35. Memulai Tanpa Dia

4.2K 350 18
                                    

Semilir angin dingin yang menyejukkan dan begitu menenangkan menemani Randa yang sedang bersantai di bale-bale yang terletak di belakang rumah. Matanya tertuju pada Angga yang sibuk menggarap tanah untuk ditanami kembali cabai dan juga tomat. Terlihat peluh berceceran di wajah serta belakang baju Angga sudah basah kuyup.

Angga memiliki warna kulit agak gelap akibat selalu bekerja di bawah sinar matahari.

Sembari memperhatikan Angga, Randa juga menikmati singkong rebus yang dicampur gula pasir buatan Ibu.

Ibu pergi ke salah satu rumah teman membawa hasil panen sayur mayur yang akan dijual ke pasar.

Kebun yang dimiliki Ibu, tidak seberapa. Satu-satunya hasil peninggalan Ayah. Mampulah untuk makan sehari-hari. Apalagi setiap minggunya Angga menjadi supir salah satu juragan penghasil bawang merah dan kentang untuk diantar ke Bandung.

Karena lelah, Angga menghentikan pekerjaannya dulu lalu bergabung duduk bersama Randa.

Randa menuangkan sirup mangga untuk Angga yang langsung di terima sang kakak.

"Makasih," ujar Angga lalu meneguk sirup tersebut hingga tandas.

"Abang masih mau?" tanya Randa yang digelengi Angga.

Tatapan keduanya tertuju pada hasil garapan tanah Angga. Mereka sama sekali tidak bicara lagi.

Sudah seminggu Randa berada di sini, baik Ibu maupun Angga tak pernah menyinggung soal kehamilannya. Tentang siapa ayah bayi tersebut dan kenapa tidak bertanggungjawab.

Bukan tidak peduli, tapi lebih menjaga perasaan Randa. Ibu dan Angga menunggu Randa memberitahu mereka.

Angga bukanlah kakak yang protektif dan tidak secara terang-terangan menunjukkan kasih sayang. Dulu mereka juga tak pernah bertengkar. Angga yang selalu mengalah pada Randa. Bahkan saat Randa memutuskan untuk bersekolah di Bandung, Angga tak pernah menentang adiknya. Walau jauh di dalam lubuk hatinya, ia ingin menahan Randa karena saat itu umurnya masih enam belas tahun.

Ibu pun seperti itu, tak pernah menentang keinginan Randa karena tak ingin putrinya marah dan malah membencinya.

Randa bersyukur, Ibu dan Angga masih menerimanya kembali setelah apa yang ia lakukan enam tahun terakhir ini. Melupakan Ibu dan Angga. Bahkan keduanya pun menerima kehadiran sang bayi.

Terdengar helaan nafas Angga, lalu pria berumur tiga puluh tahun tersebut mecomot singkong rebus.

"Usianya berapa?"

Randa terbuyar, ia menoleh menatap Angga yang masih menatap lurus ke depan sembari mengunyah singkong rebus.

"Ya?" tanya Randa ingin Angga mengulang pertanyaannya.

Angga pun membalas tatapan Randa lalu mengendikkan dagu ke arah perut Randa yang menyembul. "Perut mu. Udah berapa bulan?"

"Jalan bulan keenam."

"Wah! Bentar lagi bikin acara tujuh bulanan ya?" ujar Angga dengan nada yang ceria. Angga menatap Randa yang tersenyum. Senyum sedih lebih tepatnya.

"Gak usah, Bang. Pasti tetangga cuma datang bicara yang enggak-enggak. Kalau mereka bicarain Randa, gak pa-pa. Tapi kalau mereka bicarain Ibu dan Abang, Randa ngerasa semakin bersalah," ujar Randa sedih.

"Gak usah dengerin mereka. Lagian bikin acara tujuh bulanan gak perlu undang tetangga, 'kan? Keluarga aja. Kita doain kamu dan anak mu sehat. Dan nantinya kalian selamat pas proses persalinan," jelas Angga menenangkan. Randa tersenyum terharu. Dari dulu, Angga memang kakak yang baik padanya.

Tanpa kata Randa memeluk sang kakak dari samping menenggelamkan kepalanya pada dada Angga.

"Abang bau keringat loh, Dek," ujar Angga.

Love Makes HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang