28. Aku Bahagia

68 11 1
                                    

"Bersamamu, aku bahagia.
Tanpamu, duniaku hampa."

•••✏️•••

Makam itu terlihat bersih seperti biasanya. Setiap kali Clara datang berkunjung, makam itu tidak pernah terlihat kotor.

Bunga yang menghiasi makam selalu diganti tiap kali sudah layu. Sudah pasti ada dua orang yang tidak pernah lupa untuk membersihkan makam ini, yaitu Rangga dan Farel. Atau ... ada orang lain yang tidak Clara tahu yang juga sering membersihkan makam ini.

Buket bunga lili campuran warna putih dan pink itu diletakannya di atas makam berdampingan dengan buket bunga lain yang entah dari siapa.

"Boy, lihat aku bawa siapa ke sini. Dia mungkin udah gak pernah ke sini lagi. Kamu kangen sama dia gak?" Setelah berkata demikian, Clara melirik ke arah Dimas yang sedang menatap batu nisan dengan kedua tangan yang dimasukkan ke saku jaketnya.

"Ayo, sapa saudara kembar kamu."

Dimas menatap ke arah Clara setelah Clara memintanya untuk menyapa Dhika.

"Ayo." Clara menyiku lengan Dimas.

Tatapan cowok itu beralih ke arah batu nisan. "Hai, Dhika."

Clara tersenyum mendengarnya. "Di sini adalah tempat di mana kamu minta aku buat jadi pacar kamu. Aku kaget banget. Tapi, aku juga bahagia banget. Karena hari itu, kesedihan akibat kehilangan Boy langsung berkurang," tutur Clara.

"Terus?"

"Semua yang terasa kosong mendadak terisi lagi. Rasa kehilangan seketika tak terasa karena hadirnya kamu ... orang yang layak menggantikan dia yang baru saja pergi waktu itu."

"Ya, memang. Karena yang pergi akan selalu digantikan dengan yang lebih pantas," kata Dimas sambil menghadapkan tubuh sepenuhnya ke arah Clara.

"Memangnya ada yang lebih pantas dari kamu saat kamu pergi nanti?"

"Menurutmu?"

Gadis itu menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. "Gak ada lagi."

"Kenapa?"

"Karena gak ada Dimas Lorenzo Erlangga yang lain. Cuma kamu," jawab Clara dengan suara yang begitu lembut.

Tatapan mata Dimas berubah menjadi sendu. Clara bisa melihatnya dengan jelas. Karena tatapan itu sama persis dengan tatapan ketika Dimas mengatakan bahwa dia merindukan Dhika waktu itu.

Orang lain mungkin akan sulit memahami apa yang sebenarnya dirasakan oleh Dimas melalui tatapan mata. Tapi, tidak dengan Clara. Dia sudah terlatih mengetahui perasaan Dimas melalui tatapan mata.

"Kamu ingin menangis?" tanya Clara pada Dimas.

Dimas yang baru tersadar langsung mengusap wajah, lantas mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Kamu ingin menanyakan sesuatu?" tanya Clara lagi yang berhasil membuat Dimas kembali menatap ke arahnya.

Dimas menatap kedua mata Clara secara bergantian sebelum bertanya, "Apa benar kalau mereka yang udah meninggal bisa memantau kita dari atas?" Pertanyaan Dimas terdengar sama seperti anak kecil yang bertanya kepada orang tuanya.

Clara's LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang