Kamu hanya ada di dalam mimpi yang sangat jauh.
"Kak, bareng dong pergi ke sekolahnya!" pinta Zeva sebelum Gibran masuk ke dalam mobil. Ia sengaja menekankan kata 'Kak' untuk menggoda Gibran. Jujur saja, lama-lama Zeva merasa tak nyaman terus memanggil 'Bapak' ke Gibran. Gibran itu sama sekali nggak kayak bapak-bapak. Dipanggil om aja belum cocok. "Kita berdua bareng. Kiran biar diantar supir," kata Zeva sekenanya.
Gibran menatap tajam Zeva. "Sejak kapan saya jadi kakakmu?" kata Gibran sarkastis.
"Jadi? Sayang? Babe? Darling? atau Hubby aja sekalian?" Zeva menaik-turunkan alisnya.
"Pikir saja sendiri!" jawab Gibran ketus.
"Panggilan Bapak itu udah jadul, gimana kalau Papi aja?" tawar Zeva sambil tersenyum jahil. Kiran dan Lily kebetulan masih di dalam rumah.
"Kamu pikir saya itu ayahmu, hah?" marah Gibran. Ia tak habis pikir dengan Zeva yang sangat berani menghadapinya, padahal tahu dirinya adalah guru killer di sekolah.
"Bukan, tapi ayah dari anak-anak saya nanti." Goda Zeva yang sontak membuat Gibran menatapnya jijik.
Dalam hati Zeva yang terdalam, ia agak sedih Gibran menatapnya seperti itu. Selama ini, ia tak masalah Gibran tak menggubrisnya atau memarahinya. Tapi, ditatap seolah-olah ia adalah makhluk paling menjijikkan itu.... rasanya menyakitkan.
Ah, udahlah. Kalau gue di posisi Pak Gibran, gue pasti juga jijik digodain mulu sama orang yang nggak gue suka. Lagian, masa gue ngambek di saat belum jadi apa-apa? Sabar, Zeva. Sekarang, fokus aja bikin Pak Gibran tergila-gila sama lo. Zeva berusaha menyemangati dirinya sendiri.
"Pak," Zeva kembali memanggil Gibran seperti semula. "Kasih bocoran soal seleksi olimpiade ekonomi dong!" lanjut Zeva, mencoba peruntungan. Mana tahu ia berhasil meluluhkan hati guru killer itu dengan kecantikan dan kegigihannya.
"Apa kamu bilang?!" kata Gibran galak.
"Kan cuma soalnya, bukan jawaban. Jawabannya tetap saya sendiri yang cari. Sebenarnya, sama aja kok Pak dengan saya dapat soalnya pas seleksi. Bedanya, saya cuma lebih cepat dapat." Bujuk Zeva, berusaha membuat permintaan gilanya menjadi logis.
"Kalau sama saja, nggak perlu saya kasih sekarang kan?" Gibran memutar balikkan omongan Zeva.
"Aih, bukan gitu!" Zeva menggelengkan kepalanya. "Saya kan minta soal seleksi olimpiade ekonomi, bukan soal ulangan. Seleksi ini kan nggak nentuin nilai rapor." Terang Zeva.
"Tapi, ini menentukan siapa yang mewakili sekolah kita di olimpiade nanti." Celetuk Gibran, tak terima dengan pendapat Zeva yang gila.
"Bapak nggak percaya dengan kemampuan saya? Nggak lihat nilai ulangan ekonomi saya selalu bagus dan paling tinggi seangkatan? Siapa lagi yang lebih cocok dibanding saya untuk ikut olimpiade?" dan untuk jadi pacar Bapak, sambung Zeva dalam hati.
"Makanya tunjukin kemampuan kamu saat seleksi nanti," sahut Gibran tak peduli.
"Ya udah, jangan nyesal kalau bukan saya yang Bapak bimbing tiap hari!" seru Zeva kesal. Lalu, ia berbalik meninggalkan Gibran.
Siapa sih gurunya di sini? Pikir Gibran tak kalah kesal.
***
Zeva dan Kiran akhirnya pergi ke sekolah dengan diantar supir, sedangkan Gibran menyetir mobilnya sendiri. "Kenapa sih kita nggak bareng Pak Gibran? Kenapa harus pake mobil terpisah? Nambah-nambahin polusi di Jakarta aja!" gerutu Zeva begitu turun dari mobil.
"Bilang aja lo mau nempel-nempel sama kakak gue," ujar Kiran sinis. Ia tahu Zeva hanya membuat-buat alasan. "Kalau lo mau berkontribusi buat lingkungan, ke sekolah jalan kaki atau naik sepeda aja."
"Gue mau ke sekolah pake sepeda asal diboncengin Pak Gibran." Celetuk Zeva sambil mengkhayal dirinya sedang memegang pinggang Gibran erat-erat saat dibonceng. Kalau ketemu polisi tidur, pasti lebih hot.
"Ah, lo berat!" marah Kiran. Lama-lama sifat Kiran makin kelihatan mirip dengan Gibran.
"By the way, kakak lo kenapa nggak ngantor di perusahaan bokap lo aja? Bisa lah ya langsung jadi manager." Ucap Zeva asal.
"Kak Gibran cuma jadi guru pengganti sementara aja di sini. Kebetulan sebelum Kak Gibran wisuda, Om Arman, teman dekat Papa, yang punya yayasan sekolah ini nawarin Kak Gibran gantiin sementara guru ekonomi yang lagi lanjut S2 di Jepang." Jelas Kiran.
"Ada aja ya kebetulan yang bikin gue sama Pak Gibran ketemu seolah-olah kami ditakdirkan buat bersama," tutur Zeva, kegeeran. "Jadi, setelah ini, Pak Gibran kerja di perusahaan bokap kalian?" tanya Zeva memastikan.
"Ntahlah, Kak Gibran juga punya keinginan lain." Kiran mengendikkan bahunya.
"Nikahin gue kan bisa sekalian," Zeva tertawa. "Kalau gue udah tamat kuliah nanti, bisa kan gue ngelamar di perusahaan bokap lo terus diatur biar gue seruangan sama Pak Gibran?" tanya Zeva serius.
"Mending lo ngomong aja langsung sama bagian kepegawaiannya," cibir Kiran sambil menatap Zeva jengkel.
"Kalau bisa ngomong sama putri direkturnya, kenapa juga gue ke mereka?" Zeva nyengir. "Lagian, lo harus dukung sahabat sendiri buat dapetin cinta sejatinya. Taruhan lo kemarin apa? Oh, ya, ikhlasin aja tiket VIP konser BTS buat gue. Kapan lagi lo bisa dapat kakak ipar sempurna kayak gue? Gue cantik, pintar, bertalenta, dan tulus sayang sama keluarga." Jelas Zeva menggebu-gebu.
Tanpa menanggapi ocehan Zeva, Kiran berbalik menuju kelas mereka.
"Hei! Kalau lo dapat kakak ipar lain, belum tentu beneran sayang sama lo!" teriak Zeva tanpa mempedulikan tatapan aneh murid lain yang baru datang di parkiran.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/242313980-288-k26046.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dark Secret [Akan Diterbitkan]
Ficção Adolescente"Kamu sebenarnya ke sekolah untuk mengejar masa depan atau mengejar saya?" tanya Gibran sarkastis. "Bapak kan masa depan saya." Jawab Zeva. *** Zevanya Fidelya adalah gadis kelas dua SMA yang terlihat sempurna di mata orang lain. Ia cantik, pintar...