1. Persetujuan

11.2K 630 191
                                    

“Ibu! Raya bawa kabar gembira!”

Seorang gadis berseragam putih abu-abu berlarian kecil ke arah rumah kayu. Genangan air hujan di tanah halamannya dia terobos hingga menciptakan cipratan air keruh pada rok panjangnya. Namun, gadis dengan kertas dan rapor di tangannya itu seolah tidak peduli. Dirinya terlampau senang dan hanya kertas putih berisi masa depannya yang dia lindungi dari rintik air.

Wanita paruh baya yang dipanggil “ibu” itu berdiri dari depan tungku batu yang mengeluarkan api untuk mematangkan makanan. Perempuan berusia setengah abad itu terdengar sedikit mengomel karena suara putrinya yang sangat nyaring.

“Ada apa? Kalo gak teriak-teriak, gak bisa kamu?” tegurnya dengan ketus.

Gadis delapan belas tahunan itu justru cengengesan. Dia mengambil tangan ibunya yang terkena arang dapur untuk dicium sekilas. “Hehe, Soraya seneng banget, Bu.”

Ibu itu tampak mengerutkan keningnya, tetapi ekspresi wajahnya tetap datar. “Kenapa?”

“Raya dapat beasiswa kuliah ke Jakarta, Bu! Gratis sampai lulus! Ini impianku dari dulu, alhamdulillah akhirnya usaha Raya selama ini gak sia-sia.”

Gadis dengan mata berbinar dan rambut sehitam jelaga itu tampak menyerahkan kertas putih yang dia lindungi dari hujan tadi pada ibunya. Surat keterangan bahwa Soraya Mekarwati lolos seleksi beasiswa tertulis di sana, lengkap dengan catatan lain yang dia dapatkan untuk kuliah.

Fitri, ibu dari murid SMA yang mendapatkan beasiswa itu semakin mendatarkan ekspresi. Dia melirik kertas yang diberikan anaknya sekilas tanpa berminat untuk membacanya. Dilihatnya lagi putri semata wayangnya itu menunjuk sebuah tempat kosong untuk dia membubuhkan tanda tangan sebagai persetujuan.

“Buang kertas itu!”

Soraya sontak mengangkat wajah, menatap ibunya dengan pandangan heran. “Ibu? Kenapa?”

Fitri mendengus, berbalik ke dapur untuk mengecek sayuran rebus yang menurutnya lebih penting daripada selebaran kertas beasiswa itu yang membuat anaknya bermimpi.

“Ibu nggak akan pernah tanda tangan. Ibu nggak setuju kamu kuliah.”

Soraya adalah putri satu-satunya. Dia tidak akan mengizinkan anaknya itu pergi jauh-jauh ke Ibu Kota hanya untuk kuliah. Fitri sudah mempunyai rencana yang jauh lebih baik untuk masa depan Soraya.

Isakan Soraya mulai terdengar. Dia sungguh tidak menyangka ibunya dengan cepat menolak rencananya itu. Soraya pikir, ibunya akan mendukung putrinya sebagaimana ibu teman-temannya. Namun, Fitri justru menghardik kertas yang sudah Soraya perjuangkan selama tiga tahun itu.

Saat napas Soraya mulai teratur, sebuah tepukan lembut mendarat di bahunya. Gadis itu menoleh, mendapati adik ipar ibunya sedang tersenyum lembut.

“Udah, jangan nangis terus. Ayo duduk sini.”

Soraya bangkit dalam rengkuhan Yanti menuju kursi ruang tamu. Salah satu bangku sudah terisi laki-laki tiga puluh limanan yang tidak lain adalah suami Yanti, Warno.

Adik kandung dari Fitri itu mengernyit melihat Soraya. Pasalnya, dia dan istrinya sudah mengetahui percekcokan anak dan ibu itu yang terdengar sampai rumahnya.

“Kalo paman jadi ibumu, paman juga nggak akan ngizinin kamu ambil beasiswa itu.”

Perkataan Warno membuat Soraya meluruhkan air mata kembali. Yanti yang tidak tega dengan keponakannya itu pun mengelus kepala Soraya sembari melototi suaminya.

“Kamu anak satu-satunya, Raya. Mau kuliah ke Jakarta, nanti ibumu di rumah sama siapa?”

Dengan sekali tarikan napas, Soraya bersuara, “Ada paman sama Bulik Yanti di sini kan, bisa nemenin ibu. Soraya ke Jakarta juga mau ngejar impian, bukan mau main-main.”

After She's GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang