Tak ada kata menyerah dalam kamusku.
"Reno, benar Zeva sudah lari lima putaran?" Gibran memastikan. Ia memang menyuruh Reno untuk mengawasi Zeva menyelesaikan hukumannya.
Karena diawasi Reno, Zeva harus benar-benar menyelesaikan lima putaran. Ia tak bisa curi-curi kesempatan. Ketua kelas cungkring itu sama sekali tak bisa diajak kompromi walaupun Zeva sudah menawarinya uang plus tiket VIP meet and greet bertajuk 'satu hari bersama selebgram hits @zevanya'.
"Zeva sudah lari lima putaran, Pak. Tapi, sebelum balik ke kelas, dia mampir dulu ke kantin buat makan bakso sama minum pop ice." Reno melaporkan semuanya ke Gibran.
Zeva melemparkan tatapan membunuh ke arah Reno. "Pengkhianat lo! Padahal udah gue traktir pop ice tadi!" serunya kesal.
"Siapa yang suruh kamu ke kantin?!" benar saja, Gibran langsung memarahi Zeva.
"Niatnya ke kantin buat beli masker aja, Pak," Zeva menunjuk masker yang menutupi sebagian wajahnya. Ia sengaja memakai masker sebelum kembali ke kelas untuk menyembunyikan wajah kusamnya dari Gibran. "Sampai di sana, saya kebablasan. Maklum, Pak. Saya belum sarapan tadi pagi. Nanti kalau saya pingsan gimana? Bapak mau gendong saya?" celoteh Zeva.
Untungnya, Gibran tak lanjut memarahi Zeva. Dari awal, ia sebenarnya tak ingin menghukum Zeva. Setelah kemarin terkurung dalam ruangan pengap, gadis itu pasti lelah. Hanya saja sebagai guru, Gibran tetap harus memperlakukan semua muridnya dengan adil. Ia memang menetapkan hukuman lari lima putaran bagi siapapun yang tidur di kelasnya.
"Ya sudah, kalian berdua kembali duduk di bangku masing-masing!" suruh Gibran.
Sebenarnya, Reno agak heran dengan sikap Gibran. Guru killer itu terlihat 'lunak' dengan Zeva. Jika murid lain yang melawan Gibran, pasti sudah ia habisi. Dan lagi, Gibran terlihat tidak tega saat menghukum Zeva lari lima putaran. Ternyata guru killer kayak Pak Gibran bisa pilih kasih juga sama murid cantik, pikir Reno sok tahu.
Gibran melanjutkan kembali pelajarannya. Sesekali, ia melirik Zeva. Gadis itu masih memakai masker. Kemudian Gibran tersadar kalau dari awal pelajaran, Zeva seperti berusaha menutupi wajahnya. Apa wajahnya terluka? Apa dia sebenarnya nggak tidur pas pelajaran tadi?
***
Sesudah pelajaran ketiga berakhir, bel sekolah berbunyi menandakan sekarang waktunya istirahat. Zeva, Vira, dan Kiran bersama-sama ke kantin seperti biasa. Vira dan Kiran memesan siomay, sedangkan Zeva memesan nasi kuning.
"Kok semenjak gue bayarin makanan lo di kantin, lo jadi banyak banget makannya? Tadi pagi kan lo udah makan bakso!" sergah Vira kepada Zeva.
"Bakso sama nasi itu beda, Vir. Perut gue nggak cukup cuma diisi bakso. Belum makan nasi, belum kenyang gue." Zeva menggelengkan kepalanya.
Vira melotot. "Modus aja lo mentang-mentang gue bayarin," cibirnya.
"Ini bukan apa-apa ya dibanding gue sama Kiran yang beli roti tiap hari demi nemenin lo ke toko roti Kak David. Dari kelas sepuluh lagi." Balas Zeva, tak terima ia dibilang makan sebanyak mungkin karena dibayari Vira.
"Udah, udah. Stop. Kalian berdua nggak malu dilihatin orang-orang punya kelakuan kayak anak SD?" Kiran menengahi. Ia jengkel melihat dua sahabatnya yang sering berdebat karena masalah kecil. Beginilah jadinya kalau dua orang songong bersahabat.
Tiba-tiba Rachel lewat di depan mereka. Rachel memang cantik tapi penampilannya terlalu dewasa untuk anak SMA. Rambutnya dicat warna cokelat padahal sekolah melarang murid mengecat rambut. Tiap ditegur guru, Rachel ngakunya dari lahir rambutnya memang begitu. Bedaknya selalu tebal, lipstick pinknya benar-benar kentara, baju seragamnya kekecilan sampai kancing bajunya terlihat seperti 'meronta-ronta', dan roknya kependekan.
"Hai, Zeva!" Rachel menyapa Zeva, pura-pura ramah. "Kayaknya hobi lo itu bikin Pak Gibran marah, ya?" katanya sambil tertawa pelan. Ia sedang mengejek Zeva yang sering dimarahi Gibran.
"Marah itu tanda sayang," jawab Zeva optimis. Vira yang barusan berdebat dengan Zeva ikut membela sahabatnya itu dalam hati.
"Kalau sampai dihukum lari lima putaran, tandanya benci. Benci sama sayang itu beda tipis. Hati-hati." Rachel berlagak pintar. Padahal, nilai ulangan matematikanya kemarin mirip bundaran HI. "Gara-gara permen karet lo, gue terpaksa harus potong rambut. Gue bakal balas perbuatan lo. Siap-siap aja." Kedengarannya saja seperti mengancam, tapi aslinya Rachel itu takut dengan Zeva.
"Kalau lo mau balas perbuatan gue, nggak usah pake pemberitahuan segala. Memangnya lo petugas PLN yang mau madamin listrik?" ledek Zeva.
Merasa kalah berdebat dengan Zeva, Rachel mengepalkan tangannya lalu pergi. Jika si Misterius memang benar ada di sekolah ini, Rachel adalah orang pertama yang akan dicurigai Zeva. Kelakuan barbar Rachel membuatnya cocok sekali jadi peneror.
"Orang kayak gitu nggak usah ditanggapin, Zev. Biarin dia capek sendiri." Saran Kiran. Sahabat Zeva yang satu ini memang dewasa sekali orangnya. Kalau saja Kiran rajin, sudah pasti sekarang dia bisa menyaingi nilai Zeva di kelas.
Vira menggeleng, tidak setuju dengan saran Kiran. "Jangan mau ditindas sama nenek lampir itu, Zev!"
***
Karena tidak sempat-sempat memberikan buku kriminologi seri dua kepada Gibran, Zeva memutuskan untuk menaruhnya saja di meja Gibran saat jam pulang. Sebenarnya, Zeva ingin memberikan langsung biar bisa melihat ekspresi guru killer yang selalu menarik itu. Tapi, wajah Zeva yang kusam tak bisa diabaikan. Ia tak mau Gibran yang tak suka dengannya jadi makin tak suka setelah melihat wajah buluknya.
Kemarin Zeva mengira hubungannya dengan Gibran sudah maju selangkah. Gibran mencari Zeva yang menghilang saat konser. Lalu, ia menyelamatkan Zeva yang terkurung di ruang latihan walaupun mengira Zeva sedang mencari perhatian saja.
Tapi, hari ini hubungan Zeva dan Gibran kembali mundur. Gibran memarahi Zeva di depan kelas dan menghukumnya lari lima putaran. Bagi Zeva, lari lima putaran itu cukup berat. Ia tak begitu baik dalam olahraga. Mungkin, Zeva akan benar-benar pingsan jika setelah lari tak langsung makan bakso di kantin.
Hubungan gue sama Pak Gibran udah kayak lagu Rina Nose, maju mundur maju mundur cantik cantik~
Zeva menertawakan dirinya sendiri dalam hati. Walaupun saat ini Gibran belum menyukainya, Zeva akan berusaha keras membuat keadaan terbalik. Tak ada kata menyerah dalam kamusnya. Suatu hari nanti, Gibran yang akan mengejarnya.
"Zeva? Lo ngapain senyam-senyum sendiri di sini?" tanya Keenan yang ntah sejak kapan ada di belakang Zeva.
Zeva langsung salah tingkah. Ia tak mau kelihatan konyol di mata fansnya. "Itu... gue lagi nyari... Pak Aris," jawab Zeva terbata-bata.
"Ngapain nyari kepala sekolah?" Keenan terlihat bingung.
"Mau nawarin Pak Aris ikut meet and greet gue," kata Zeva asal. Ia tak sempat menyusun alasan yang bagus karena Keenan datang tiba-tiba.
"Wah, Pak Aris itu diam-diam Zevalovers ya?" Keenan kelihatan excited sekali. Ia seperti berhasil menemukan planet kesembilan pengganti pluto.
Zeva nyengir. Ia berdoa dalam hati, semoga setelah ini Keenan lupa ingatan. "Lo sendiri kenapa di sini?" Zeva mengalihkan pembicaraan.
"Nyariin lo lah. Gue tadi ke kelas lo tapi lo nya nggak ada. Kata Vira, pasti lo ada di ruang guru." Jelas Keenan.
Dasar Vira. Kenapa malah dikasih tahu? Gerutu Zeva dalam hati.
Keenan tiba-tiba balik badan lalu jongkok membelakangi Zeva. "Kalau mau boker jangan di ruang guru juga, Nan!" seru Zeva panik.
Keenan malah tertawa. "Naik ke punggung gue, Zev! Lo pasti capek habis lari lima putaran tadi pagi. Maaf gue baru tahu. Kalau dari tadi awal gue tahu, lo nggak usah lari. Biar gue yang gantiin hukuman lo." Ucap Keenan, terdengar sangat romantis.
Zeva terharu mendengar ucapan Keenan barusan. Dari tadi pagi, kaki Zeva terasa sakit. Sepertinya, ia terkilir saat lari. Zeva pun naik ke punggung Keenan. Keenan menggendongnya sampai ke parkiran lalu mengantarnya pulang ke rumah.
Gibran yang rupanya belum pulang tak sengaja melihat Zeva digendong oleh seorang cowok ke parkiran. "Pacarnya, huh?"
***
![](https://img.wattpad.com/cover/242313980-288-k26046.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dark Secret [Akan Diterbitkan]
Teen Fiction"Kamu sebenarnya ke sekolah untuk mengejar masa depan atau mengejar saya?" tanya Gibran sarkastis. "Bapak kan masa depan saya." Jawab Zeva. *** Zevanya Fidelya adalah gadis kelas dua SMA yang terlihat sempurna di mata orang lain. Ia cantik, pintar...