Chapter 2

8K 474 48
                                    

Bangga pada diri sendiri adalah caraku bertahan sampai sekarang.


Zeva menggigit kuku jarinya. Ia tak fokus memperhatikan pelajaran ekonomi seperti biasanya. Ia malah sibuk memperhatikan Gibran yang sedang mengajar di depan. Selama ini Zeva terlalu fokus belajar agar nilainya tak kalah dengan Reno, si peringkat dua di kelas, sampai-sampai Zeva tak sadar ia punya guru ekonomi yang sangat tampan.

Dua puluh lima? Ah, sepertinya nggak sampai. Dari wajahnya, Gibran terlihat seumuran dengan Randy –sepupu Zeva yang baru berumur dua puluh dua tahun.

"Lama-lama bola mata lo bisa copot," sindir Vira yang semeja dengan Zeva.

"Apaan sih?" Zeva yang sedang menikmati wajah tampan Gibran merasa terganggu dengan bisikan Vira di sampingnya.

"Lo terlalu lama ngelihatin Pak Gibran, Zev. Lagian kenapa lo baru sadar sekarang kalau Pak Gibran itu ganteng? Kita udah sebulan diajar sama dia! Lo udah ketinggalan lima langkah dari Rachel." Jelas Vira panjang lebar.

"Kenapa gue harus ketinggalan lima langkah dari cabe-cabean itu?" tanya Zeva sebal. Ia tak suka mendengar nama Rachel disebut. Jika ada yang bisa menandingi kecantikan Zeva di sekolah ini, orang itu adalah Rachel.

Rachel adalah teman sekelas mereka yang berdarah campuran Indonesia-Belanda. Ia punya wajah cantik dan badan yang tinggi ramping. Rachel selalu memakai rok kependekan dan baju ketat ke sekolah. Dalam hal lain seperti belajar dan olahraga, Zeva jauh lebih unggul dibanding Rachel.

"Rachel udah pernah diajak nonton ke bioskop sama Pak Gibran," jawab Vira yang selalu update mengenai gosip anak-anak kelas.

APA?!

Zeva sungguh ingin berteriak saat ini tapi hal itu tak mungkin dilakukannya. Mereka sedang ada di tengah kelas. Lagipula, Zeva harus jaga image di depan Gibran.

"Baru diajak ke bioskop doang. Gue bisa bikin Pak Gibran ngajak gue ke pelaminan!" Zeva membusungkan dadanya. Ia sangat yakin akan hal itu. Rachel si cabe-cabean kelas bawah tak akan bisa mengalahkan gadis secantik dan seelegan dirinya. "Kalau cowok-cowok di sekolah ini ngadain voting siapa yang lebih 'istriable' antara gue dan Rachel, sudah jelas gue yang akan menang."

"Iya, iya. Tapi lo jangan lupa kalau Pak Gibran itu guru kita yang paling kil-"

Buk!

Penghapus papan tulis sempurna mendarat di wajah Zeva. Terjiplak warna hitam dari penghapus papan tulis yang kontras sekali dengan wajah Zeva yang putih bersih.

Vira sangat kaget saat Gibran melempar penghapus papan tulis persis ke wajah Zeva. Padahal, baru saja ia ingin mengingatkan Zeva kalau Gibran itu guru paling killer di sekolah mereka.

"Aaaaa! Muka gue!" Zeva masih sempat-sempatnya menggunakan ponsel untuk berkaca, padahal guru paling killer itu sedang menatap tajam ke arah Zeva. Vira ingin sekali menimpuk kepala Zeva dengan buku paket ekonomi setebal lima ratus halaman agar otak Zeva bisa bekerja dengan normal.

"Heh! Si rambut bola kasti!" panggil Gibran sambil menunjuk Zeva. Nama panggilan yang 'unik' itu membuat seisi kelas tertawa. Pasalnya, selama ini Zeva selalu mendapat nama panggilan yang bagus-bagus dari guru. Zeva itu pintar dan selalu memperoleh nilai terbaik di kelas sehingga banyak guru menyukainya.

"Saya, Pak?" Zeva mengangkat tangannya. Dia syok dipanggil dengan sebutan jelek seperti itu. Memang sih sekarang rambut Zeva sedang dicepol. Tapi, ini cepolan cantik ala-ala cewek Korea. Berani-beraninya Gibran bilang cepolan Zeva mirip dengan bola kasti.

"Iya, kamu! Kalau mau arisan jangan di kelas saya!" Gibran kelihatan marah.

"Saya nggak lagi arisan," jawab Zeva tak terima. "Saya cuma ngobrol sebentar dengan teman saya, Pak,"

"Sama saja! Kamu nggak memperhatikan pelajaran saya di depan. Memangnya kamu sudah paham?" sindir Gibran.

"Sudah," jawaban Zeva membuat semua orang di kelas menganga. "Kalau nggak percaya, Bapak bisa kasih saya soal ulangan sekarang. Saya pastikan nilai saya nggak kurang dari sembilan puluh." Lanjutnya.

"Baik, kamu dan teman di sebelahmu itu bisa keluar dari kelas saya sekarang," Gibran menunjuk pintu kelas yang berada dua meter di sampingnya.

"Jangan suruh teman saya keluar juga!" potong Zeva. "Khusyuk ngikutin pelajaran Bapak aja belum tentu dia ngerti, apalagi kalau Bapak suruh dia keluar."

Vira menatap tajam ke arah Zeva. Asem! Gue kira tadi lo mau belain gue! Kira-kira begitulah arti tatapan Vira.

"KALIAN BERDUA KELUAR DARI KELAS SAYA SEKARANG!"

***

Wajah Vira yang suram sejak kelas ekonomi tadi pagi mendadak langsung cerah saat ia dan kedua sahabatnya sampai di depan sebuah toko roti yang hanya berjarak tiga bangunan dari sekolah mereka. Vira bukannya suka makan roti. Ia suka dengan David, si pemilik toko roti, yang menurutnya sangat tampan dan dewasa.

"Halo Vira, Zeva, Kiran, kalian mau roti apa hari ini?" sapa David. Karena Vira sangat suka dengan David, toko ini jadi langganan mereka sejak kelas satu SMA. Tak aneh jika akhirnya David jadi kenal dan akrab dengan mereka bertiga.

"Aku pesan milkshake vanilla aja," jawab Zeva. Pesanan Kiran juga sama dengan Zeva. Karena hampir tiap hari kesini, mereka berdua sudah bosan makan roti.

"Aku mau roti yang Kak David pilihin aja. Semua roti disini enak!" sahut Vira bersemangat. David mengangguk ramah lalu meminta pegawainya untuk menyiapkan pesanan.

"Sekalian bilang 'aku mau Kak David aja' kenapa, Vir?" cibir Zeva yang langsung disambut tatapan tajam dari Vira. Vira meletakkan jari telunjuknya di depan bibir sebagai tanda mereka tak boleh membicarakan hal itu disini.

"By the way, gue nggak bayarin makanan sama minuman lo disini, Zev. Taruhan gue kemarin cuma berlaku di sekolah," ujar Vira. Dia masih kesal dengan Zeva yang membuat dirinya ikut diusir dari kelas ekonomi. Kalau saja Zeva tak melawan Gibran, mereka tak akan sampai diusir.

"Gue prediksi lo bakal kalah taruhan kali ini, Zev." Kiran mengalihkan topik pembicaraan. "Pak Gibran tadi marah banget sama lo. Dia nggak bakal jatuh cinta sama murid yang berani ngelawan dia." Lanjut Kiran.

"Gue nggak ngelawan dia. Semua yang gue omongin ke dia itu fakta. Lagian, Pak Gibran belum sadar aja gue itu cantik. Muka gue tadi cemong karena penghapus papan tulis. Kecantikan gue jadi tertutupin. Pas pelajaran ekonomi berikutnya, gue bakal dandan yang cantik. Dia pasti bakal berlutut minta maaf karena perbuatannya hari ini ke gue." Zeva menyeringai.

"Mending lo beli tiket liburan ke Bali buat kita dari sekarang. Makin lama, makin naik harganya." Vira menimpali.

"Gue nggak akan kalah taruhan dari kalian. Cepat atau lambat, Pak Gibran bakalan luluh dengan pesona gue. Kalau nggak luluh juga, gue datengin orang tuanya. Nggak mungkin mereka nolak calon menantu yang cantik, pintar, punya masa depan cerah, dan juga seorang selebgram hits kayak gue." Kata Zeva menggebu-gebu.

Vira dan Kiran pura-pura nggak dengar perkataan Zeva barusan. Mereka berdua malah membahas konser band PussyPush minggu depan.

Bagi Zeva, membuat Gibran jatuh cinta dengannya bukan lagi sekedar taruhan. Ini juga menyangkut harga diri dan pembuktian.

***


Hi, guys!

Cerita ini bakal aku update terus tiap minggu.

Kasih comment dan vote ya, guys. Comment dan vote kalian sangat berarti buat aku🥰

Dark Secret [Akan Diterbitkan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang