Ranu Kumbolo
Mobil Jeep yang mereka tumpangi sudah sampai di pos Ranu Pani sebelum magrib tadi. Karena memang sebelumnya mereka memutuskan untuk sholat ashar terlebih dahulu disalah satu mushola ketika perjalanan menuju Ranu Pani. Hangatnya mentari kini sudah berganti dengan dinginnya malam yang disinari oleh cahaya rembulan. Kobaran api unggun menjadi penghangat malam ini, ditemani secangir kopi dan camilan ringan.
Suasana alam bersama dinginnya malam selalu menjadi momen berkesan ketika sedang berkemah. Duduk bersila, melingkari api unggun kecil, dan diiringi nyanyian sendu menjadikan malam semakin hangat. Obrolan santai terkadang juga menghadirkan tawa yang membuat perut kaku.
“Di gunung gak boleh ketawa kenceng,” ucap Mirza sontak membuat Gio yang memulai tawa receh seketika diam.
“Emang iya ya?” tanya Gio tak percaya.
“Ya liat aja disini Gi, emang ada yang ketawa kaya kamu gitu?” tanya Landin membuat Gio mengedarkan pandangannya kesemua tenda yang ada disana.
Sebelum memutuskan untuk tidur, terlebih dahulu Mirza menjelaskan teknik pendakian. Dari gerbang Ranu Pani mereka akan melewati beberapa pos hingga sampai di Ranu Kumbolo. Pendakian akan dilakukan mulai jam 7 dengan estimasi waktu 5 jam sampai di Ranu Kumbolo.
“Gais masuk tenda yuk, udah mulai dingin nih,” ucap Riri yang sudah mulai beranjak dari duduknya.
“Yuk, satu tidur semuanya juga tidur. Kita simpan energi kita untuk mulai pendakian besok pagi,” balas Mirza.
Semuanya ikut berdiri, termasuk Nasya. Tetapi dia lebih memilih untuk sedikit menghangatkan kakinya dengan lebih mendekat pada api unggun.
“Udah malam Ca, buruan tidur gih. Semua juga udah masuk tenda, selamat istirahat. Selamat Malam,” Nasya memberikan senyumnya seraya menganggukan kepala kemudian masuk kedalam tenda.
⛺⛺⛺
Dinginnya pagi di Ranu Pani tidak serta merta membuat Nasya juga lainnya memilih untuk menghabiskan hari hanya di dalam tenda. Tujuan mereka jauh-jauh dari Jakarta untuk melakukan perjalanan alam, bukan hanya menikmati siang dan malam di dalam tenda. Jam dipergelangan tangan Nasya sudah menunjukkan pukul 04.03, langit masih gelap, tapi kewajiban sholat tak boleh dia tinggalkan.
Usai melakukan ibadah, Nasya memilih duduk ditikar yang semalam mereka gelar. Perlengkapan mendakinya sudah dia persiapkan sedari tadi, kini hanya menunggu teman-teman yang lainnya. Menatap langit yang perlahan mulai memudarkan warna gelapnya. Guratan warna jingga mulai terlukis dilangit yang perlahan menampakkan warna birunya.
“Gusy kalau udah selesai langsung kumpul disini ya,” ucap Mirza yang sekarang duduk di depan Nasya.
“Yang lainnya mana?” tanya Mirza.
KAMU SEDANG MEMBACA
Simpul Mati Nasya
Teen FictionFiksi Remaja - Islami - Pramuka || Spinoff Separuh Agamaku Bekerjasama dengan Penerbit Garis Cakrawala Bumi perkemahan, Tempat dimana kita pertama kali dipertemukan, Tak seperti orang kebanyakan, Berawal dari tatap-tatapan, Dan berjabat tangan perke...