Unintended

666 75 11
                                    

Vancouver International Airport, Canada.

Langit sudah berubah temaram saat kaki panjang perempuan berkacamata hitam ini menginjak tanah Kanada. Sadar kalau petang telah tiba, Zitao melepas benda branded yang bertengger di hidung mancungnya itu dan mulai mengedarkan pandang dengan mimik ambigu. Antara tak sabar, cemas, malu dan bahagia. Dari atas eskalator, dia sedang menilik satu dari puluhan penjemput penumpang pesawat yang berjejer rapi dibalik besi pembatas itu.

Banyak dari mereka membawa papan nama, tapi dari sekian nama-nama itu, ia tidak menemukan kata 'Huang Zitao' atau 'Dokter Huang' di kertasnya. Tidak heran sih, toh Zitao sendiri tidak menyuruh orang itu untuk melakukannya. Mereka sudah sama-sama saling kenal wajah masing-masing.

Jadi, alih-alih memperhatikan tulisan di kertas, Zitao mulai menilik wajah para penjemput itu satu per satu. Tua, muda, pria, wanita, tak satu pun ia mengenalinya. Apa orang yang ia cari memang belum tiba? Ataukah orang itu batal menjemputnya?

Dengan wajah agak muram, Zitao akhirnya menepi ke bangku tunggu dan duduk lemas di salah satu kursinya. Ia merogoh ponsel di saku mantel sebelum melenguh sebal karena benda persegi itu mati kehabisan tenaga.

"Good!" keluhnya pasrah.

Sekarang ia terjebak di tanah asing tanpa bantuan apapun kecuali menunggu.

Sejujurnya, selama perjalanan Seoul-Kanada tadi, Zitao tidak bisa mengistirahatkan matanya sama sekali. Jangan untuk tidur, terpejam barang lima menit pun tidak. Ia seperti akan bertemu dengan orang penting. Jantungnya berdebar tak sabar tapi juga cemas menanti penuh harap.

Tapi yang ada dia malah berakhir duduk sendirian seperti anak hilang yang tak tahu harus mengadu pada siapa. Catatan, Zitao tidak menguasai bahasa asing selain Korea. Jadi ia ragu mau bertanya pada pusat informasi karena merasa bahasa Inggrisnya berantakan. Merasa tak bisa melakukan apapun, Zitao menyerah pada keadaan dan memilih untuk memejamkan matanya sejenak dengan menengadah ke belakang kursi sambil menarik nafas panjang.

"Aaah...menyesal dulu aku tak ikut kursus bahasa Inggris." desahnya.

"Mau kuajari? Aku akan mematok tarif murah."

Bagai telinga kelinci yang peka, Zitao buru-buru membuka mata dan bangkit dengan wajah terkesiap. Suara khas dalam bahasa negeri ginseng itu tak ubahnya alarm penyelamat hidup.

"KRIS!" pekiknya kencang.

Pria tampan itu tersenyum dan membalas ramah. "Dokter Huang."

"Darimana saja kau? Lupa kalau aku akan datang?!"

Lagi, Kris tersenyum. Miris. Pertemuan mereka setelah sekian bulan ini malah diwarnai oleh seruan kesal sang dokter padanya.

"Jadi anda tidak melihatku? Aku berdiri bersama orang-orang itu. Aku juga membawa poster." Kris beralasan sambil memperlihatkan secarik memo ukuran kecil dengan tulisan yang...oh, bahkan ia yakin mata setajam elang pun tak akan bisa membacanya. Zitao bahkan perlu mengernyit untuk membaca nama lengkapnya disana.

"Itu yang kau sebut poster? Menulisnya diatas kertas kecil dengan tulisan semrawut?"

Kris tertawa masam. "Maaf. Kupikir anda bisa langsung mengenaliku." katanya.

Benar. Kris yang berdiri menjulang didepan Zitao sekarang memang tak akan bisa langsung ia kenali sekali tatap.

Pertama kali mereka bertemu, wajah Kris penuh bekas luka jahitan. Rambutnya pun berwarna tembaga kusam tanpa bentuk. Kemudian, beberapa bulan lalu ketika pria mantan model ini pergi pamitan, Zitao masih ingat kalau rambut Kris pirang dan berponi kental dengan aura Barat-nya. Kris yang saat itu sudah tampan, well...dia memang tampan hanya saja jika dibandingkan dengan sosok yang berdiri tegap didepan Zitao ini sedikit jauh berbeda. Pantas saja kalau dokter muda itu tak mengenalinya.

Dear Future HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang