Chapter 21

4.7K 316 37
                                    

Kalau semua jurus PDKT nggak ada yang mempan, dekatin nyokapnya.


"Pagi banget lo bangun," kata Kiran pada Zeva sambil mengucek-ngucek matanya lalu meregangkan tubuhnya. Jam lima pagi Zeva sudah selesai mandi dan berpakaian rapi.

"Calon menantu harus kelihatan rajin di depan calon mertuanya," balas Zeva sambil mengibaskan rambut panjangnya yang masih agak basah, membuat wajah Kiran terciprat air. "Hairdryer lo mana?"

Dengan kesal, Kiran menunjuk ke arah laci mejanya. "Belum bisa disebut calon menantu kali. Lo kan belum berhasil dapetin kakak gue. Kalau Kak Gibran diibaratkan piala Oscar, lo belum masuk nominasinya." Koreksi Kiran.

"Ya, ya," jawab Zeva dengan malas. Kiran berani bertaruh perkataannya barusan hanya masuk telinga kanan lalu keluar lewat telinga kiri.

Setelah Kiran keluar kamar sambil membawa handuk, air muka Zeva berubah. Ia sangat khawatir. Saat dipikir-pikir lagi, Gibran yang membawanya keluar dari kamar Kiran untuk mengusirnya benar-benar tidak logis. Alasan yang kelihatan dibuat-buat.

Apa penyakit sleepwalking gue kambuh lagi? Pikir Zeva khawatir. Sudah lama penyakitnya tidak kambuh. Zeva yakin penyakit ini dipicu oleh ketakutannya dengan teror si Misterius.

Zeva benci dengan penyakit sleepwalking-nya. Saat terbangun, ia tak ingat apa yang barusan ia lakukan. Itu mengerikan.

Dulu, Zeva tahu dirinya menderita penyakit ini setelah beberapa lama orang tuanya menyembunyikan fakta bahwa dirinya berjalan dan melakukan beberapa hal selagi tidur. Jika orang tuanya memutuskan untuk terus menyembunyikan, bisa jadi selama-lamanya Zeva tak akan tahu ia mengidap sleepwalking.

Tidur di rumah teman adalah pilihan yang sangat buruk. Zeva memang merasa aman untuk sesaat. Tapi, saat tertidur, ia tak bisa menjamin apakah dirinya dan orang di sekitarnya tetap aman. Kemungkinan terburuknya, ia bisa saja membahayakan keselamatan orang lain. Kiran atau bahkan Gibran yang ia sukai bisa saja terluka karena perbuatannya.

Tinggal sendiri, mengunci pintu rapat-rapat, menaruh kuncinya di tumpukan baju dalam lemari, lalu menyimpan semua benda tajam adalah pilihan tepat bagi Zeva. Kalau perlu, ia akan mengikat kaki dan tangannya kuat-kuat di ranjang tempat tidur agar tak bisa ke mana-mana dan melakukan hal berbahaya.

"Ayo sarapan di bawah!" ajak Kiran, membuyarkan lamunan Zeva. Ternyata, sahabatnya itu sudah selesai mandi dan berpakaian. Zeva memang sedang mengeringkan rambutnya dengan hairdryer tapi matanya terlihat tak fokus. Pikirannya melayang ke mana-mana.

Setelah meletakkan kembali hairdryer di dalam laci meja, Zeva mengikuti Kiran turun. Meja makan di lantai satu dipenuhi roti dan buah-buahan. Minumannya susu vanilla. Sudah ada Lily, mamanya Kiran dan Gibran, duduk manis di sana.

"Udah lama ya Zeva nggak main ke sini," sapa Lily. Ia baru pulang malam sekali dari acara kantor suaminya sehingga baru sekarang bertemu dengan Zeva.

Berarti yang gue kirimin chat dari hp Pak Gibran kemarin ... mamanya Kiran yang udah lama kenal sama gue?!

"Hehe, iya, Tante. Besok-besok Zeva bakalan sering main ke sini kok," karena udah tahu Pak Gibran tinggal di sini, sambung Zeva dalam hati.

"Papa mana, Ma?" celetuk Kiran sambil mengoleskan rotinya dengan selai srikaya.

"Udah berangkat ke kantor jam lima tadi. Ada meeting dengan klien penting pagi ini." Jelas Lily.

Waduh, berat juga ya kerja kantoran. Kalau Pak Gibran nantinya kerja kantoran, gue harus kasih full service ke dia. Walaupun waktu di rumah sebentar, tapi tetap puas. Eh, tapi... kalau Pak Gibran jabatannya udah tinggi, harusnya punya ruang kerja yang gede ya? Yang ada sofa dan tv-nya gitu. Gue mungkin bisa nemenin dia kerja di sana seharian.

Zeva sibuk berkutat dengan pikirannya sendiri sampai ia tak sadar Gibran baru saja bergabung ke meja makan.

"Eh, Pak Gibran!" Zeva menyapa Gibran dengan sedikit genit saat cowok berkacamata itu duduk di hadapannya, tepat di samping Lily. Kiran saja heran dengan kelakuan Zeva yang masih tak tahu malu saat ada Lily di hadapan mereka.

Lily melihat Zeva dan Gibran bergantian lalu terkekeh pelan. "Berarti, Gibran juga guru kamu di sekolah?" tanya Lily ke Zeva.

"Iya, Tan. Aku itu murid favorit Pak Gibran."

Sontak Gibran menyemburkan susu yang baru diminumnya. Apa? Murid favorit? Dari mana Zeva dapat ide seperti itu?

"Bukan favorit," sela Lily, membuat Zeva tertegun sesaat. "Kamu itu spesial buat Gibran." Sambungnya.

Senyum Zeva langsung merekah. "Wah, yang bener, Tan?"

"Iya, Gibran kan pernah ngirim foto kamu ke Tante. Kata dia, 'ini foto calon menantu Mama'. Tante kaget banget pas lihat itu kamu."

Itu sih gue yang ngirim, batin Zeva kecewa. Ia kira ada sesuatu yang lain. Ternyata, tidak ada.

"Terus ya, Gibran itu...." kalimat Lily terputus karena Gibran sengaja berdehem keras. Kelihatan sekali Gibran tak suka dengan topik pembicaraan ini.

Selanjutnya, Zeva dan Lily membicarakan berbagai hal. Lily sangat nyambung saat ngobrol dengan Zeva, begitu juga sebaliknya.

Kalau nyokapnya Pak Gibran senangnya sama gue, Pak Gibran mau nggak mau harus milih gue. Zeva terkikik dalam hati.

"Lama banget ngobrolnya?" sindir Gibran. "Nanti kalian telat masuk kelas," Gibran melirik Zeva dan Kiran.

"Kalau gitu, saya izin telat dari sekarang ya, Pak. Kan Bapak yang ngajar pelajaran pertama." Zeva memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.

"Telat beberapa menit nggak apa lah, ya? Bilang saja hujan jadi macet." Lily ikut membujuk putra satu-satunya.

"Hujan darimana? Hari cerah begini." Gibran menggeleng.

"Hujan lokal, Pak," timpal Zeva yang langsung dihadiahi tatapan tajam Gibran.

"Kenapa sih di luar sekolah masih panggil Bapak? Panggil Kakak aja, Zeva," kata Lily yang risih mendengar Zeva terus menyebut 'Pak'. Zeva dan Gibran hanya terpaut lima tahun.

"Zeva maunya manggil Sayang, Ma." Celetuk Kiran.

Nice, Kiran! Zeva mengedipkan sebelah matanya pada Kiran.

Lily tertawa pelan. Untuk wanita berumur empat puluhan, ia masih sangat gaul. "Asal jangan ketahuan kepala sekolah," balasnya. Tapi, itu sudah terlambat untuk dilakukan. Zeva sudah sering tertangkap basah sedang menggoda Gibran oleh kepala sekolah.

Dalam hati, Zeva sangat senang. Ia secara tak langsung sudah direstui oleh mamanya Gibran. Di saat orang lain sudah pacaran bertahun-tahun tapi tak dapat restu dari orang tua, Zeva sudah mendapat restu dari orang tua Gibran terlebih dahulu bahkan sebelum Gibran menyukainya. Tak apa. Masih ada seribu cara untuk mendapatkan hati Gibran. Kalau sudah buntu, tinggal datang ke dukun.

Diam-diam Zeva melirik wajah tampan Gibran yang tampak sangat galak seperti siap mengeluarkan lava dan abu vulkanik dari atas kepalanya. Pak, gue berbaik hati nih ngasih waktu buat jatuh cinta sama gue sebelum gue panggil dukun untuk bertindak!

***

Dark Secret [Akan Diterbitkan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang