#26 . Satu Detik yang Panjang

101 10 2
                                    

Ia tidak mengatakan akan berhenti. Namun jika tidak memungkinkan lagi, menyudahi jadi masuk akal.

Angin pun tak selamanya berembus pelan. Terkadang kencang. Terkadang dingin, membuat sekujur tubuh menggigil. Terkadang tenang, menyejukkan dari ujung kaki sampai ujung kepala. Dan segalanya, tak apa.

Rupa yang sama, lagi. Pada tempat-tempat dan jiwa yang terduplikat. Di peron stasiun yang selalu ia singgahi, ia memandang kereta melaju silih berganti, berbeda tujuan di satu arah tatapan mata.

Nanar. Bukan hanya gerbong kereta yang melintas. Bukan hanya tubuh-tubuh, yang tidak dikenalnya, yang melaju. Bukan hanya tapak kakinya yang membeku. Pun waktu.

Melambat di percepatan. Merambat dan menyusup dengan lihai di sela-sela kemungkinan dan ketidakmungkinan. Sampai akhirnya, yang ditatap olehnya terperangkap di perlintasan.

Satu detik yang panjang. Ia memutar kepalanya ke arah kiri dan menemukan tangga keluar dari peron. Yang ia tahu dengan pasti saat ini, langkah kakinya akan menuju ke sana. Masih sedikit nanar, ia berjalan dengan penuh keyakinan.

Dan segalanya, tak apa.

***

AlegoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang