Simpul Mati Nasya - 22

801 87 10
                                    

Ketua OSIS

Nasya masih terus memikirkan surat yang dikirimkan oleh Mirza. Banyak pertanyaan yang sekarang memenuhi pikirannya, bagaimana bisa seorang Mirza memiliki perasaan tersebut untuknya. Nasya belum siap menerima itu semua, rasanya terlalu cepat jika dia menerima perasaan yang diberikan untuknya. Tidak, soal rasa tak bisa dipaksa, jika dia hadir kita harus menerimanya. Dan mengontrol hati adalah pilihan yang terbaik untuk sementara.

Penilaian akhir tahun pelajaran sudah selesai dilakukan, dua minggu ke depan agenda belajar digantikan dengan kegiatan classmeeting dan remidial. Berdasarkan surat edaran dari anggota OSIS, ada beberapa perlombaan yang akan diadakan. Dan setelah di rapatkan oleh anggota kelas, Nasya mendapat tugas untuk ikut cerdas cermat. Bukan Nasya yang sok pintar, tapi emang karena gak ada temannya yang mau untuk tugas itu.

“Kenapa aku? kan ada Ervan, Lingga, Sinta, Riana, banyak dan mereka semua mampu,” ucap Nasya.

“Ervan sama lainnya udah gabung di tim basket, nanti kamu cerdas cermatnya sama Wildan,” jawab Riana.

“Gini loh, kita pengennya semua anggota kelas ikut berpartisipasi aktif, tujuannya juga biar gak dobel-dobel gitu yang ikut,” balas Ervan.

“Yaudah, gapapa,” balas Nasya akhirnya.

“Belajar materi apa Ca,” tanya Wildan.

“Materi umum aja deh kayanya, aku nebeng kamu ya belajarnya,” jawab Nasya yang justru membuat teman-temannya tertawa.

“Percaya, kamu mah gak usah belajar pasti bisa,” jawab Wildan.

“Mana ada, kamu tuh yang gak perlu belajar pasti bisa. Aku mah remah-remah rempeyek,” balas Nasya.

“Yaudah ribut terus aja kalian sampe kakek nenek,” ujar Diki yang membuat semuanya tertawa.

Bel berdering dua kali pada pukul 09.15 WIB menandakan waktu istirahat pertama. Nasya dan teman-teman lainnya langsung keluar kelas dan menuju ke kantin siswa.

“Duluan ya kita cari meja kosong,” teriak Fajar yang kemudian lari menuju kantin diikuti oleh Diki.

“Baru juga bel, masa iya kantin dah penuh,” balas Lila.

Diki dan Fajar sudah nge-tag satu dua meja kosong dibagian ujung biar bisa di gabung. Sebenarnya gak perlu juga sih, kan jadinya kayak meja rapat, panjang begitu. Melihat meja di gabung, Ervan langsung ngomel dan minta untuk dikembalikan seperti semula. Mau tak mau, Diki dan Fajar mengembalikan posisi meja seperti semula.

“Mau pesen apa, biar aku sama Lila yang pesen,” ucap Via.

“Gue bantuin,” balas Fajar.

“Yaudah pesen apa, biar aku tulis,” ucap Via lagi.

Secara bergantian satu persatu menyebutkan pesanan makanannya. Sambil menunggu keempat orang itu pesan makanan, kita berempat yang tersisa di meja, ngobrolin tentang classmeeting. Wildan yang emang terkenal ambis setelah Ervan, sudah sibuk dengan ponselnya yang menampilkan layar materi pancasila. Nasya menggelengkan kepalanya, gak salah nih Wildan jadi perwakilan cerdas cermat sekolah, bentar lagi pasti diikutin olimpiade nih anak.

“Patut dicontoh, rajin banget Wildan belajar,” ucap Riana membuat Nasya tersenyum, karena apa yang ingin ditanyakan sudah diwakilkan oleh Riana.

“Apaan, iseng doang buka ginian,” balas Wildan kemudian menutup layar ponselnya.

“Gapapa kali Dan, orang belajar juga. Keren tau kamu, ambisnya bikin orang termotivasi,” balas Nasya sambil mengacungkan jempolnya.

“Nasya,” panggil seseorang dari arah belakang Nasya. Riana dan Nasya menoleh ke arah belakang bersamaan.

Simpul Mati NasyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang