Chapter 23

4.4K 307 71
                                    

Musuh terbesar itu bukan orang jahat atau teman yang menusuk dari belakang, melainkan diri sendiri.


"Kok muka lo kusut banget? Lupa disetrika tadi pagi?" sindir Vira. Mereka baru saja selesai ulangan ekonomi. "Soalnya susah, ya? Tenang aja. Nilai lo rendah atau tinggi, nggak bakal bikin Pak Gibran mau sama lo." Vira terkekeh.

Zeva yang dari tadi tidak merespon Vira akhirnya menoleh. "Enak aja! Kalau menurut gue soalnya susah, apalagi buat kalian. Di angkatan kita, gue yang paling pintar." Cerocos Zeva. "Pak Gibran tuh harusnya sujud syukur disukai cewek sepintar gue. Anak kami nanti bisa lebih pintar dari Einstein." Lanjutnya.

"Iya, iya," Vira mengiyakan saja perkataan Zeva, malas berdebat. "Jadi, kenapa lo kelihatan kesal banget sekarang?" tanya Vira lagi.

Sontak Zeva melotot karena ditanya begitu. "Lo nyembunyiin fakta Pak Gibran itu saudaranya Kiran. Kenapa nggak ngasih tahu gue dari awal?" kata Zeva kesal.

"Lo nggak nanya," jawab Vira santai. "Coba lo pikir, masa gue ngasih tahu sesuatu yang menguntungkan lo dalam taruhan kita?"

Zeva menepuk dahinya sendiri lalu menatap Vira dan Kiran bergantian. "Please, jangan anggap ini taruhan lagi. Dukung gue dapetin Pak Gibran. Gue jatuh cinta beneran nih sama guru killer itu!" rengek Zeva.

Vira dan Kiran berusaha menahan tawa. Bagi mereka, melihat Zeva yang biasanya sangat narsis sedang merengek begini adalah hiburan tak ternilai harganya. "Lah? Kemarin-kemarin lo cerita dengan kita kalau PDKT lo sama Pak Gibran lancar, malah dia tergila-gila sama lo!" Kiran berpura-pura bodoh.

"Me-memangnya gue bilang apa barusan? Gue kan.... cuma minta dukungan kalian sebagai sahabat buat dapetin orang yang gue suka!" sudah tertangkap basah, Zeva masih juga tak mau mengakui yang sebenarnya terjadi. Ia tak mau harga dirinya merosot tajam.

Vira dan Kiran saling bertatapan. Kita lihat dia bisa bertahan sampai sejauh mana, kira-kira begitulah arti tatapan mereka.

"FYI nih, gue tahu Kiran sama Pak Gibran itu kakak beradik karena nggak sengaja lihat mereka pulang berdua. Besoknya, gue tanya ke Kiran dan dia bilang 'iya, kami berdua saudara kandung'. Jatuhnya, gue tahu sendiri bukan dikasih tahu Kiran." Vira membahas hal sebelumnya agar Zeva tak salah paham.

"Padahal, gue sama dia pulang bareng cuma sekali. Itu pun karena supir yang biasanya jemput gue lagi ngantarin nyokap. Kenapa kalian berdua sama-sama ngelihat, sih?" gerutu Kiran.

"Cukup sekali aja, ya. Kalau lo pulang terus sama Pak Gibran, kami berdua nggak nyaman mesra-mesraan di dalam mobil." Celetuk Zeva. Raut wajahnya terlihat serius.

"Adiknya aja nggak mau dia anterin, apalagi lo." Tutur Kiran.

"Lagian, kenapa sih kalian berdua sembunyi-sembunyi gitu? Apa salahnya orang tahu kalian kakak beradik?" tanya Vira tak mengerti.

Kiran mengendikkan bahunya. "Kak Gibran yang pengen begitu. Katanya, biar tetap profesional."

"Mungkin dia malu punya adik kayak lo," kata Zeva prihatin. Kepalanya langsung ditimpuk Kiran dengan buku paket ekonomi.

Tapi, dari penjelasan Kiran barusan, Zeva mendapat secercah harapan. Mungkin, selama ini Gibran tidak meresponnya untuk mempertahankan sikap profesional sebagai guru. Apalagi, Gibran itu guru killer. Digosipkan pacaran dengan murid perempuan bisa membuat gelarnya sebagai guru killer hilang.

***

"Lo resek banget sih, Zev. Mau pergi ke toilet aja minta ditemenin!" protes Vira. Di tengah pelajaran geografi, Zeva memaksa Vira yang duduk di sebelahnya untuk menemaninya ke toilet.

"Jam pelajaran gini koridor sekolah sepi." Zeva mengerucutkan bibirnya, minta dikasihani.

"Terus, kenapa? Biasanya, lo juga sendiri kan ke toilet?" kata Vira kesal.

Nggak setelah gue tahu si Misterius yang selama ini neror gue ada di sekolah ini juga, jawab Zeva dalam hati. Tapi, ia tak mungkin memberi tahu hal itu pada Vira.

"Pokoknya, mulai sekarang, gue nggak mau ke mana-mana sendiri." Tegas Zeva.

Vira menatap Zeva aneh. "Please, Zev. Kalau di luar sekolah, wajar aja lo nggak mau sendiri ke mana-mana. Tapi, kalau masih di dalam sekolah, biasa aja lah. Masa beli pop ice di kantin aja takut?" Cerocos Vira.

"Kalau jam istirahat, nggak apa-apa sih. Kantin kan ramai. Di luar jam istirahat, lo harus temenin gue ke mana pun. Tiap pulang sekolah, lo juga harus nungguin gue dapet driver baru lo boleh pulang." Zeva terdengar seperti memerintah.

Andai saja Zeva memberi tahu Vira yang sebenarnya, Vira pasti akan mengerti. Bahkan, ia akan menawarkan bantuan tanpa diminta. Tapi, Zeva tak mau ada yang tahu rahasia gelapnya. Cukup Aura dan Efan yang tahu. Itu pun karena mereka berdua secara tak langsung ikut terlibat dalam rahasia gelap itu.

"Memangnya kenapa, sih?" Vira kembali ke pertanyaan awal.

"Kemarin sore, sehabis gue belajar buat olimpiade ekonomi di perpus, gue dikejar-kejar setan." Zeva mengibaratkan Keenan sebagai setan. "Makanya, gue sampai nginap di rumah Kiran. Gue takut sendirian. Kalau gue didorong tuh setan sampai jatuh dari tangga, gimana? Lo juga kan yang susah, nggak punya temen sebangku lagi?"

Vira yang selalu percaya dengan cerita-cerita mistis kini menatap Zeva prihatin. "Ya udah, gue temenin lo. Malam ini, gue tidur di rumah lo aja kali ya?" tawar Vira.

Zeva menggeleng kuat-kuat. Itu ide yang buruk. Ia punya penyakit sleepwalking. Bisa saja ia membahayakan Vira saat penyakitnya kambuh. Tadi malam, jika ia tak langsung terbangun, mungkin ia akan membahayakan Gibran dan Kiran.

"Nggak usah, lo ngorok pas tidur." Zeva beralasan.

"Asem! Sebenarnya, lo mau gue baik atau jahatin lo?" Vira mengacak rambutnya frustasi. Semua yang ia lakukan salah di mata Zeva.

"Gue maunya Pak Gibran," jawab Zeva, nggak nyambung. Setelah mengatakan itu, ia tertawa puas.

Vira menghela nafas. "Yang penting, sekarang lo nggak usah pulang kesorean lagi. Belajarnya di rumah aja." Suara Vira melembut. Zeva tahu betul sahabatnya itu khawatir padanya. Terbesit sedikit rasa bersalah di hati Zeva karena sudah membohongi Vira yang sangat baik dan tulus.

"Iya, Vir. Tapi, gue sekarang merasa sedikit lega. Lebih baik tahu siapa musuh sebenarnya dibanding menghadapi musuh yang nggak kelihatan." Tutur Zeva. Ia membicarakan tentang identitas si Misterius yang sudah ia ketahui. Dengan begini, ia tak perlu setakut dulu. Bahkan sekarang ia bisa mencari cara untuk membalikkan keadaan. Ia yang akan meneror si Misterius.

***


Kalian suka nggak sih karakter cewek kayak Zeva yang beraninya kelewatan, nggak ada urat malu, narsisnya udah overdosis, dan rada-rada annoying? wkwkwk

Demi apapun, aku nggak sanggup bikin karakter cewek yang polos, lugu, rapuh, dan nggak peka-peka kalau ada cowok yang suka sama dia😭😭😭

BTW, makasih banyak yang udah baca sampai chapter ini. Aku seneng banget kalau ada yang suka sama apa yang kutulis❤️

Ikutin terus cerita ini sampai selesai. Ending-nya nggak pernah sekali pun terbesit di benak kalian...

Dark Secret [Akan Diterbitkan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang