43. Hari itu akhirnya datang juga

5.2K 718 358
                                    

Back to Arin's side.

"HEH!" kataku heboh saat melihat Mas Devan baru turun dari kamarnya langsung mau ambil nasi di rice cooker "Antri."

Kedua matanya cengo, "Hah?"

"Harus sesuai urutan ya. Jangan nerobos. Kalau mau cepat urusan makan, bangun lebih pagi." Mami menyilangkan tangan di depan dada.

Kulihat Mas Devan garuk-garuk kepalanya. Akhirnya dia baris di belakangku, "Ealah."

Di meja makan sudah ada Mas Jae, Mas Wirya, dan Mas Surya serta Ayah.

"Ian kok belum turun?" tanya Mami sambil menatapku.

"Masih molor, Mi. Suara ngoroknya sampe kedengeran ke Zimbabwe," sahut Mas Wirya yang memang kamarnya ada di sebelah kamarnya Mas Ian.

"Mi, kaos kakiku yang putih kemandose?"

Kami menoleh ke atas, ada si Anak Baru Gede — Bagas — turun dari atas sambil menenteng tas ransel sekolahnya.

"Makanya malam kemarin tuh disiapin. Kemandose...kemandose tak kepret kamu ya," kata Mami lalu mulai ngomel sambil berjalan ke rak sepatu.

Bagas cengengesan lalu dengan santainya mendahuluiku dan Mas Devan untuk ambil nasi.

"HEH!" kata kami serempak.

"Ih, apaan sih?! Kaget tahu," kata Bagas.

"Antri!" kata Mas Devan, "Kok enak awakmu (Kok enak dirimu)?"

"Aku buru-buru bentar lagi mau berangkat sekulah mau upacara nih," kata Bagas.

"Adikku yang jamet, tolong antri ya," kataku melotot.

"Yowes, ngalah," kata Bagas dengan bibir manyun.

Aku segera ambil nasi beserta lauk lalu duduk di sebelah Mas Surya. Hehehe strategis soalnya deket kipas angin. Meskipun masih pagi udah kerasa gerah banget. Ampun deh kenapa ya cuaca akhir-akhir ini panas banget?

"Mbak Arin!" Belum ada dua detik aku duduk, eh si bocil heboh lagi.

"Apaan sih?" kataku.

"Itu tempatku. Udah kubooking dari kemarin malam," kata Bagas.

"Dih? Orang aku duduk duluan."

"Nggak bisa! Aku mau duduk disana!" kata Bagas tetap kekeuh.

"Perkara tempat duduk aja loh, Rin," kata Ayah bikin moodku tiba-tiba jelek.

"Ayah tuh kenapa sih selalu belain Bagas? Dikit-dikit Arin mesthi disuruh ngalah," kataku.

Suasana jadi canggung banget.

"Duh, pagi-pagi udah ribut aja sih! Perkara makan ribut, perkara kursi makan ribut. Bisa nggak sih sehari tuh ayem tentrem gitu. Bisa nggak sih?!" Akhirnya sang baginda ratu pun mengamuk.

Hening.

























"Eh? Kok asik banget pagi-pagi udah gelar tiker? Mau arisan?" Mas Ian akhirnya turun dari kamarnya.

Aku menatap Ayah, Mas Jae, Mas Surya, Mas Wirya, dan Mas Devan yang kini duduk melingkar sambil menatapku dan Bagas — kami duduk berdampingan. Lebih tepatnya memelototi kami berdua.

"Biar adil duduk di bawah aja semua. Nih, kipas angin taruh tengah. Nggak usah ribut lagi," kata Mami akhirnya menyuruh kami semua makan lesehan di lantai dilapisi tikar.

Aku Panggil Mereka : Mas! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang