Chapter 6

5.3K 351 42
                                    

"Kamu itu sahabat terbaikku, Zeva. Kamu sudah jadi bagian dari diriku. Karena itu, kita harus selalu bersama. Walaupun aku sudah mati, kita tetap akan bersama. Aku akan selalu ada di sampingmu, hanya saja kamu nggak bisa melihatku."

Dua tahun yang lalu, perkataan gadis itu terdengar sangat manis. Tapi, saat Zeva teringat lagi sekarang, perkataan itu terdengar sangat mengerikan. Apa dia benar-benar ada di samping Zeva sekarang?

Demi mengungkap siapa si Misterius yang menakut-nakutinya dengan surat konyol itu, Zeva pergi ke Bandung dengan kereta paling pagi hari ini. Ia mengambil izin sekolah selama dua hari dengan alasan ada acara keluarga. Urusan menyikat wc dan menemani Keenan ke toko buku bisa diselesaikan nanti-nanti.

Zeva menghirup nafas dalam-dalam saat sampai di depan sebuah rumah besar yang memiliki dua lantai. Ia membunyikan bel dua kali sampai seseorang membukakan pintu.

"Non Zeva!" itu Bi Imah. Wanita paruh baya itu sudah bekerja di rumah keluarga Zeva sejak Zeva kecil. "Ayo masuk, Non! Bibi buatin teh anget ya? Pasti capek-"

"Siapa yang datang, Bi?" terdengar suara Sinta, mamanya Zeva, dari dalam rumah. Bi Imah langsung terdiam. Situasi saat ini membuatnya serba salah.

Karena tak kunjung mendapat jawaban, Sinta beranjak ke depan untuk melihat siapa yang datang. "Kenapa kamu ke sini?" bukannya senang saat melihat anaknya yang sudah satu setengah tahun pergi merantau, ia malah terlihat kesal dengan kedatangan Zeva.

"Aku ada urusan. Mau nginap semalam aja di sini." Jawab Zeva singkat. Ia malas berbasa-basi dengan mamanya, Sinta.

"Urusan apa? Apa kamu mau mencelakai anak saya lagi?" sindir Sinta. Zeva tahu betul yang dimaksud Sinta dengan 'anak saya' adalah adiknya yang masih berumur dua tahun, Zena. Sejak kejadian satu setengah tahun yang lalu, Sinta tak menganggap Zeva anaknya lagi.

"Nggak, Ma. Aku mau ketemuan dengan teman SMP." Zeva berusaha tetap kelihatan tenang. Padahal, ia sangat ingin meledakkan amarahnya saat ini. Duduk diam di kereta selama empat jam membuat badannya lelah. Sekarang pikirannya pun juga lelah karena harus berhadapan dengan Sinta.

"Nginap saja di tempat temanmu atau di hotel." Kata Sinta ketus. Ia langsung menutup pintu masuk dengan keras. Bi Imah terlihat ingin membantu Zeva tapi situasinya tak memungkinkan. Zeva bisa memaklumi itu. Tidak ada orang di rumah yang bisa menentang Sinta, termasuk Toni –papanya.

Zeva rasanya ingin menangis. Hidup terlalu berat untuknya. Kalau saja ia tak mencurigai sahabatnya sendiri sebagai si Misterius, dari awal ia akan pergi ke rumah sahabatnya.

***

Zeva akhirnya check in ke hotel yang tak jauh dari rumah orang tuanya. Setelah istirahat sebentar, ia menghubungi cowok yang dulu pernah disukainya. Mereka dulunya satu sekolah dan satu angkatan.

Walaupun pikiran Zeva sedang kacau, ia tetap harus mencari tahu siapa sebenarnya si Misterius yang mengiriminya surat dengan amplop berwarna hitam. Si Misterius tampaknya tahu kejadian satu setengah tahun yang lalu dan kenal baik dengan gadis yang telah meninggal itu. Dengan semua petunjuk yang ada, hanya dua orang yang bisa menjadi si Misterius; Efan atau Aura. Bisa jadi keduanya bekerja sama untuk menghancurkan Zeva.

"Zev, lihat! Efan ngelihat ke arah sini! Dia pasti ngelihatin kamu!" seru Aura excited. Tiga sahabat itu sedang menonton pertandingan basket di aula sekolah.

"Bisa aja dia ngelihat orang lain," kata Zeva malu. Dalam hati, ia sangat berharap yang dikatakan Aura benar.

"Pasti ngelihat kamu. Kamu yang paling cantik dan pintar di sekolah ini. Iya kan, Ris?" Aura meminta persetujuan dari Risa, sahabat mereka yang berkulit putih pucat dan sangat menyukai warna hitam.

Dark Secret [Akan Diterbitkan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang