"Dia sudah nggak bernafas lagi," Efan menggelengkan kepalanya dengan lesu.
"Kamu bercanda, kan?" Aura terlihat sangat terguncang. "Cek lagi denyut nadinya, Fan!" kata Aura histeris.
"Risa memang sudah meninggal, Ra. Aku yang membunuhnya." Air mata membanjiri wajah Zeva. Gadis cantik itu tak bisa memungkiri kalau dia lah penyebab kematian sahabat baiknya.
Aura menggeleng. "Bukan salah kamu," ujarnya sambil menatap manik mata milik Zeva.
"Jadi, salah siapa?" tanya Zeva.
"Salah dia sendiri," jawab Aura dengan ekspresi yang sangat serius. "Dia memang harus mati untuk menebus kesalahannya." Lanjut Aura.
Saat ini, Zeva sedang bernostalgia masa-masa SMP dengan Aura dan Efan. Mereka bertiga sama sekali tak menyinggung mengenai Risa ataupun kemah sekolah seolah-olah ada peraturan tak tertulis yang melarang mereka membahas hal itu.
Walaupun begitu, bayang-bayang kematian Risa saat kemah sekolah terus muncul di kepala Zeva. Setiap melihat Aura dan Efan, Zeva selalu teringat Risa. Karena itulah, ia tak bisa ada di kota ini. Ia memilih pindah dan meninggalkan semuanya.
Pada akhirnya, perjalanan Zeva sia-sia. Ia tetap tidak tahu siapa si Misterius atau dari mana si Misterius tahu mengenai kejadian satu setengah tahun lalu. Semakin mencari, semakin banyak pula Zeva menemukan jalan buntu.
***
Zeva buru-buru pulang ke hotel saat Toni menghubunginya. Kali ini, ia tak meminta Efan mengantarkannya pulang. Ia tak mau ada orang yang tahu mengenai situasi keluarganya.
"Sayangnya Papa apa kabar?" sapa Toni hangat. Ia tidak seperti Sinta yang terus menyalahkan Zeva atas apa yang terjadi pada Zena.
"Bisa Papa lihat sendiri. Aku makin sehat, makin cantik, dan makin pintar." Jawab Zeva. Ia berusaha bersikap seriang mungkin jika berada di depan Toni.
Toni terkekeh pelan. "Uangmu masih ada?" tanyanya. Inilah pertanyaan yang paling disukai Zeva.
"Papa tahu sendiri jawabannya, uangku sudah habis." Zeva tertawa.
Toni ikut tertawa. Walaupun ia yakin uang saku Zeva masih ada, ia tetap mengirimkan lagi uang ke rekening Zeva. Ia benar-benar menyayangi Zeva sepenuh hati.
"Kamu nggak pernah bermimpi buruk lagi kan?" tanya Toni tiba-tiba. Sebenarnya, ia tak mau menanyakan hal sensitif ini tapi ia harus memastikan putrinya baik-baik saja.
"Sejak aku pindah, semuanya jadi lebih baik. Aku nggak pernah mimpi buruk lagi." Zeva berusaha meyakinkan Toni bahwa dirinya baik-baik saja. Yang dikatan Zeva memang benar. Ia tidak pernah bermimpi buruk lagi karena lingkungan baru membuat pikirannya teralihkan. Apalagi, Zeva mempunyai sahabat baik dan sekolah yang menyenangkan di lingkungan barunya.
"Papa minta maaf. Kalau saja Papa tegas, kamu nggak akan seperti ini." Toni terlihat sedih. Zeva tahu betul Toni sedang membicarakan Sinta.
Zeva menggeleng. "Kenapa minta maaf? Aku bahagia sekarang, Pa. Aku punya sahabat baru di sekolah."
Dan akan punya pacar baru, sambung Zeva dalam hati.
Sesudah itu, Toni dan Zeva membicarakan hal-hal ringan seperti apa yang biasa Zeva kerjakan saat hari Minggu dan sebagainya. Mereka berbincang di restoran hotel sampai jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Toni kembali ke rumah sesudah meminta maaf untuk kesekian kalinya karena tidak bisa mengantar Zeva ke stasiun besok siang. Ia harus bekerja.
***
Zeva menghembuskan nafas dengan berat saat kembali berada di rumahnya sendirian. Perjalanan ke Bandung hanya membuang waktu, uang, dan tenaga. Zeva makin tak punya petunjuk siapa si Misterius. Kalau si Misterius adalah Efan atau Aura, dia hebat sekali berakting. Aktingnya tidak ada celah sama sekali. Seharusnya si Misterius mendaftar saja jadi artis Hollywood.
Zeva juga tak bisa bercerita mengenai si Misterius dengan Toni. Ia takut papanya mengira dirinya masih sakit sampai-sampai berhalusinasi ada yang menerornya.
Dalam kondisi seperti ini, Zeva sangat butuh seseorang yang bisa dijadikan sandaran dan tempat bercerita. Tapi, ia tak bisa mempercayai siapa pun. Orang tuanya saja akan mengira dirinya sakit, apalagi sahabatnya. Lagipula, Zeva juga tak ingin menceritakan kejadian satu setengah tahun yang lalu kepada Vira dan Kiran. Ia takut kehilangan mereka berdua.
Apa Risa sebenarnya masih hidup? Zeva kembali teringat hal pertama yang ia pikirkan saat mendapat surat. Tiap mengingat Risa, Zeva merasa bersalah dan sedih. Tapi, ia terus menguatkan dirinya dengan perkataan Aura dulu. Dia memang harus mati untuk menebus kesalahannya.
Saat sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri, ada yang membunyikan lonceng rumah. Zeva bergegas membuka pintu untuk melihat siapa yang datang.
"Ada surat, Kak."
Deg. Ternyata, tukang pos yang lagi-lagi mengantar surat dengan amplop berwarna hitam. Zeva bergidik ngeri karena perkataan si Misterius kemarin tidak main-main. Kamu sedang diawasi. Ya, sekarang Zeva merasa seperti diawasi oleh orang yang tak terlihat.
Setelah mengucapkan terima kasih kepada tukang pos, Zeva segera menutup pintu rumah. Ia membuka amplop dengan tangan bergetar. Apa hanya sebuah kebetulan si Misterius tahu Zeva sudah sampai di rumah lalu mengiriminya surat?
Kamu tidak perlu mencariku.
Lutut Zeva mendadak lemas sesudah membaca surat itu. Tubuhnya merosot ke lantai yang dingin. Baru kali ini Zeva merasakan kengerian yang benar-benar nyata.
***
Kalau kalian jadi Zeva, kira-kira apa yang bakal kalian lakuin? komen disini yaa...
Makasih yang udah support cerita ini. Much love💞💞💞
Sampai ketemu di chapter selanjutnya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Dark Secret [Akan Diterbitkan]
Novela Juvenil"Kamu sebenarnya ke sekolah untuk mengejar masa depan atau mengejar saya?" tanya Gibran sarkastis. "Bapak kan masa depan saya." Jawab Zeva. *** Zevanya Fidelya adalah gadis kelas dua SMA yang terlihat sempurna di mata orang lain. Ia cantik, pintar...