutnya.

Kemudian ia membuka mata menatap kembali pantulan dirinya di cermin.

Sekali lagi, ia merasakan yang namanya kehamilan.

Sekali lagi, ia merasakan tidak tau harus berbuat apa.

Sekali lagi, ia merasakan hidupnya tidak tentu arah.

Sekali lagi, ia benar-benar ingin melenyapkan diri saja.

Benar-benar ujian hidupnya tidak selesai. Ia hanya mampu berharap jika apa yang ia cemaskan tidak akan menjadi kenyataan agar hanya dirinya yang terluka.

Randa tidak ingin banyak yang ikut terluka karena kesalahannya.

.

.

.

.

.

17 November 2020

Love Makes HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang