Chapter 9

4.7K 315 19
                                    

Cuma ada satu orang di muka bumi ini yang berani marahin guru killer itu.


"Nan, nggak usah bersihin wc lagi. Pak Aris batalin hukuman kita." Ucap Zeva saat melihat Keenan bersiap-siap menyikat wc. Dua hari terakhir pastilah Keenan tersiksa sekali membersihkan seluruh wc lantai satu sendirian.

"Oh ya? Kok bisa?" Keenan terlihat ragu.

"Mungkin dia nggak tega lihat cewek secantik gue bersihin wc," jawab Zeva asal. Tentunya Zeva sedang berbohong. Aris tak membatalkan hukuman mereka. Hanya saja setelah Zeva amati, tidak ada cctv di sekitar sini. Jika suatu hari Aris bertanya, dia bisa mengelabui Aris dengan berkata mereka sudah membersihkan wc setiap pulang sekolah.

Gue bukan cuma cerdas tapi juga cerdik, batin Zeva bangga karena dirinya berhasil menemukan cara mengelabui Aris.

"Temenin gue ke toko buku yuk!" ajak Keenan. Ia tak ambil pusing kenapa Aris tiba-tiba berubah pikiran. Lebih baik ia manfaatkan kesempatan ini untuk jalan dengan Zeva.

Zeva mengangguk. Ia memang sudah berjanji akan menemani Keenan ke toko buku.

Saat sudah di dalam mobil Keenan, Zeva meletakkan pajangan di dashboard mobil. "Oleh-oleh dari Bandung," tukas Zeva.

"Kok tahu gue suka doraemon? Lo selama ini merhatiin gue ya?" kata Keenan, kesenangan.

Zeva menepuk dahinya sendiri. Bagaimana mungkin ia tak tahu Keenan suka doraemon jika instagram Keenan saja dipenuhi gambar makhluk itu. Tapi, Zeva memutuskan diam saja. Biarlah Keenan berkhayal setinggi langit.

"Mampir ke toko roti bentar ya. Nyokap gue nitip roti tawar. Gue bakal diamukin kalau lupa beli." Keenan memberhentikan mobil di depan toko roti David.

Kebetulan sekali. Zeva juga mau memberikan oleh-oleh untuk David. Pemilik toko roti itu dekat dengan Vira sejak tahun lalu tapi nggak ada tanda-tanda mereka akan jadian sampai sekarang. Selain itu, David sangat pengertian dengan Vira, Kiran, dan Zeva yang masih sekolah. Ia selalu memberikan diskon tiap mereka datang.

"Wah, pantes akhir-akhir ini jarang kelihatan." Goda David saat melihat Zeva datang bersama seorang cowok. Keenan sangat senang mendengarnya, berbeda dengan Zeva yang langsung merengut karena tidak senang ada yang mengira dirinya dan Keenan berpacaran.

"Zeva mah jarang kelihatan karena lagi dihukum bersihin wc sekolah, Kak," celetuk Vira dengan suara sok imut. Vira dan Kiran juga sedang berada di toko roti David. Pastinya Vira yang memaksa Kiran ke sini.

"Mau modusin cowok pakai ajak teman segala. Contoh gue dong, mandiri dan nggak barbar kayak lo. Makanya modus gue ke cowok mempan semua." Zeva pernah kesal karena terus-terusan diajak ke toko roti oleh Vira. Ia bahkan sampai muak makan roti saat itu.

"Asem lo nyebarin aib teman sendiri!" Zeva melempar lap meja yang kebetulan ada di dekatnya ke wajah Vira. "Awas ya lo kalau sampai nyebarin di kelas! Bisa rusak image gue!"

David, yang sudah biasa melihat dua sahabat itu bertengkar, tertawa. Vira dan Zeva terus beradu mulut sampai Zeva teringat tujuan ia ke sini. "Oleh-oleh buat Kak David," kata Zeva sambil memberikan topi kupluk berwarna hitam.

"Wah, makasih ya. Aku diingat juga ternyata." David terkekeh pelan.

"Zeva ngasih oleh-oleh ke Kakak karena ada maksud terselubung. Dia mau diskon rotinya tambah gede," ejek Vira.

"Ah, yang bener? Bukannya lo yang mau diskonnya tambah gede?" sela Kiran.

Zeva dan Kiran tertawa terbahak-bahak. Skakmat untuk Vira.

***

Zeva dan Keenan pergi ke toko buku yang tak jauh dari sekolah mereka. Di sana Zeva membeli buku soal olimpiade ekonomi dan buku kriminologi seri kedua untuk Gibran. Sepertinya Gibran hampir selesai membaca buku seri pertamanya sehingga Zeva memutuskan untuk membeli seri keduanya saja.

"Vira kelihatan banget suka sama si tukang roti itu," tutur Keenan. Mereka sedang minum di cafe yang berseberangan dengan toko buku.

Zeva tertawa mendengar pemilihan kata tukang roti. Kalau Vira yang mendengarnya, ia akan langsung naik pitam. Padahal, memang benar David itu tukang roti. "Sejelas itu, ya?" tanya Zeva.

"Sejelas lo belum suka sama gue," jawab Keenan.

Tawa Zeva terhenti. Inilah yang membuatnya nggak mau menerima ajakan Keenan pergi berdua. Ia ingin menghindari pengakuan suka dari Keenan.

"Tapi, nggak masalah. Lama-lama lo bakalan terpesona juga dengan gue," lanjut Keenan.

Syukurlah Keenan nggak nekat ngungkapin perasaannya, Zeva sangat lega.

Tak sengaja, mata Zeva menangkap dua sosok orang yang sangat dikenalnya baru masuk ke dalam cafe. "Pak Gibran dan... Rachel?!" Zeva sangat kaget sampai-sampai ia tak percaya apa yang sedang dilihatnya.

Dari semua perempuan yang ada di bumi, kenapa Gibran harus bersama Rachel? Tak bisakah Gibran melihat ada perempuan yang lebih cantik dari Rachel di dekatnya? Apa Zeva harus membawa Gibran ke dokter mata agar guru killer itu sadar siapa yang lebih cantik antara Zeva dan Rachel?

Tanpa pikir panjang, Zeva menghampiri mereka berdua. "Bapak kenapa ada di sini sama Rachel?" tanya Zeva galak. Ia sudah mirip dengan istri yang memergoki suaminya selingkuh.

Gibran tampak kaget dengan kedatangan Zeva yang tiba-tiba. Rachel juga sama kagetnya dengan Gibran. Mata Rachel seolah berkata, berani banget nih anak marahin guru paling killer di sekolah.

"Memangnya kenapa? Masalah buat lo?" tantang Rachel. Ia memang tak suka dengan Zeva sejak lama karena perhatian orang-orang di sekolah selalu tertuju pada Zeva.

"Gue ngomong sama Pak Gibran, bukan sama lo!" bentakan Zeva pada Rachel sudah seperti istri yang marah pada pelakor.

Zeva kembali menoleh kepada Gibran. "Bapak tahu tindakan berduaan dengan murid itu melanggar kode etik guru?" omel Zeva. Padahal, ia sendiri tidak tahu ada kode etik guru seperti yang dikatakannya. Zeva hanya mengarang untuk membuat mereka berdua takut.

"Astaga! Ada yang kayak gitu?" Rachel malah percaya.

Tiba-tiba dari pintu masuk cafe, muncul serombongan murid SMA Better Future. Kebanyakan dari mereka adalah anak kelas sebelas. "Eh, Zeva, lo mau ikutan bahas soal olimpiade juga?" sapa Reno.

Hah? Ini bimbingan untuk olimpiade ekonomi?

"Rachel tadi numpang sama saya untuk pergi ke sini karena nggak ada yang mengantarnya," Gibran akhirnya menanggapi Zeva. Tatapan tajam Gibran yang membuat kepala Zeva serasa seperti ditusuk itu terlihat memendam amarah yang sangat dahsyat. "Urusan kamu dengan saya belum selesai. Besok pagi kamu temui saya di ruang guru. Siap-siap untuk hukumanmu."

***

"Udah, Zev. Jangan sedih gitu. Gue aja salut sama lo karena berani ngingatin tentang kode etik guru di depan guru killer sekalipun." Keenan berusaha menghibur Zeva yang terlihat murung sejak kejadian di cafe tadi.

Perkataan Keenan malah membuat Zeva makin down. Zeva telah mempermalukan dirinya sendiri di depan cowok yang sedang diincarnya. Bagaimana jika Gibran sadar tidak ada kode etik guru seperti yang Zeva sebut? Itu akan lebih memperparah semuanya.

Bukannya membuat kemajuan, Zeva terus membuat kemunduran dalam mendekati Gibran. Hubungannya dengan guru killer itu makin memburuk. Kini hanya keajaiban yang bisa membuat Gibran menyukai Zeva.

***


Hi, guys! Aku kembali lagi dengan Chapter 9. Kalau kalian perhatiin, blurb cerita ini aku rombak dan... aku bakal update setiap hari cerita ini! Jadi, pantengin terus ya tiap hari muehehehe

Kalau ada masukan dan saran buat cerita aku, silahkan tinggalin di komentar ya.


Dark Secret [Akan Diterbitkan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang